21 Nov 2013

[Cerpen] Mendengar Tanpa Payung

   "Kita harus jalan kaki ke jalan besarnya. Bagaimana dong? ?", tanya Adam,seraya mengulur jemarinya menyentuh rintik hujan dari tepi atap.
   "Aku bawa payung kok, bentar". Sarah buru-buru merogoh kedalam tasnya, mengeluarkan payung abu dan membukanya sigap. "Yuk"
   "Jadi, kita mau payungan berdua? Huahahaha", Adam tertawa, kemudian menyambar payung tersebut dari tangan Sarah, "Gue aja yang pegang ya,pendek".
   "Pendek,pendek! Enak aja!", Sarah pura-pura marah, tapi karena Adam tidak menggubrisnya lagi, akhirnya ia menurut dan mengikuti  Adam setelah menonjok ringan bahunya. "Dasar, Adam sok gentle"

***

Deru kendaraan berbalapan dengan rinai hujan. Tidak ada yang banyak bicara. Kedua sibuk menghindari genangan air, dan tenggelam dalam bisu masing-masing.
   "Dam, Sorry ya", tukas Sarah sambil menunduk. Langit mulai gelap sehingga wajahnya jadi temaram. 
   "Buat?"
   "Kalau tadi kita langsung pulang, pasti masih ada kendaraan umum jadi  kita gak perlu jalan gini"
Adam mengeha napas singkat. Alih-alih menjawab, Adam justru menurunkan payungnya dan melipatnya kembali. Sarah memandangnya dengan bingung. "Kena--"
   "Ujan-ujanan aja,yuk?", Adam mengacak-acak rambutnya sendiri yang mulai basah dan mengabaikan kebingungan Sarah. Sarah masih tertegun, seketika sadar dan tertawa geli, "Bilang aja tangan kamu udah pegel pegang payungnya". Adam menyengih, tapi kemudian tidak ada yang melawan. Keduanya sama-sama menikmati hujan.

***

Entah sudah seberapa jauh. Bangunan tempat mereka bermula sudah menciut. Tinggal lampu-lampunya yang berkelip diantara pekat. Tetiba, Adam menyenggol bahu Sarah sehingga ia kehilangan keseimbangan sejenak, "apaan sih,Dam!", protes Sarah.
   "Huahaha, gapapa. Gue cuma mau pastiin lo gak jalan sambil tidur aja"
   "Jayus", omel Sarah, ia memperlebar ayun kakinya hingga beberapa langkah lebih dulu dari Adam.
Adam tidak berusaha menyusul .Ia tetap berjalan santai sembari memejam mata dan mengadah, menikmati rinai hujan yang menyentuh pelipisnya dan meluncur sempurna mengikuti lekuk dagu.

Diantara bising dan derai, Adam bersenandung.

   "Jangan kumur-kumur pake air hujan, Dam", pungkas Sarah tanpa menoleh. Bahunya bergidik karena menahan tawa.
   "Sialan lo. Suara gue bagus tau! Udah diem aja deh, dengerin gue nyanyi"
   "Oh, Adam lagi nyanyi?", goda Sarah lagi. Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Adam yang sedang mengambil ancang-ancang untuk memukulnya dengan gagang payung. "Weit. Santai aja dong! Hahaha"

Tawa mereka membuncah lagi. Sarah kembali mengambil posisi disamping Adam, yang kemudian melanjutkan senandungnya.

Never gonna stop 'til the clock stops ticking
Never gonna quit 'til my legs stop kicking
I will follow you 'til we'll both go missing

  "Lagu apa sih, Dam?"

No I'm never giving up 'til my heart stops beating
Never letting go 'til my lungs stop breathing
I will follow you 'til we'll both go missing

   "Dam"

No, I and we don't  even know where we're going
But I'm walking with you and I'm glowing

   "Jangan jalan sambil merem, Dam.."
   "Eh, iya iya", Adam tersadar, mebuka matanya dan terkekeh sendiri.
   "Lagu apa sih tadi,tuh?", tanya Sarah lagi, kini ia menoleh pada Adam dan menunggu jawaban dan riak wajahnya. Adam terperenyak, tapi sedetik kemudian langsung tertawa, menghasilkan gema di terowongan dari jembatan layang yang mereka lewati. 
   "Tadi?", Adam menatap lagi wajah penasaran Sarah, kemudian berbisik, "Bukan apa-apa,Sar"
Karena yang kamu perlukan cuma medengar hujan dengan lebih seksama.


Merayakan hujan-hujanan pertama di Bulan November, 
di bawah langit mendung, dilatar nada.

20 Nov 2013

[Cerpen] Masalah Sepele

   "Dasar lo, sok tegar!", canda Sonya sembari menyikut Ita. Ita tertawa sejenak, "Emang gue tegar! Lo tuh yang lemah! Hahaha"

Langit sedang bersiap melipat diri. Lingkungan sekolah juga sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang yang tampak berlalu-lalang di koridor, membuat hanya tawa keduanya yang sanggup melayap di sela-sela pilar terbawa angin sore. 
  
  "Ita. Sungguh. Gue nanya beneran sekarang", tetiba Sonya meremas bahu Ita dan memutarnya hingga Ita menghadap tepat di depan Sonya. "Lo masih gak apa-apa, setelah lo lihat dengan mata lo sendiri?"

Ada hening sejenak karena Ita tidak langsung menjawab. Di tatapnya lekat-lekat pasang mata Sonya seakan mencari jawaban. "Ta? Lo ngerti kan, gue nanya apa?", Sonya memastikan lagi, sekaligus menyimak baik-baik akan suara rubuh dari dalam Ita yang ia yakini sebenarnya ada. 

Tapi Ita tetaplah Ita.

  "Gak apa-apa, Nya. Perasaan gue udah biasa aja kok", Ita tersenyum kecil, "Masalah sepele, Nya. Gak usah khawatir sampe segitunya, kali"
  "Bener? Lo gak cemburu atau apa, gitu?"
  "Kenapa gue harus cemburu? Emang gue ibunya apa? Hahaha", Ita tertawa sendiri hingga bahunya berguncang ringan. Entah memang bermaksud mengolok Sonya atau mengolok dirinya sendiri.
   "Gak lucu, Ta. Gue serius". Sonya meremas bahunya lebih kuat. Tapi Ita bergeming.
   "Gue gak apa-apa, Nya. Serius deh. Gue udah berkali-kali denger berita kayak gitu dari mulut ke mulut. Jadi, ya gue gak kaget lagi pas ngeliat dengan mata gue sendiri"
   "Bener?", Sonya terus menyedutnya
   "Bener. Ini  masalah sepele doang kok, Nya. Gak usah sok khawatir gitu deh! Alay!"
   "Ah, sepik aja lo! Awas ya, kalo gue lihat lo lagi nge-galau!", ancam Sonya yang kemudian terkekeh. Ia menurunkan lengannya dan kembali memandang sore.
   "Yuk ah, balik"
   "Tumben minta balik. Biasanya perlu diseret dulu supaya pulang ke rumah", goda Sonya, kemudian segera menyampirkan tas ranselnya. 

Ita mengikutinya dari belakang, dan tanpa sengaja pandangnya berserobok dengan koridor atas.Siluet Iki dan Dian masih berada disana. 

Mengobrol. 
Tertawa. 
Dan bersentuh bahu. 

Ita mengerjap matanya dan siluet itu hilang. Ada sesuatu yang menggelitiki dinding hatinya. Berusaha mengejek. 

Betapa hari itu waktu sudah mempermainkannya dan ia kalah telak. Betapa waktu senang sekali menyeretnya kemana-mana, hingga akhirnya terhenti di momen yang ia kutuki sendiri. Iki dan Dian. 

Mengobrol.
Tertawa. 
Dan bersentuh bahu. 
Hanya berdua.

Tapi Ita mendegil dan menyengih, mengingat kata-kata naif yang baru saja meluncur dari mulut besarnya. "Masalah sepele?Hah"

Ia berbalik, dan mengacungkan jari tengah kepada dua siluet yang berusaha membolongi tempurung belakangnya.

8 Nov 2013

Katakan padaku sesuatu yang belum pernah aku dengar
Bukakan aku pintu dimana imaji sembunyi
Aku mati

3 Nov 2013

Tik Tok

Tik Tok Tik Tok

Aku kehilangan waktu. Jarum berdetik, berputar. Aku kehabisan.

Tik Tok Tik Tok.

Aku kehilangan waktu. Sebagian rasa terenggut. Aku memaku.

Tik Tok Tik Tok

Aku kehilangan waktu. Bayang menelan pelan. Aku memejam.

Tik Tok Tik Tok.

Aku kehilangan waktu. Tidak bangkit mengejar. Aku tersadar.

Kamu membuntutinya kemudian berlalu.
Aku sudah kehilangan waktu. Sekaligus kamu.



16 Okt 2013

[Cerpen] Terlambat

Aku tidak bisa bernapas. Mataku pecah dan merefleksikan jutaan kamu. "Baiklah...", tuturmu sambil memaksa senyum. Aku tidak merespon. Aku tidak bisa merespon saat tidak bernapas.

  "Hanya itu yang mau kau bilang? Tidak ada yang lain?", tanyamu seraya mendekat padaku. 
  "Tidak", suaraku tercekik. Aku sadar itu. Tapi sungguh, cuma itu yang bisa aku eja. 
  "Baiklah...", katamu kesekian kali, "Oke, aku duluan ya. Makasih, Res". 

Kamu berlalu. Berlalu begitu saja. Aku tidak tahu siapa yang melepas siapa. Tapi aku tidak berusaha mengejarmu, justru berharap kamu segera menjauh hingga tidak perlu mendengar sesuatu yang rubuh di dalamku.

Kemarin baru saja aku meyakinkan diri sendiri untuk berhenti. Tapi kemudian kamu muncul, dan menanyakannya.  Sungguh ! Siapa yang lebih bodoh sebenarnya? Aku yang sudah dahulu menyerah atau kamu yang baru bertanya?

Kamu baru saja menanyakannya, dan aku mengatakan tidak. 

8 Okt 2013

Satu Hari Banyak Tapi

Aku melihatmu pagi tadi. Wajahmu merengut. Tas ranselmu tampak berat, dan tanganmu kerepotan membawa buku. Jika saja aku tidak pengecut, aku akan berlari menuruni tangga dan menawarkan bantuan untuk membawakannya ke kelasmu.

Tapi aku bisu.

Aku melihatmu lagi saat jam pelajaran. Kamu melintasi bingkai jendela kelas sambil terburu-buru, sendirian. Jika saja tidak ada guru, aku akan menghambur dari kelas dan menemanimu, kemanapun kamu hendak pergi. 

Tapi aku terpaku.

Aku melihatmu lagi saat jam istirahat. Kamu berjalan menuju kantin bersama teman-temanmu, sambil tertawa. Aku senang bisa melihat tawamu. Matamu menyipit, tampak lucu. Jika saja aku ada di dekatmu, aku akan beritahu semua lelucon hanya agar kau tertawa.

Tapi aku jauh.

Aku melihatmu lagi saat pulang sekolah. Kamu keluar dari kelasmu, berjalan di koridor dengan wajah sumringah. 

Tas beratmu bukan lagi masalah.
Buku-bukumu perpindah tangan
Kamu melangkah beriringan,
dengan seseorang disamping bahu.
Yang terlalu dekat jaraknya hingga ia pasti bisa dengar tawamu

Jika saja aku bukan hanya pengagummu. Aku pasti sudah cemburu. 

Tapi aku tidak mampu.

3 Okt 2013

Pijak

Aku tidak tahu jika kamu begitu bodoh.
Untuk berpijak pada tanah saja kau tak bisa.

Payah.

Bagaimana kamu berani janji menunjukiku rasi,
jika tentukan mana pijakan saja tak mampu?

Berdirilah saja dulu!
Belajarlah bagaimana cara menggunakan kedua kakimu!


27 Sep 2013

[Cerpen] Iya

   "Ayolah. Jangan jadi penakut seperti itu!"
   "Mudah saja bagimu bicara, Mira!"

Entah berapa lama aku dan kamu terus berdebat dan saling mendorong. Wajahmu merah, tapi berkeringat. Dahimu berkerut, namun rahangmu mengeras. Aku ingin tertawa melihat betapa kalapnya kamu. Kamu harus tahu bagaimana lucunya wajah itu.

   "Kamu cuma menghadapi perempuan, Tio!", kataku lagi sambil terus coba membuatmu menggerakkan kaki.
   "Berbeda jika perempuan itu Rere!", kamu memberontak seperti anak kecil. Lalu kembali mencari posisi duduk, dan memakukan diri sendiri pada kursi. "Kamu tidak mengerti,Ra", pungkasmu.

Aku berhenti menarik pergelanganmu,terhenyak dengan pernyataan itu. Sesuatu menohok, rubuh di dalam tanpa suara. "Baiklah..", kataku pada akhirnya, sembari ikut duduk disampingmu.

Aku bisa mendengar tarikan napasmu dan bagaimana ia terhela dengan berat. Kamu kelelahan. Baik karena terus melawanku, atau terus berpikir tentang resiko yang selalu aku ingatkan. Aku cuma ingin kau berpikir panjang, sesungguhnya. 

   "Mungkin aku bisa lakukan nanti malam saja", ujarmu, masih tidak memandangku. "Aku tidak bisa bertemu dengan Rere dengan kondisi seperti ini. Berantakan"
    "Oke..", lirihku, "terserah kau saja sekarang. Aku sudah capek terus memaksamu"
Kamu terkekeh. Aku tidak tahu apa yang lucu. Kemudian kamu melanjutkan, "Maaf jika aku jadi begitu merepotkan. Aku tahu kau bermaksud baik. Tapi yah... kau tahu sendiri aku seperti apa"
   "Apa? Banyak omongnya saja?"
   "Hehehe, yabegitulah..."

Ada hening yang menggantung. Tidak ada yang berusa meraihnya, hingga tiba-tiba kamu mulai berbicara lagi,
   "Bagaimana jika Rere mengatakan 'iya', ya?", tanyamu datar. Tapi sungguh, dari sudut mataku aku bisa lihat matamu berbinar.
   "Menurutmu bagaimana?"
   "Hebat. Hahaha, aku tidak tahu apa yang bisa terjadi selanjutnya setelah dia bilang 'ya' nanti"

Aku menoleh padamu dan ikut tersenyum. Kamu tidak berkeringat lagi. Rahangmu mengendur, dan tidak ada lipatan di dahimu. 

Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku jika Rere mengiyakanmu nanti, Tio. 

23 Sep 2013

Meledak

Tanda tanya meledak.
Bunyinya memantul bergema
Terhirup bersama napasmu
Yang terhenti sebelum telinga

Tanda tanya meledak
Memecah kaca menghujam serpih
Kemudian mata bicara lagi;
Yang kilau ternyata bisa melukai

Ah. Siapa peduli.
Kamu kan, tetap tuli.


2 Sep 2013

Arena Tinju

Aku berada di ring tinju. Berhadapan dengan kenangan dan potong waktu. Bukan milikku, tentu. Mereka semua milikmu. Aku berada di ring tinju dengan bagian dirimu yang disebut 'dulu'.

Dia memang tidak memakai sarung tinju, tapi menggunakan senjata. Di tangan kiri, dan di tangan kanan. Ia pegang sebilah jarum jam seakan memegang pedang. Aku? Aku tidak punya apapun selain mengepal tangan. Wajahnya. Wajahnya yang cukup aku hantam. Tapi sial, waktu terlalu lihai.

Kamu pasti sudah melatihnya begitu baik.

Ia menghantamku tepat di puncak kepala. Buat aku lupa guna mata dan cara bicara
Kemudian menyerang di ulu hati. Meredam semua rasa dan jadi mati.
Terakhir, ia tuju pada kaki. Melumpuh aku jadi  tak bisa berdiri.

3.2.1

Aku kalah di ring tinju. Berhadapan dengan kenangan dan potongan waktu. Tidak mungkin menang, tentu. Mereka telah dilatih olehmu. Aku kalah di ring tinju dengan bagian dirimu yang disebut 'masa lalu'


31 Jul 2013

Aku Tidak Pernah Lupa

Aku tidak pernah lupa. Tentang kamu, ada waktu-waktu dahulu. Lagipula, apa yang bisa dilupakan ? Kamu tidak pernah berubah. Sama saja seperti terakhir kali kita bertemu. Oh, mungkin hanya hilangnya kebiasaanmu menulis tanda tanya yang diikuti koma ?

Aku tidak pernah lupa. Bagaimana caramu membuka percakapan hanya dengan mengirim pesan hanya dengan sebuang tanda titik, atau modus salah kirim.

Dan jangan paksa aku menuliskan bait lagumu. Apalagi menyanyikannya. Karena sungguh, aku masih hapal betul lagu itu. Aku juga ingat bagaimana kau pernah lupa lirik saat bernyanyi. Tidak tahu kenapa, saat itu aku hanya ingin menghambur pintu ruang band dan menertawaimu saja.

Ah. Aku pernah menulis essai tentangmu.

Apa aku ingin melupakannya setelah waktu-waktu menyeret kita jauh ?

Itu bukan pilihan. Aku tidak bisa memilih 'ingin'. Karena pada nyatanya, aku tidak bisa. Yang selama ini aku lakukan hanya 'pura-pura' lupa. Aku lipat semua tulisan bertemakan kamu, dan menyelipkannya di laci paling bawah. Aku hanya ingin tidak sering-sering membacanya.

Tulisanku memang tidak benar-benar berakhir dengan titik. Masih berkoma. Menggantung pada bagian yang hampa. Tapi aku sudah mati. Tokoh 'aku' dalam tulisan itu sudah mati. 'Aku' tidak lagi mengerjakan tugasnya pekerjaannya ; menyebut namamu ditiap paragraf. Kenapa ? Karena tidak ada lagi yang bisa diceritakan.

Waktu selalu menghapus aksaraku. Waktu tidak ingin aku mengada-ngada keberadaanmu. Waktu tidak mau aku gila dengan bicara sendiri dengan telpon genggam tiap hari Minggu.

Hei, waktu sudah bersikap baik padaku selama kamu tidak ada. Berterimakasihlah. Apalagi, sekarang ia sudah menyodorkanku kertas baru. Dia bilang, aku bisa kembali menulis sesuatu baru tanpa fatamorgana kamu. Yah, aku terima saja.

Aku mulai menulis lagi, kamu.
Aku sudah membuat buku. Tentang 'kamu' yang lain. 'Kamu' yang bukan bermakna kamu. 'Kamu' yang juga tidak akan membuatku lupa. Namun lagi-lagi, aku harus menyelipkannya di bawah laci.

Tapi cerita itu sudah selesai. Tamat. Dengan titik. Dengan tulisan 'SELESAI'. Jadi, tak perlu heran jika aku lebih mudah mengambil kertas baru (lagi).  Waktu tidak khawatir denganku lagi karena aku sudah bisa jaga diri.

Kini, aku berani mulai lagi. Tidak dengan Si Waktu. Tidak dengan fatamorgana kamu. Atau menunggu telepon genggam berbunyi tiap Minggu.
Aku berani menulis. Mengeja k-a-m-u yang baru.

Kamu ingin ada didalam ceritaku lagi  ? Tentu boleh saja.
Tapi, bukan kamu lagi temaku.

14 Jul 2013

KEJUTAAN (?)

Oke. Mari kita buka post ini dengan mengheningkan cipta atas meninggalnya Cory Monteith a.k.a Finn Hudson. Jadi, tidak akan ada lagi Finn dengan setengah-senyum nan unyunya di Glee. Sekian. 


OYAAMPUN :'(

Dan mari, kita bersama-sama menundukan kepala sejenak untuk mengenang masa liburan yang telah usai. Pfff yaampun liburan 3 minggu udah abis. Besok sekolah. Yaampun. Yaampun. *kalap sendiri*


Besok sudah harus berangkat ke sekolah tercintah lagi dan bertemu dengan kawan-kawan baru di IPA 9. Yeay. Dan fyi aja, dari 30 kepala di X3, saya sekelasnya cuma sama Kandi doang. Iya, Kandi. Kenapa harus Kandi.  HAHAHAHA. Pertama kali dapet kabar itu, saya ketawa histeris. Ngebayangin setahun lagi bersama Kandi dan semua lagu-lagu Kandi. Mungkin lulus SMA, Kandi bisa ngeluarin album :')

Kabar lainnya adalah, CERPEN KALOBORASI SAYA DIBUKUIN AAKKKK \o/

uhuk.

Jadi gini, tanggal 1 Juli, setelah saya kepoin timelinenya @nulisbuku, saya mendapat kabar bahwa bakal ada #ProyekMenulis tentang Kejutan Sebelum Ramadhan. Terus, saya kasi tau ke Alexander Thian Nanda juga karena yakin ni anak pasti mau ikut. Dan kemudian kita justru berencana buat ikut yang kategori kaloborasinya bareng-bareng dengan modal........ "hayuk hayuk aja".

Kita baru mulai tanggal 2, dan hampir selalu ngerjain selepas isya aja. Asik ? Asik. Ini kaloborasi pertama saya dan baru merasakan brainstroming sampe jam 2 pagi sekaligus ngetik cerpen sambil ngumpet-ngumpet di balik bedcover biar gak ketahuan begadang sama ibu.

.....

Tanggal 13 pengumuman di FX Senayan. Saya kesana ? Ya enggaklah :| Saya cuma mantengin timelinenya @nulisbuku aja, ikutin live streamingnya. Lagi-lagi, gak pernah ngerasain setegang itu di mantengin TL doang. Pff hate that feeling. 

Dan Tadd-da! Tidak ada nama saya dan Nanda di 17 finalis. 

Atit ? Atit. Entah kenapa agak berharap banyak buat yang satu ini. Mungkin juga mau pembuktian buat ....diri sendiri ? Setelah kejadian ibu saya liat kolom cita-cita saya di buku PES kemarin, kemudian ketawa, "Mau jadi penulis ? Mana novelnya? Dari sekarang dong"

Pff. Jadi setelah 'agak' kecewa dengan pengumuman finalis, saya pindah haluan ke blog Nulisbuku, dimana nama-nama 200 karya yang lolos bakal diumumin. Ketika udah di post, saya kalap lagi. Makin ngescroll ke bawah, rasanya makin frustasi. Tapi kemudian..... TERNYATA PENANTIANKU TIDAK SIAHH SIAHH.

Ramadhan Kado Ramadhan. Judul cerpen saya dan Nanda ada di buku ke 18 (atau juga buku ketiga di Kaloborasi) bersama 200 karya karya lainnya (list lengkapnya disini) Pas baca nama sendiri rasanya........asaldasaef. Entah dari jaman kapan ngirim cerpen, dan baru dimuat sekarang. Gila lo. 

Oke, jadi kalo --ada yang-- penasaran, beli aja bukunya yak ! 
Kirim email ke admin@nulisbuku.com pake subjek email 'Beli Buku Kejutan Sebelum Ramadhan'. Sertain nama, alamat lengkap, nomer hp, judul buku (ada 18 buku. Pilih aja mau yang mana :3), dan jumlah eksemplar.  

Sampai tanggal 17 Juli, ada diskonnya loh :3 Sana beli ! wukwuwk

11 Jul 2013

[Cerpen] Aku Marah!

Aku ingin marah. Marah sekali.  Aku ingin meledakkan kaca, atau menghantam tembok, atau memukul wajahnya !
   "Ini bukan salahmu, Ren..", ujarnya sembari menyesuaikan langkahku dengan napas memburu. 
Aku masih marah. Marah sekali. Hingga rasanya ada uap mengepul dari telingaku dan menyumbatnya. Aku tidak ingin memperlambat langkah. Aku ingin tetap menembus kerumunan walau harus menyikut tubuh-tubuh besar. Aku ingin pergi !
   "Rena !", ia memekikku dari belakang. Ia tertinggal dan berusaha menggapaiku saat tubuhnya tenggelam dalam kerumunan, "Rena ! Rena berhenti !"
Aku marah. Aku sangat marah hingga rasanya membakar pipi. Aku sadar apinya merambat ke mata hingga melelehkan sesuatu disana. Tapi aku tidak peduli.
***
   "Kau benar ingin melakukannya ?", Tia memandangku dengan khawatir, "mungkin.. kau harus berpikir dua ka--"
   "Aku sudah memikirkannya jutaan kali, Tia. Aku capek berpikir terus", jawabku defensif.
  "Ya... kadang tidak semua perlu diungkapkan, Ren", ungkapnya lagi, "Tahu kan? Nanti jawabannya belum tentu seperti yang diharapkan".
Aku menghentikan pekerjaanku. Terhenyak. Iya juga, aku belum memikirkannya. Tapi... 
   "Ah, kalau gak pernah dicoba, juga gak bakal tahu jawabannya kan?". Aku tersenyum menghiburnya. Atau juga mungkin menghibur diri sendiri. Entahlah. 
   "Oke, semoga beruntung".
***
   "Bodoh. Dasar bodoh !", aku meracau sendiri sepanjang jalan. "Tia sialan! Gilang sialan!" Umpatanku mungkin berbalapan dengan hentakan kaki. Tubuhku ramai sekali. Aku bisa merasakan pasang-pasang mata memandangku, kemudian berbisik-bisik hingga membuatku muak. 
   "APA ?!", pekikku pada seorang pria. Ia terkejut dan buru-buru memalingkan mukanya. 
Aku masih terus berjalan dan tidak mau berhenti. Aku tidak punya tujuan. Hanya berbelok, berbelok, berbelok. Aku tidak peduli kemana. Yang jelas aku ingin jauh-jauh dari jembatan tadi. Yang jelas aku ingin jauh dari sosok tadi. 
Pasti wajahku tampak mengerikan. Bajuku kusut. Rambutku berantakan dan helai-helainya menutupi pipiku yang lengket. Aku terlalu sibuk mengumpat hingga enggan menyibaknya. Aku biarkan rambut-rambut ini sebagai kacamata kuda.

 Tapi justru minimnya pandanganku membuatku tersandung. Aku terjerembab di tanah yang terasa dingin di lututku. "Sialan ! Sialan !", aku menangis dalam umpatan. Aku mengepalkan jemari dan menghantamkannya ke tanah. 

Aku benar-benar merasa kebas. Duniaku berputar dan langitku membiru. Aku tersungkur kesamping. Alih-alih bangkit, aku pilih tetap meringkuk, memeluk lututku yang dingin. Aku ingin memusuhi dunia. Aku masih merasa marah !
***
   "Aku menyukaimu".
Hening. 
   "Dari dulu. Kau pasti tak menyadarinya, ya?"
Hening. Hening. 
Aku merasa janggal sekarang. Ia masih membatu menatapku tanpa ekspresi. "Gilang? Umh.. Kau dengar aku, kan ?"
   "Kau mengajakku bertemu untuk ini?", ia akhirnya bicara, tapi wajahnya masih datar dan tak terbaca. 
   "Umh.. ya.. Tapi tidak juga sih, tapi--"
  "Tunggu", Gilang memotongku dan maju selangkah. Tatapannya berubah menjadi awas. "Apa temanmu itu belum mengatakannya padamu juga?"
   "Ah ?A..apa?", aku tergagap. 
   "Kamu", ia menunjuk wajahku, "jangan dekati aku lagi"

Aku tercenung. Kemudian mulai meresapi kata-katanya yang ternyata menohokku tepat di dada. Sakit. Mati rasa, hanya rasa sakit. Jemariku bergetar dan seketika aku memandang semuanya dari balik kaca-kaca pecah. Aku lupa aksara, hanya ucapan sesuatu yang tercekat, tertahan amarah.
   "Oke".
Aku mulai berlari dan benar-benar menjauhinya.Sejauh-jauhnya.

3 Jul 2013

[Cerpen] Duluan, Nai

Nai duduk menghampa. Berkali-kali ia susuri pandangannya pada koridor , mencari sesuatu yang semakin ia yakini hanya palsu saja.  Bahkan rasa gelisahnya sudah berganti jadi lelah.
   “Masih belum selesai, Nai?”
   “Belum. Kalau ada keperluan, duluan saja”
Sosok itu berdiri, merapikan barang bawaannya dan berlalu sambil membisik, “Duluan Nai”

Nai mengangguk kosong. Masih tidak mendengarkan dan memilih buta.

Senja menjingga. Hari siap menarik diri dan menggelapkan hati. Nai, entah kenapa masih ada rasa harap dalam dirinya. Padahal jelas-jelas sudah tidak ada lagi yang patut dinanti. Ia masih duduk memandang kosong pada koridor yang temaram.

Angin berhembus kaku. Seperti meledek, dan mengingatkan betapa bodohnya Nai masih disitu. Bayang apapun tetaplah bayang yang tak akan pernah menyata. Nai bukanlah gadis naïf, apalagi bodoh. Padahal ia sudah sadari hal ini akan terjadi. Matanya panas, hatinya beku.  Tubuh hampanya merubuh. Gravitasi malam menariknya dan menguapkan harapnya bersama naik dengan sang Dewi.

Nai menangis.

Ia kutuki gelap. Ia kutuki hati. Adalah tanda tanya kenapa lagi-lagi hati terlalu yakin dan pura-pura tuli. Satu-satu mundur menjauhinya, menjadi gelap, kemudian hilang dari pandang. Nai seperti tenggelam. Pada malam atau memang pada kesedihan yang sendiri ia ciptakan. Ia menangis lagi. Terus mengisi malam. Seakan akan ada yang dengar kemudian mengulur tangan.

Masa lalu masih menggerogotinya, hatinya, mimpinya, dan masa esoknya. Semua kenangan yang ia caci diam-diam masih Nai gantung pada langit-langit kamar. Ia ikat dengan harap sesuatu saat jarum jam akan berhent berlari dan biarkan Nai bergerak mundur.

Nai ingin merobek alur waktu.

Kemudian muncul disaat lalu, ia urai semua dan muntahkan segala tanya yang sedari dulu menohoknya. Akan Nai cari tangan yang hilang, tangan yang dulunya digenggam. Akan ia tumpahkan tangisnya, ia bongkar semua senyumnya sebelum sosok pergi jadi fatamorgana sekian kalinya.

***
   “Masih belum selesai, Nai ?”
   “Belum. Kalau ada keperluan, duluan saja”
 Sosok itu berdiri, merapikan barang bawaannya dan berlalu sambil membisik, “Duluan Nai”


***

4 Jun 2013

Detak

Permukaan kopi berdetak
Tanda kamu mendekat ?
Atau tanda ia siap jadi ledak ?

Permukaan kopiku berdetak
Kamu lihat ?
Berarti penantian ini bisa aku sebut layak

Permukaan kopiku berdetak
Semoga lebih cepat
Karena senja hendak tutup diri
Malu melihat aku terbodohi

8 Mei 2013

[Cerpen] Untuk Kamu


Sedang berusaha untuk menciptakan tokoh cowok yang gak menye-menye. Dan..........gagal :( huhuhu

***

Dia masih berdiri di depan, dengan secarik kertas di tangan yang ia genggam kuat-kuat. Aku tidak bisa menebak ia terlalu bersemangat atau terlalu takut. Wajahnya tampak datar saja. Sesekali mengulum senyum ketika teman-teman menyorakinya.

   “Dia mau apa ?”, Tio menyikutku.
   “Entah. Membacakan sesuatu ?”, aku hanya menggidik bahu.

Tentu saja aku berbohong. Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Aku tahu bakat apa yang akan ia tampilkan di Minggu Bakat pelajaran Seni Budaya ini. Ia sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan mungkin ketika pertama kali Pak Damar memberitahukan seisi kelas tentang project ini.

Aku sering melihatnya berdiam diri di kelas ketika istirahat. Kemudian mulai mencorat-coret sesuatu di buku birunya. Tersenyum, merengut, kemudian tampak begitu bersemangat. Bagaimana aku tidak penasaran?

Awalnya memang tidak. Tapi pada suatu kesempatan, aku tak sengaja melihat isi buku birunya. Isinya berantakan. Garis garis pulpen hitam dan merah memenuhi halaman.

Dan huruf-huruf yang terangkai jadi bait-bait.

Aku tidak berani melihat lebih lama apalagi membacanya. Entahlah. Aku rasa buku itu bersifat pribadi. Tapi semakin lama aku semakin yakin. Aku semakin sering memperhatikan raut wajahnya ketika menulis, sembari menerka kata-kata apa yang sedang ia rangkai. Apa ia buat sedih, buat senang, atau buat yang penuh amarah.

Dan aku tidak pernah berhasil membaca wajahnya.

Sama seperti sekarang. Dia masih berdiri dengan wajah yang tidak terbaca ekspresinya. Anak-anak di kelas sudah tidak lagi memperhatikannya. Mungkin hanya aku dan Pak Damar yang masih berusaha menyimak bisunya.

   “Ehm, baik Luna. Apa yang ingin kamu tunjukan kepada teman-teman?”, Pak Damar angkat bicara, “Apa kamu hendak membacakan sesuatu ?”

Kelas diam. Kembali memperhatikan dia di depan.  Tapi masih bisu saja yang terdengar. Hingga akhirnya, Pak Damar menyerah, “Baiklah.. mungkin kita lihat tampilan dari teman-teman yang lain dulu. Luna bisa duduk kembali...Selanjutnya ?”
***

Bangku Luna kosong. Tidak ada buku biru di kolong mejanya seperti biasa. Harusnya aku tidak perlu memikirkannya.  Tapi toh pada akhirnya aku coba keluar kelas mencari Luna.

Tak sulit. Luna ternyata ada di bangku dekat lapangan. Sedang melihat ke keramaian dengan Oreonya. Aku sadar aku semakin aneh ketika berpikir harus duduk disampingnya, kemudian mengajaknya bicara. Untunglah aku tidak sempat melakukan hal bodoh tersebut karena bel telah berbunyi lagi.

Untunglah ? Aku rasa tidak juga.
***

Begitulah hari selanjutnya. Aku semakin jarang melihat Luna di kelas. Mungkin hanya beberapa menit, mengeluarkan buku birunya, kemudian menutupnya kembali dan keluar kelas. Tentu saja duduk di bangku yang sama dengan makanan yang sama.

Hingga akhirnya aku tidak tahan lagi. Sudah kukumpulkan niat untuk melangkah menghampiri Luna, tapi kemudian merasa bodoh. Apa yang harus aku katakan? Tiba-tiba mengajaknya bicara tanpa alasan ? Jika kemudian Luna tidak merespon apapun, aku akan benar-benar tampak seperti orang bodoh yang sedang berusaha menarik perhatian.

Tapi siapa sangka. Kaki ini dapat melangkah sendiri.

   “Hei, sendiri aja ?”, kata-kata itu meluncur bebas. Aku menatapnya ragu, dan kemudian mendapat Luna yang terkejut. Hebat. Aku hampir membuat orang lain jantungan hanya dengan membuka percakapan.
   “Umh, Ya. Ada apa Raka ?”, Luna bicara seperti melirih, kemudian melanjutkan dengan polosnya, “Apa sudah bel masuk ?”
   “Ah ? Tidak tidak.. Maksudku belum bel. Santai saja…”, padahal justru aku yang tidak bisa santai, “kenapa tidak di dalam kelas?”

Luna tidak menjawab.  Ia hanya tersenyum. Persis ketika ia berada di depan kelas dan disoraki. Aku mulai bersiap mengutuki diri sendiri karena telah berpikir melakukan hal yang konyol , tapi kemudian Luna memandangku dan bicara,

   “Minggu ini kamu belum kebagian maju untuk tampil Minggu Bakat ?”, tanyanya.
   “Belum. Mungkin minggu depan. Nomer urutku cukup jauh”, aku diam sejenak menarik napas, “ dan, kenapa Luna tidak jadi maju minggu ini?”

Kini Luna tampak lebih tegang. Ia mengalihkan pandangan menuju sepatunya. Mungkin aku salah bicara. Ah yaampun. Bodoh bodoh bodoh.

    “Aku belum siap. Yang ingin aku tunjukan sebenarnya belum jadi….”, Luna melirih lagi.

Bohong. Luna berbohong.

   “Belum jadi ? Memang sudah sejauh mana puisimu ?”
   “Dari mana kamu tahu aku akan membacakan puisi ?”

Skak mat. Lihat aku Si Bodoh  Bermulut Besar.

   “Umh.. yah, hanya menebak”, kini aku yang gelisah, “apa memang benar kau akan membacakan puisi ?”.
Luna bungkam lagi. Ia menatapku sekilas, kemudian membuang muka sambil mendesah, “Bagaimana jika aku maju lagi, kamu tak perlu memperhatikanku seperti yang lain saja ?”
   “Apa ? Maksudm—“
   “Jangan lihat aku”, ia berhenti sejenak dan berdiri, “Apa kau pikir mudah membacakan puisi tentang kamu jika kamu terlalu memperhatikanku seperti itu ?”

Ia berlalu dengan wajah merah.

Aku beku dan berusaha mengurai artinya.

7 Mei 2013

Senang

Aku tidak jadi mundur. Tapi tidak juga akan bergerak maju. Diam saja. Menikmati semuanya yang sekarang aku punya.

Aku tidak mundur kemudian menjauhi. Jadi naif kembali dan berpura-pura tak pernah ada apa-apa.
Tapi tidak juga akan maju kemudian mengatakan. Cukup diam dan biar tak ada tanda tanya yang diberikan.

Jadi, tolong mengertilah.
Tetaplah berada ditempatmu dan jangan hindari aku. 
Aku janji tidak akan ganggumu lagi. 
Aku diam.

Karena aku senang jadi bayang :)


19 Apr 2013

[Cerpen] Bersama Ibu

Well, actually this is the task for Mrs. Nena. Phew, I did it ; made a shortstory without galao. Need to try it again....... 


***

Rama memeluk Lika dalam bisu. Sudah ia kunci pintu dan berusaha tidak mendengarkan apapun. Ia ingin kamar ini kedap suara untuk malam ini saja. Apapun, agar teriakan-teriakan di luar tidak menembus atmosfernya. Lika sendiri menahan tangis dengan bahu bergetar. Ia sudah berusaha mati-matian agar menelan air matanya sendiri, “Jangan nangis, cengeng !”, bentak Rama tiap kali Lika menangis. Padahal Lika sendiri tahu Rama berkali-kali menyeka pipinya sendiri dengan kasar. Makanya Rama hanya memeluknya dalam agar tidak perlu melihat wajahnya sendiri.

   “Ibu kenapa menangis?”, tanya Lika tertahan
   “Diam. Ibu tidak menangis karena ayah”.
   “Aku tidak bilang ibu menangis karena ayah”
   “Siapa peduli. Diam, Lika. Tidak perlu mendengarkan mereka”

Tapi bagaimanapun keduanya berusaha menutup telinga, percuma saja. Malam itu terlalu hingar bingar dalam sepi yang paling dalam.
***
“Kita pindah ke luar kota besok pagi. Bawa pakaian seperlunya saja dulu”, kata ibu singkat ketika Lika sedang asik di kamarnya. Ia terperangah seketika. Pindah ? Lika baru saja buka mulut untuk protes, tapi ibu sudah hilang di balik pintu.

Lika masih heran dengan ketidak hadiran ayah dan Rama pagi ini, kini sudah ditambah dengan keputusan tiba-tiba tentang kepindahan.  Bukan berarti merasa senang, tapi Lika diam-diam merasa bersyukur karena ayah tidak ada di rumah. Tidak ada ayah, malam itu tidak akan terjadi lagi setidaknya untuk malam ini.
Dalam lamunannya, tiba-tiba telpon genggamnya bergetar. Rama menelpon,

   “Lika, kamu gak apa-apa ? Sekarang dimana ? Masih di rumah ?”, cecar Rama ketika telpon diangkat.
   “Ah ? Gak apa-apa.. Iya..”, Lika jawab seperti bisik. Tanda tanya masih memenuhi rongganya.
  “Maaf tadi pagi kakak dan ayah tidak pamit”, ada jeda kosong sebelumnya, “Hanya tidak ingin mengganggu tidur Lika”.
   “Kalian kemana ? Pulang nanti sore, kah ? Cepat pulang, kak. Ibu agak bersikap aneh hari ini..”
Sepi. Rama mengambil jeda yang lebih panjang hingga akhirnya menghela napas sendiri, “Lika baik-baik ya. Kakak pulang ke rumah secepatnya nanti.. Tung—“
   “Kata ibu besok pagi kita pindah ke luar kota. Kakak dimana ? Kakak bersama ayah ?”, Lika mulai merasa sesuatu yang tidak beres. Semua orang bersikap aneh hari ini dan Lika merasa paling bodoh karena masih belum mengerti apa yang terjadi.
   “Iya, kakak bersama ayah”, Rama berusaha menutupi gemetar suaranya, “Baik-baik sama ibu ya, Lika..”

Telepon diputus. Ibu berdiri di ambang pintu dengan wajah murung. Lika gelagapan, ia buru buru menyelipkan telpon genggamnya. Entah kenapa ia begitu merasa takut sekarang.

   “Lika bersama ibu”, kata ibu dengan datar. “Rama bersama Ayah. Itu keputusannya”
   “Kita pindah tanpa mereka?”, Lika bertanya hati-hati. Ibu tidak buka mulut, tapi matanya bicara dan menandakan iya. “Apa kita tidak akan bersama mereka lagi, bu ?”

Wajah ibu makin murung. Ada kantung mata dan kerut di wajahnya, “Lika bersama ibu”. Tak ada kata lagi, ibu pergi begitu saja meninggalkan Lika yang tenggelam dalam pikirannya.

Lika mengerti. Pagi ini adalah hasil dari kemarin malam. Semua hingar-bingar itu adalah jawaban untuk tanda tanya pagi ini. Lika bersama ibu. Lika bersama ibu. Kata itu terngiang bersamaan dengan kenyataan bahwa rumah, tidak akan seperti dulu.

Ketika ibu sudah dirasa benar-benar hilang, Lika kembali merogoh telpon genggamnya, kemudian kalap mencari nomer Rama. Namun nomer tersebut tidak bisa dihubungi. Lika coba terus menerus menembus Rama, tapi tak kunjung masuk. “Ayolah kak…”, gumamnya sendiri semakin frustasi.

   “Ibu sudah bilang, Lika”, ibu tetiba muncul lagi di ambang pintunya, rahangnya mengeras. “Lika bersama ibu. Apa itu tidak cukup ? Apa Lika mau ibu tinggal juga?”
Lika bungkam seribu bahasa. Ia tercekik dengan kata-kata ibu yang telak meremukkannya. Ibu tampak tidak bercanda. Matanya kosong, namun membara. Siapapun yang ada didalamnya, benar-benar bukan ibu yang lama.
   “Tidak bu..”, suara Lika parau. Ia sudah hendak menangis lagi. Rama mana Rama..
   “Tolong Lika..”, suara ibu bergetar, “Ibu tidak punya siapa-siapa selain kamu”
Lika tidak sempat mengatakan apa-apa, karena ibu langsung pergi lagi dari pintunya. Lika tenggelam lagi, menelan sendiri air matanya tanpa ada bentakan Rama seperti biasa.

***

   “Lika ingin mengabari kakak dan Ayah”, kata Lika di pagi ketika mereka sedang sibuk berkemas, takut takut.
Ibu tidak menjawab. Hanya melirik sekilas pada Lika dengan mata bicara ; tidak.
   “Kalau begitu beri tahu Lika sekarang mereka dimana”, Lika sadar ia mengatakannya terlalu tegas. Terlihat rahang ibu mengeras tanda tak suka.
   “Lika bersama ibu”, katanya ketus, “Tolong Lika. Ibu mohon turuti ibu”.
   “Turuti apa ? Untuk meninggalkan ayah dan kakak ?”, Lika tidak tahan lagi. Tanda tanyanya meledak.
Ibu tidak menoleh, masih tampak tidak senang. “Turuti ibu untuk tetap bersama ibu. Mengerti ?”
   “Apa ibu takut kehilangan aku, atau ibu takut sendiri ?”, Lika tidak dapat menahan diri, “Apa ibu tidak takut kehilangan kakak juga ?”
   “Ibu yang tidak ingin kamu sendiri, Lika”, ibu mulai menangis. Pipinya basah tapi terus menyibukkan diri dengan barang-barangnya, “Ibu ingin kamu tetap bersama ibu”

Lika ingin kembali bicara, tapi tiba-tiba ibu begitu saja memeluknya dalam-dalam dengan  bahu bergetar. Lika bisa mendengar bisikan ibu, “Tolong Lika.. Tolong..”

Lika hanya tidak mengerti. Ia terlalu lugu untuk dapat mengurai semua artinya. Yang ia tahu, kepindahan ini bukan hanya semata pindah, tapi juga meninggalkan jutaan kenangan dalam tiap ubinnya. Dinding rumah akan berhenti bercerita karena hanya ada kekosongan setelahnya. Apapun yang terjadi disini, akan melumut bersama debu. Mungkin tidak akan jadi apa-apa ketika semua sudah kembali sedia kala. Hanya gema-gema malam itu dari celah tembok retak. Kemudian mengingatkan betapa rumah ini dulunya rusak karena teriak.
Ibu masih memeluknya. Ibu yang tadi mengeras kini merapuh.

Lika tidak ingin meninggalkan ibu. Lika menurut ; hanya akan bersama ibu.

17 Apr 2013

Salah Kamu

Seharusnya kamu buat tanda
Agar aku tidak perlu singgah
Atau setidaknya tak perlu berlama-lama
Duduk dalam hatimu, menunggu kamu temukan aku.

Aku melumut dalam debu.
Kemudian tenggelam sendiri dalam doa-doa yang kini beku
Kelelahan. 
Jutaaan harapan, kini jadi ratapan

Aku mati suri dalam hatimu sendiri.
Salah siapa ?
Kamu, siapa lagi.


12 Apr 2013

Kopi Senja

Kamu datang bersama pagi dan meninggalkan kopi yang mendingin. 
Aku harap pintu segera terbanting saja, menandakan kamu tak akan kembali datang. 
Jadi aku bisa sesap kopi ini sendiri,
Tanpa menanti dan tak perlu bertanya,
Mana senja-ku yang akan bukakan pintunya.

5 Apr 2013

Klise

Ini klise. Semua tulisanku lagi-lagi tentang kamu. Entahlah, aku benar-benar menduniakanmu. Yang padahal, kamu selalu menanggap kita bukan berada di dunia yang sama. Bagaimana  bisa ? Aku selalu buta arah.

Tak apa, (anggap saja) aku sudah mulai terbiasa. Jadi remang kosong yang mungkin tidak pernah kamu jamah. Mempermainkan hati sendiri dengan kamu bersamanya. Dan hanya bisa bersepi beku karena... yah, aku punya hak apa ?

Mereka bilang ini itu. Tentang berhenti dan kamu yang bukan padaku. Terus begitu hingga rasanya aku tuli dan mati rasa. Percaya yang mana, aku tidak menjawabnya.

Aku bisa saja berhenti.
Mungkin saja. 
Alasannya lebih berat daripada tetang tinggal.

Tapi yah, ini klise. Aku sudah katakan. 
Semua tulisanku, lagi-lagi tentang bayang yang enggan meninggalkan. 

..
Benarkah ?


28 Mar 2013

Terkadang.

Karena terkadang, percakapan sederhana kita selalu aku simpan diam-diam. Dan beberapa kalimatmu begitu memenjarakan dan membungkam.
Karena terkadang, aku kalah kata atas bahagia yang kamu ciptakan. Kemudian menenggelamkan aku tanpa tahu mana dasar.
Yah, sampai sekarangpun..aku tidak juga dapat bicara atau menemukan dasar.
Diam. Dan melihatmu tersenyum di permukaan.

24 Mar 2013

[Cerpen] On The Phone

Nazma masih duduk diam menatap sepatunya. Ia seperti beku begitu saja dengan berbagai tertawaan dari luar atmosfernya, dari Fahmi. Dan Fahmi tampak seperti biasa, ramah dengan siapa saja dan begitu ringan. Ia menyapa, tersenyum, dan sesekali terkekeh bersama teman-temannya. Bukan tidak menyadari kehadiran Nazma. Ia tahu betul Nazma belum bicara apa-apa dari ketika ia datang, tapi entah kata apa yang pantas untuk menyapa Nazma lagi. Sesekali ia melirik, mengharap Nazma setidaknya mengadah kepala dan mata mereka tak sengaja saling bertemu. 

Tapi hingga ia harus pergi, ia tidak juga menangkap mata Nazma.

***


   "Gak pegel, nunduk aja ?", tanya Rafa sembari menepuk bahu Nazma. Nazma menoleh kaget, dan kemudian menyimpul senyum. Rafa dengan mudah mengurai artinya. Ia mengambil duduk di depan Nazma dan terkekeh, "Gak boleh jadi sombong gitu, Ma.. ". 
   "Sombong kenapa ?"
   "Jarang-jarang bisa kumpul, disapa dong. Masa diem aja... "
   "Sapa bagaimana ? Sapaku pasti terdengar kosong", Nazma menghela panjang.
Rafa menarik bibirnya kecil disudut. Ia tahu Nazma pasti menyangkal apapun kata-katanya. 
   "Apa setelah malam itu kamu menghentikan semuanya ? Gak ada komunikasi apapun lagi ?", tanya Rafa lagi.
   "Tadinya iya..", Nazma menghela napas panjang. "Tapi sekarang dia udah punya cewek", suara tadi Nazma yakini suara tercekik yang paling bisik.

Ada hening sejenak. Rafa membiarkan Nazma mengambil napasnya lagi dan kembali menapak bumi. Mungkin samar, tapi ia tahu ada yang rubuh di dalam Nazma ketika mengatakannya. 
   "Walaupun Fahmi gak bilang apa-apa ke gue, gue tau Fahmi sebenernya pengen bersikap biasa aja ke lo, Ma", Rafa mendesah, "Gak ada masalah dengan berteman baik. Lo selesai dengan Fahmi juga secara baik-baik,kan? Bersikaplah dewasa, Ma. Inget, sebelum itu lo juga sahabat baik dia dari dulu".

Nazma bungkam kehabisan kata. Rafa ada benarnya juga. Tapi tetap saja, tidak ada kata-kata yang mau keluar lagi pada Fahmi. Padahal tidak ada sakit hati atau benci. Hanya saja... Ah. Nazma meremuk acap kali hendak bicara

Tapi yah, Rafa tidak salah. Tidak bisa ia terus seperti ini. Fahmi juga sahabatnya. Mungkin mereka bisa kembali seperti masa lama. 

***

Handphonenya hanya ia pegangi sedari tadi. Nazma memandang kontak Fahmi dengan tatapan kosong. Namun pada akhirnya, jemari itu bergerak juga.

.... 

  "Halo ? Emh, kenapa Nazma?"

Fahmi menyebut namanya. Nazma kemudian menciut dan meledak jadi bagian terkecil. Ia hendak berkata tapi kelu. 

   "Halo ? Nazma?"

Dua kali. Fahmi menyebut namanya lagi. Semua dialog yang disusun buyar seketika. Tapi tidak kali ini. Kata-kata itu tidak boleh bunuh diri lagi !

 "Erh.. Fahmi ? Iya ini Nazma..", Nazma diam sejenak, "Hai."

Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Fahmi juga mengambil jeda lebih panjang, kemudian menjawab sapaannya. Baru saja Nazma hendak berkata lainnya, seseorang memanggil Fahmi dengan samar. Fahmi menyahut, kemudian kembali pada Nazma,

   "Sorry, Ma. Mungkin lain kali ya. Gue lagi.., umh. Nanti gue telpon lagi"


Nazma tahu Fahmi sedang apa. Nazma mengerti. Ia hanya mengiyakan dengan singkat, ingin segera mengakhiri telponnya, 

"Maaf gue ganggu,Mi". 

Kemudian ia putus sendiri telponnya.

Nazma diam mematung lagi. Dalam hati ia mengutuki perbuatan bodohnya dan perkataan Rafa tadi siang. Dalam hati Nazma rubuh dan melebam. Ia sadar ternyata ia hanya sedang melempar bumerang yang kembali menghantamnya telak.

Keadaan mempecundanginya. Masih saja ia kalah.

'Cause I still don't know how to act
Don't know what to say.

Still wear the scars like it was yesterday.
But you're long gone and moved on...


-Long Gone and Moved On, The Script

7 Mar 2013

Bayang Diam-Diam

Diam-diam. 

Itu yang selalu Faya lakukan. Diam-diam dalam diam, diam-diam memperhatikan. Terus seperti itu setiap harinya di sekolah. Ia akan mencemaskan bangku kedua di baris pojok yang kosong ketika bel telah berbunyi, kemudian menghela napas sendiri ketika pintu terbuka dengan kasar dan sosok yang di nantinya muncul dengan beberapa peluh di dahi.

Sosok yang utama yang menjadikannya bayang. Dengan rambut hitam legam yang selalu berantakan karena belum di sisir tiap pagi, kemeja yang kusut karena berdesak-desakan di bus ketika berangkat sekolah, dan tas kumal yang sepertinya tidak pernah membawa apa-apa. Entahlah. Sosok yang menjadikan Faya hanya bayang itu benar-benar menghabisi dunianya.

Faya tidak pernah banyak bicara pada 'tuannya'. Hanya kata seperlunya, dan senyum canggung tiap tak sengaja tertangkap matanya. Faya terlalu menikmati perannya sebagai bayang. 

Hanya diam.
Sebagai bayang dalam diam.

Apa Faya bosan ? Memang melelahkan terkadang. Siapa yang tidak lelah mengikuti terus-terusan ? Apalagi sambil diam-diam. Tapi..kadang juga menyenangkan.

Menyenangkan rasanya dapat memperhatikan sosoknya yang terkantuk-kantuk saat pelajaran.
Atau ketika ia sedang terlalu semangat, kemudian banyak bertanya hingga guru yang justru bosan. 
Sekedar bisa mengintip buku catatan yang ia gambarpun rasanya membanggakan.

Ah, Faya tahu semua ia bodoh. Jadi bayang diam yang salalu diam-diam.

Faya juga sakit diam-diam. Bagaimana tidak ? Sosok yang diperhatikan terkadang sedang memperhatikan bangku lain, ke arah lain. 

Namun seperti yang sudah dikatakan berulang-ulang. Faya bayang diam yang diam-diam.
Ia juga meringis dalam diam. Dan senyumnya tetap membayang. :)

3 Mar 2013

Topeng Dua Sisi

Aku tidak tahu kenapa aku bisa semuka dua ini. Setiap hari, rasanya semakin mudah mengganti topeng. Membolak-balik sisinya tiap kesempatan. Ini itu. Aku tinggal pilih saja. Topengnya dua sisi ini sudah hampir koyak karena sering digunakan. Khususnya saat bersama kamu.

Ya, lagi lagi kamu.

Sisi yang ini akan aku biarkan seharian. Biar saja. Aku senang dapat membuatmu senang. Itu hukumnya dan rasanya aku dibatasi dalam pilihan. Sisi ini akan selalu terpapang dan masa bodoh dengan nama-nama yang selalu kamu sebutkan. Sisi ini akan melengkungkan bibirnya. Sesekali bahkan tertawa kecil. Yang palsu yang nyata, tak akan ada bedanya. Aku senang dapat membuatmu senang. Itu hukumnya dan aku tahu itu sudah cukup.

Sisi satunya lagi ? Akan hanya ada ketika mengabu. Ketika aku duduk di salah satu dari dua bangku dengan kopi yang dingin. Aku akan setia disana menghadap pintu. 

Menunggu dengan bisu ? Tidak. Aku sedang menyimak langkah sepatumu yang semakin samar menyemu. Kamu berjalan memunggungi aku dan kopi dinginmu.

Jadi apa yang aku tunggu ?

Aku harap, tiba tiba kamu berbalik arah kemudian berlari ke arahku secara tiba-tiba sebelum aku menyadari langkahnya. Kau dobrak pintu bodoh itu dan mengambil duduk di kursi hadapanku. 

Meraih topengku yang koyak.
Melipatnya menjadi origami.
Dan tersenyum,
 "Aku sudah melihat kamu sekarang. Kamu bukan topeng berbayang"

Kemudian kita menikmati kopi yang dingin ini. 

12 Feb 2013

[Cerpen] The Secret Doors

Tell me what you want to hear
Something that will light those years
I'm sick of all this insincire
So I'm gonna give
All my secrets away
-One Republic
***

“Bagaimana dengan janji ?”, Reza menatapnya, “apakah tidak ingin kamu tepati ?”

Ana bungkam. Bukan tidak bisa bicara, ia hanya tidak bisa menemukan kata yang ingin digunakan. Maka ia hanya balik memandang Reza dengan datar, hingga akhirnya Reza memaling muka dan mendesah, “Berhentilah berlari. Kau perlu diam sejenak dan berkaca ”, katanya sembari bangkit, “biar kamu ingat sebenarnya kamu itu siapa”

Dan disitulah Ana. Duduk termangu sendiri dengan pikirannya. Percakapan dengan Reza memang tidak begitu panjang, namun melelahkan. Semua kata Reza benar. Semua kata Reza benar. Ana tahu itu. Hanya saja….

                ***

Waktu sudah jauh berlari, namun seperti cerita-cerita, selalu ada puncaknya. Sekarang puncaknya. Semua yang nyata ternyata selama ini tidak pergi kemana-mana, selalu berada di balik pintu. Dan sekaranglah, Ana baru saja membuka pintu tersebut.

Hujan. Hujan. Hujan.

Tidak heran. Sekarang memang musim hujan. Selalu mendung dan berangin. Rinai hujan tidak selalu jadi rinai. Kadang ia bergemuruh, kadang ia terus –terusan mengeluh. Namanya juga hujan.

Hujan. Hujan. Hujan.

Di dalam hujan lah pintu Ana terbuka. Kemudian semua yang nyata itu menghantamnya bertubi-tubi. Membuat Ana yang lemah semakin lemah..

***

“Jadi kamu seriusan enggak tahu, Na ?”, Fala menatap heran mata dihadapannya, “Jadi.. Jadi kamu gak tau apa-apa soal perihal itu ?”.

Ana menghantam punggungnya pada sandaran kursi. Tubuhnya melemas dan sesuatu rubuh didalam. Berdebam dan langsung melebam. Jadi.. Agi selama ini tidak pernah menyadari yang sebenarnya terjadi? Jadi selama ini hanya ada aku dan kamu. Bukan kita ?

***

“Dasar cewek bego !”, pekikan itu menggema. Jika saja tatapan memang bisa membunuh, harusnya Ana sudah terkapar berdarah-darah dengan tatapan Meda. “Gue pikir kalian emang pacaran betulan, Na !”, tukas Meda lagi. Keringat berderai dari pelipisnya. Dahinya berkali-kali mengernyit. Heran.
                “Dekat kan, bukan berarti pacaran..”, Ana mencoba menahan air matanya. Tapi segala perasaan dan sesuatu yang seperti tersangkut di tenggorokkannya membuat Ana tercekik
                “Tiga tahun, Na ! Tiga tahun lo cerita hal-hal bodoh itu di depan dia. TIGA TAHUN LO GAK NYADAR APA-APA !”, Meda tersulut emosinya. Napasnya memburu. Begitu herannya dengan gadis ini. Dia ini polos atau emang beneran bego sih ?

Ana membeku. Ia merasa seperti menyusut, menyusut, kemudian pecah jadi bagian terkecil. Sungguh, semua ini di luar perkiraannya. Semua ini salah. Harusnya Ana tahu itu.

Meda yang akhirnya tersadar, ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya kesalahan waktu. Waktu yang egois yang tidak pernah berhenti sejenak sekedar membiarkan orang-orang yang terseret olehnya saling menoleh. Ini bukan salah siapa-siapa. Tidak ada yang perlu disalahkan.

Kemudian Meda mendesah sendiri. Dahinya masih terlipat. Matanya terpejam berulang-ulang. Ia benar-benar baru menyadarinya. Semua yang nyata, ternyata selama ini memang tidak pernah kemana-mana…
               
              “Lo tahu dia baik, gue harap lo juga harusnya mengerti bagaimana perasaan dia. Lo gak bisa pura-pura tutup telinga dan terus berkoar-koar, Na. Lo harus lurusin semuanya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Lo tahu itu”, kata Meda akhirnya. Ia melirih, “Jangan terus berkaca pada cermin buram tanpa tahu bayangan lo sendiri itu sebenarnya apa, Na..”

***

                “Kata siapa, Na ?”, Reza menyeringai geli. Ia coba mencari mata Ana yang kini justu malah salah tingkah. “Kata siapa kalo sebenernya  gue suka sama lo ?”.
Ana masih menunduk. Merasa aneh sekaligus canggung. Jadi seperti biasa, Ana hanya bungkam dan terus menatap sepatunya.
                “Lihat Reza, Na”, tukas Reza lagi sembari menyentuh bahunya. Ana menoleh cepat dan langsung terperangkap dalam dalam.“Apa muka Reza cukup ganteng buat suka sama kamu ? Hahaha..”

Reza terkekeh tanpa meyadari raut Ana yang berubah. Ia tercekik sendiri lagi. Benar-benar tidak bisa mencerna kata-kata Reza. Jadi sebenarnya bagimana ?
                “Za, tolong.. Ana bingung..”, lirihnya parau. “Ana gak ngerti sebenernya gimana..”
Kemudian sekarang Reza yang diam. Ia tatap lekat-lekat sosok dihadapannya.  “Kenapa masih bertanya?”, Reza menyungging senyum.
                “Karena Ana masih belum mengerti. Kata Meda begitu. Semua orang bilang begitu..”
                “Kata Meda ? Kamu percaya sama Si Meda ?”, Reza tertawa kecil, “Orang kayak gitu dipercaya kamu, mah..”

Ana balik menatapnya lama. Mencoba mencari sendiri jawabannya di dalam mata Reza. Tapi Reza memanglah Reza. Gelap matanya terlalu pekat. Tak pernah terbaca.
                “Ana kan sudah sama Agi..”, goda Reza sembari menyikut Ana/
                “Agi enggak suka Ana. Agi tetap belum sadar tentang Ana. Sepertinya,he falling in love with someone elsa, Za..”
                “Then try it again. Tapi sekarang, just be yourself, Na. Jangan seperti tahun-tahun kemarin. Jangan berubah cuma buat seorang Agi…”, Reza menepuk kepala Ana dengan ringan. Kemudian tertawa, “Gue sebel banget pas waktu itu. Rasanya, itu bukan Ana yang gue kenal, tau !”.

Mau tidak mau Ana ikut tersenyum. Ia juga menyadari betapa bodohnya dia waktu itu. Semua perubahan yang ia lakukan mati matian hanya untuk Agi ternyata hasilnya nol besar. Semua perubahan yang ia lakukan justru malah balik meremukan.
                “Maaf ya, Za..”, bisik Ana. Rasa malu mengkerdilkannya. Tapi Reza memanglah Reza. Ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
                “Dan oh ya, Na..”, lanjut Reza, “Gak usah dengerin Meda dan orang lain. Ana itu sahabat gue dari dulu. Gak mungkin gue jadiin pacar, kan ?”, canda Reza disusul dengan derai tawanya.
“Dan satu lagi, Na”, Reza menatap Ana dengan serius, “Gue juga gak mau saingan sama si Agi. Gak level !”.

Ana hanya tersenyum. Ia tahu sekarang. Ia mengerti. Reza benar. Reza memang selalu benar. Semua oranglah yang salah. Reza, tetap yang bisa ia percaya.

***

Mungkin pintu Ana memang sudah terbuka. Semua yang nyata disana sudah berhamburan keluar. Hanya satu lagi. Satu pintu lagi dengan satu yang nyata. Pintu Reza. Dengan Reza sendiri di baliknya.

***
Guess it :)