"You read me like an open book"
"Tidak"
"Ya, kamu membacaku. Lalu bertingkah seperti mengoreksi ejaan, menerka, mencoret, lalu lupa"
"Aku tidak mengoreksimu. Aku cuma memastikan. Mengoreksi dan memastikan jelas-jelas hal yang berbeda"
"Tapi kamu membacaku!"
"Kamu tidak suka?"
"Tidak. Tidak. Oh yaampun. Sudahlah. Berhenti menerka mataku!"
"Hahahaha, kamu lucu sekali. Ayolah, kamu sendiri yang tidak mau diam. Lihat, kamu membolak-balik buku sedari tadi tanpa membacanya"
"Aku melihat gambarnya"
"Bukan. Kamu terlalu khawatir. Kepalamu berantakan. Jadi tanganmu tidak mau diam dan mencari sesuatu untuk menyibukkan diri"
"Shut up"
"Then tell me. I know there's something wrong with you"
"Buat apa aku memberitahumu?"
"Tidak tahu. Mungkin....untuk membuatmu lebih lega dengan menceritakannya denganku?"
"Whoa. Kau pikir kau siapa? Psikiater?"
"No, I'm your friend. You can tell me anything"
"Kau membaca mataku lagi barusan"
"Hahahaha. Kau benar. Aku memang membacamu seperti membaca buku dengan halaman yang terbuka. Kenapa? Karena kamu sendirilah yang membuka halaman pertamanya. Bagaimana aku tidak ingin tahu?"
"Apa maksudmu?"
"Ayolah... aku tahu kau menyimpan banyak sekali rahasia di kepalamu, sampai kamu sendiri kelelahan. Kamu yang tidak mau berbagi dengan sok berani menyimpannya sendiri, tapi kemudian tertatih-tatih mencari ulur tangan untuk berpegang"
"Aku tidak seperti itu"
"Yes you are. Kamu terlalu takut memulai untuk bercerita, untuk terbuka pada orang lain. Jadi kau hanya berputar-putar dipusaranmu sendiri, menunggu sampai ada orang lain yang menyelamatkanmu dari tenggelam"
"So you think I am a coward?"
"Yes. Kamu takut untuk bercerita tentang masa lalumu yang entah apa itu. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin.. kau takut masa lalu akan mempengaruhi masa kini dan depanmu?"
"It does"
"Kalau begitu ceritakanlah. Berbagilah. Tidak ada yang perlu kau takuti lagi bukan?"
"Aku buruk di verbal"
"Klise"
"Sungguh. Aku seperti meracau. Kau tidak akan mengerti"
"Setidaknya aku mendengarkan"
Malam itu ia lupa daratan. Kepalanya tumpah ruah berhamburan. Tidak ada sofa yang menahannya. Tidak ada rak buku yang menyekatnya. Kata-kata mengambang, namun tidak melegakan karena gravitasi kembali menarik mereka. Kata-kata jatuh luruh membebani bahunya, menyerap melalui pori kepalanya, lubang telinganya, lubang hidungnya, memenuhi matanya.
Ia sadar tidak pernah lagi dapat bernapas lega.
Dan sepasang mata dihadapannya tidak akan pernah tahu.
Tampilkan postingan dengan label Shorties. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shorties. Tampilkan semua postingan
12 Nov 2014
19 Jun 2014
[Cerpen] Tanda Tanya yang Mengalir
“Kamu gila, Ra”, Lala menggelengkan kepalanya cepat.
“Gila apa? Aku cuma bertanya!”
“Sudah,sudah. Kita sudah ngawur bicaranya. Itu konyol, Ra,” Lala bangkit
dari posisinya. Hendak pergi.
“A-apa? Aku salah bicaranya apa memangnya? Pertanyaanku konyol kenapa?” Ara menahan
Lala, namun Lala menangkisnya dengan kasar. “Aku belum selesai, La!”
“CUKUP, ARA!” pekikan Lala membungkamnya, “kamu
baru saja mempertanyakan Tuhan! Apa itu tidak konyol?”
***
13 Apr 2014
[Cerpen] Terrible Things
This flash-fiction(? inspired from Terrible Things by Mayday Parade. Idk, i love this song. Go find it on youtube. And, yep. 'Damar' is still my fav name. Gak ada hubungannya dengan 'Damario' di MJB, btw.
***
Thank you,Dam. Lain
kali kita jalan lagi ya!
Begitu pesan singkat dari Reena ketika aku baru saja tiba di
rumah, memarkir motorku di garasi. Membacanya, membuatku tersenyum sendiri
tanpa menyadari ayah yang tiba-tiba
sudah muncul di ambang pintu.
“Habis jalan?”,
tanya ayah.
“Ya, dengan Reena”,
jawabku, “yang kemarin lalu aku perkenalkan dengan Ayah itu”
Ayah tidak berkomentar lagi. Tapi dari sudut mataku, aku
tahu ia masih memperhatikan gerak-gerikku. “Ada apa?”
“Dia baik?”,
“Reena?”, aku menatapnya
heran, tidak mengerti dengan arah pembicaraan ayah, “tentu saja. Tidak perlu
cemas ayah. Ada apa sih?”, aku terkekeh.
Ayah mengulas senyum kecil. Ia mengambil posisi duduk di
kursi teras, “ambilkan ayah gitar di dalam,Dam”
Aku segera melangkah ke dalam, meraih gitar ayah di sudut
ruangan dan kembali. “Sini duduk dulu”, pinta ayah lagi seraya menepuk-nepuk
sandaran kursi di sampingnya.
Aku menurut, kemudian duduk, dan mendengarkan petikan gitar
ayah.
***
“Jadi, Dam…”, ayah berhenti memainkan gitarnya, kini ia
menatapku lekat, “jarang sekali ayah seperti ini. Tapi, yah, kau mau dengar
ayah bercerita?”
Aku tertawa mendengarnya, mengira ayah bergurau. Ia ikut
tertawa kecil, tapi matanya menunjukkan ia bersungguh-sungguh, “Oke. Damar
dengar. Tentang apa ini?”, tukasku akhirnya.
“Tentang ibu”, ayah tersenyum.
Tentu ini akan jadi cerita menarik.
28 Jan 2014
Kamu Suka Hujan?
Aku tidak suka hujan.
Hujan awal tahun ini menyebalkan sekali, kau tahu. Dia
seperti terus-terusan mengejekku ; Lihat
siapa yang kita gedor-gedor kepalanya! Dia bodoh sekali ternyata.
Aku tidak lagi menyukai hujan karena dia berisik. Aku tidak
bisa apa-apa selain bergelung dalam selimut yang kucipta sendiri. Dan didalam
sanalah aku menutup telinga, menolak untuk membuka pintu pada hujan.
Sedangkan kepalaku mati.
Beku.
Dingin.
Dan menjauhkan imaji.
Imaji membenciku karena hujan mengomporinya, kau tahu. Imaji
kalah dengan kenangan yang hujan tunjukan. Berkali-kali ia memunggungiku dan
tidak mau bicara. Ia tahu kenangan sudah berkuasa. Semua salah siapa? Tentu
saja karena hujan, sayang. Betapa ternyata diantara rinainya ia licik dan tidak
mau berhenti bicara. Merongrong agar jemari hanya menulis tentang kenangan
sampai aku tenggelam.
Hingga akhirnya, bukan lagi kepalaku yang mati.
Tapi juga imaji.
Lihat saja bagaimana aku meracau. Aku tidak menggunakan backspace karena aku tidak tahu apa yang
harus aku perbaiki dari tulisan tanpa imaji. Semua ini jatuh dari kepala
yang berdetum padahal kosong. Tidak ada
yang indah, tentu saja. Apa yang indah jika imaji mati?
Tidak ada.
Kamu mengerti apa maksudku,Fil?
18 Jan 2014
[Cerpen] Cantik di Mata-Nya
You only see what I choose you to see. Is that not a freedom?
***
“Kenapa kamu tidak mau menatapku?”
Damar tidak menyahut. Ia terlalu sibuk memandangi hujan dari
kaca kafe tempat biasa mereka bertemu. Entah ada apa disana. Padahal jalan itu
lengang dan mulai temaram karena mendung.
Nina menghela napas. Kehabisan akal untuk memancing Damar.
Jangankan bicara padanya, menoleh saja ia enggan. “Jika kita tidak hendak
bicara, yasudah pulang saja”, ketus Nina.
Damar berhenti memandangi hujan. Ia menghela napas berat dan
mengacak-acak rambutnya sendiri. Frustasi.
“Ayolah, Damar. Aku cuma berhijab. Apa itu salah?”, pekik
Nina akhirnya. Ia tidak tahan lagi.
“Kenapa kamu tidak bertanya padaku dulu, Na?”, protes Damar
meledak. Namun wajahnya tetap terpaku
pada secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi. “Kenapa kamu tidak meminta pendapatku sebelum
memakai itu?”
Nina mengerjap. Kepalanya berdetum-detum karena baru saja
mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Ia pandang lekat-lekat pemuda
dihadapannya yang terus menerus berusaha membuang muka.
“Apa yang salah, Damar?”, tanya Nina hati-hati. Ia yakin
suaranya bergetar karena pun kakinya.
“Apa yang salah? Kenapa kamu masih bertanya? Tentu saja,
Nina!”, Damar mengadah dan mendelik, “Kamu memakai itu tanpa persetujuanku!”
Nina hampir menangis sekarang. Sesuatu mendesak keluar dari
sudut matanya karena pipinya mulai terbakar. Respon Damar di luar bayangannya. Semua rencananya hancur hari ini, sama seperti hatinya.
“Aku tidak ingin kamu memakai itu,Na”, tukas Damar dan
kembali memandang hujan. “Aku tidak suka. Kamu terlalu berbeda”
“Bukankah ini perbedaan yang baik, Dam?”, pungkas Nina
memberanikan diri. Tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menahan kejutan
emosi yang melimbungkan kepalanya.
“TAPI KAMU BERBEDA, NA!”, Damarlah yang kehilangan kontrol. Ia menggebrak meja dan
napasnya memburu. Matanya kini menatap lurus-lurus pada Nina. Nina yang ia
sebut sudah tak lagi sama karena kain yang menutupi rambutnya.
Nina terlonjak dari kursinya sendiri dan air mata yang
mati-matian ia tahan akhirnya hempas juga,
“Apakah yang katamu berbeda adalah aku yang tidak cantik
lagi karena kain ini,Dam?”, tanya Nina melirih. Suaranya tercekik, tapi ia terus
melanjutkan, “Tapi aku ingin cantik juga di mata Tuhanku, Dam. Bukan di matamu
saja”
Damar menghempaskan tubuhnya, kembali bersandar pada kursi
walau napasnya masih terhela berat. Ia memijit dahinya sendiri dan kembali
enggan menatap Nina,
“Setidaknya kau bisa bertanya padaku sebelum memakai itu.
Tidak seperti ini. Mengajakku ke kafe dengan pakaian yang…… yang membuatmu
berbeda itu”
“Apa jika aku ingin dekat dengan Tuhanku aku perlu meminta
persetujuan makhluk-Nya, Dam?”.
Itu pertanyaan retoris. Damar tahu itu. “Tapi, Na…”
“Aku berbeda, tentu saja,Damar. Aku berubah. Tapi baik aku dan kamupun tahu ini perubahan yang
baik. Aku ingin cantik di mata Tuhan kita. Tidakkah kau ingin pula?”
Nina menarik napasnya dalam-dalam, kemudian ikut memandang
keluar. Menyadari hujan reda, ia dorong kursinya, dan bangkit untuk pergi.
Meninggalkan Damar dengan secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi.
"Kau tahu Damar, jika memang begitu, katakan saja sendiri pada Tuhan kita jika kau tak suka aku melaksanakan perintahNya. Carilah sendiri wanita yang cantik di matamu. Aku hanya ingin cantik di mata Tuhanku dulu"
Keputusan Nina bulat. Nina berubah.
21 Nov 2013
[Cerpen] Mendengar Tanpa Payung
"Kita harus jalan kaki ke jalan besarnya. Bagaimana dong? ?", tanya Adam,seraya mengulur jemarinya menyentuh rintik hujan dari tepi atap.
"Aku bawa payung kok, bentar". Sarah buru-buru merogoh kedalam tasnya, mengeluarkan payung abu dan membukanya sigap. "Yuk"
"Jadi, kita mau payungan berdua? Huahahaha", Adam tertawa, kemudian menyambar payung tersebut dari tangan Sarah, "Gue aja yang pegang ya,pendek".
"Pendek,pendek! Enak aja!", Sarah pura-pura marah, tapi karena Adam tidak menggubrisnya lagi, akhirnya ia menurut dan mengikuti Adam setelah menonjok ringan bahunya. "Dasar, Adam sok gentle"
***
Deru kendaraan berbalapan dengan rinai hujan. Tidak ada yang banyak bicara. Kedua sibuk menghindari genangan air, dan tenggelam dalam bisu masing-masing.
"Dam, Sorry ya", tukas Sarah sambil menunduk. Langit mulai gelap sehingga wajahnya jadi temaram.
"Buat?"
"Kalau tadi kita langsung pulang, pasti masih ada kendaraan umum jadi kita gak perlu jalan gini"
Adam mengeha napas singkat. Alih-alih menjawab, Adam justru menurunkan payungnya dan melipatnya kembali. Sarah memandangnya dengan bingung. "Kena--"
"Ujan-ujanan aja,yuk?", Adam mengacak-acak rambutnya sendiri yang mulai basah dan mengabaikan kebingungan Sarah. Sarah masih tertegun, seketika sadar dan tertawa geli, "Bilang aja tangan kamu udah pegel pegang payungnya". Adam menyengih, tapi kemudian tidak ada yang melawan. Keduanya sama-sama menikmati hujan.
Entah sudah seberapa jauh. Bangunan tempat mereka bermula sudah menciut. Tinggal lampu-lampunya yang berkelip diantara pekat. Tetiba, Adam menyenggol bahu Sarah sehingga ia kehilangan keseimbangan sejenak, "apaan sih,Dam!", protes Sarah.
"Huahaha, gapapa. Gue cuma mau pastiin lo gak jalan sambil tidur aja"
"Jayus", omel Sarah, ia memperlebar ayun kakinya hingga beberapa langkah lebih dulu dari Adam.
Adam tidak berusaha menyusul .Ia tetap berjalan santai sembari memejam mata dan mengadah, menikmati rinai hujan yang menyentuh pelipisnya dan meluncur sempurna mengikuti lekuk dagu.
Diantara bising dan derai, Adam bersenandung.
"Jangan kumur-kumur pake air hujan, Dam", pungkas Sarah tanpa menoleh. Bahunya bergidik karena menahan tawa.
"Sialan lo. Suara gue bagus tau! Udah diem aja deh, dengerin gue nyanyi"
"Oh, Adam lagi nyanyi?", goda Sarah lagi. Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Adam yang sedang mengambil ancang-ancang untuk memukulnya dengan gagang payung. "Weit. Santai aja dong! Hahaha"
Tawa mereka membuncah lagi. Sarah kembali mengambil posisi disamping Adam, yang kemudian melanjutkan senandungnya.
***
Entah sudah seberapa jauh. Bangunan tempat mereka bermula sudah menciut. Tinggal lampu-lampunya yang berkelip diantara pekat. Tetiba, Adam menyenggol bahu Sarah sehingga ia kehilangan keseimbangan sejenak, "apaan sih,Dam!", protes Sarah.
"Huahaha, gapapa. Gue cuma mau pastiin lo gak jalan sambil tidur aja"
"Jayus", omel Sarah, ia memperlebar ayun kakinya hingga beberapa langkah lebih dulu dari Adam.
Adam tidak berusaha menyusul .Ia tetap berjalan santai sembari memejam mata dan mengadah, menikmati rinai hujan yang menyentuh pelipisnya dan meluncur sempurna mengikuti lekuk dagu.
Diantara bising dan derai, Adam bersenandung.
"Jangan kumur-kumur pake air hujan, Dam", pungkas Sarah tanpa menoleh. Bahunya bergidik karena menahan tawa.
"Sialan lo. Suara gue bagus tau! Udah diem aja deh, dengerin gue nyanyi"
"Oh, Adam lagi nyanyi?", goda Sarah lagi. Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Adam yang sedang mengambil ancang-ancang untuk memukulnya dengan gagang payung. "Weit. Santai aja dong! Hahaha"
Tawa mereka membuncah lagi. Sarah kembali mengambil posisi disamping Adam, yang kemudian melanjutkan senandungnya.
Never gonna stop 'til the clock stops ticking
Never gonna quit 'til my legs stop kicking
I will follow you 'til we'll both go missing
"Lagu apa sih, Dam?"
No I'm never giving up 'til my heart stops beating
Never letting go 'til my lungs stop breathing
I will follow you 'til we'll both go missing
"Dam"
No, I and we don't even know where we're going
But I'm walking with you and I'm glowing
"Jangan jalan sambil merem, Dam.."
"Eh, iya iya", Adam tersadar, mebuka matanya dan terkekeh sendiri.
"Lagu apa sih tadi,tuh?", tanya Sarah lagi, kini ia menoleh pada Adam dan menunggu jawaban dan riak wajahnya. Adam terperenyak, tapi sedetik kemudian langsung tertawa, menghasilkan gema di terowongan dari jembatan layang yang mereka lewati.
"Tadi?", Adam menatap lagi wajah penasaran Sarah, kemudian berbisik, "Bukan apa-apa,Sar"
Karena yang kamu perlukan cuma medengar hujan dengan lebih seksama.
Merayakan hujan-hujanan pertama di Bulan November,
di bawah langit mendung, dilatar nada.
20 Nov 2013
[Cerpen] Masalah Sepele
"Dasar lo, sok tegar!", canda Sonya sembari menyikut Ita. Ita tertawa sejenak, "Emang gue tegar! Lo tuh yang lemah! Hahaha"
Langit sedang bersiap melipat diri. Lingkungan sekolah juga sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang yang tampak berlalu-lalang di koridor, membuat hanya tawa keduanya yang sanggup melayap di sela-sela pilar terbawa angin sore.
"Ita. Sungguh. Gue nanya beneran sekarang", tetiba Sonya meremas bahu Ita dan memutarnya hingga Ita menghadap tepat di depan Sonya. "Lo masih gak apa-apa, setelah lo lihat dengan mata lo sendiri?"
Ada hening sejenak karena Ita tidak langsung menjawab. Di tatapnya lekat-lekat pasang mata Sonya seakan mencari jawaban. "Ta? Lo ngerti kan, gue nanya apa?", Sonya memastikan lagi, sekaligus menyimak baik-baik akan suara rubuh dari dalam Ita yang ia yakini sebenarnya ada.
Tapi Ita tetaplah Ita.
"Gak apa-apa, Nya. Perasaan gue udah biasa aja kok", Ita tersenyum kecil, "Masalah sepele, Nya. Gak usah khawatir sampe segitunya, kali"
"Bener? Lo gak cemburu atau apa, gitu?"
"Kenapa gue harus cemburu? Emang gue ibunya apa? Hahaha", Ita tertawa sendiri hingga bahunya berguncang ringan. Entah memang bermaksud mengolok Sonya atau mengolok dirinya sendiri.
"Gak lucu, Ta. Gue serius". Sonya meremas bahunya lebih kuat. Tapi Ita bergeming.
"Gue gak apa-apa, Nya. Serius deh. Gue udah berkali-kali denger berita kayak gitu dari mulut ke mulut. Jadi, ya gue gak kaget lagi pas ngeliat dengan mata gue sendiri"
"Bener?", Sonya terus menyedutnya
"Bener. Ini masalah sepele doang kok, Nya. Gak usah sok khawatir gitu deh! Alay!"
"Ah, sepik aja lo! Awas ya, kalo gue lihat lo lagi nge-galau!", ancam Sonya yang kemudian terkekeh. Ia menurunkan lengannya dan kembali memandang sore.
"Yuk ah, balik"
"Tumben minta balik. Biasanya perlu diseret dulu supaya pulang ke rumah", goda Sonya, kemudian segera menyampirkan tas ranselnya.
Ita mengikutinya dari belakang, dan tanpa sengaja pandangnya berserobok dengan koridor atas.Siluet Iki dan Dian masih berada disana.
Mengobrol.
Tertawa.
Dan bersentuh bahu.
Ita mengerjap matanya dan siluet itu hilang. Ada sesuatu yang menggelitiki dinding hatinya. Berusaha mengejek.
Betapa hari itu waktu sudah mempermainkannya dan ia kalah telak. Betapa waktu senang sekali menyeretnya kemana-mana, hingga akhirnya terhenti di momen yang ia kutuki sendiri. Iki dan Dian.
Mengobrol.
Tertawa.
Dan bersentuh bahu.
Hanya berdua.
Tapi Ita mendegil dan menyengih, mengingat kata-kata naif yang baru saja meluncur dari mulut besarnya. "Masalah sepele?Hah"
Ia berbalik, dan mengacungkan jari tengah kepada dua siluet yang berusaha membolongi tempurung belakangnya.
16 Okt 2013
[Cerpen] Terlambat
Aku tidak bisa bernapas. Mataku pecah dan merefleksikan jutaan kamu. "Baiklah...", tuturmu sambil memaksa senyum. Aku tidak merespon. Aku tidak bisa merespon saat tidak bernapas.
"Hanya itu yang mau kau bilang? Tidak ada yang lain?", tanyamu seraya mendekat padaku.
"Tidak", suaraku tercekik. Aku sadar itu. Tapi sungguh, cuma itu yang bisa aku eja.
"Baiklah...", katamu kesekian kali, "Oke, aku duluan ya. Makasih, Res".
Kamu berlalu. Berlalu begitu saja. Aku tidak tahu siapa yang melepas siapa. Tapi aku tidak berusaha mengejarmu, justru berharap kamu segera menjauh hingga tidak perlu mendengar sesuatu yang rubuh di dalamku.
Kemarin baru saja aku meyakinkan diri sendiri untuk berhenti. Tapi kemudian kamu muncul, dan menanyakannya. Sungguh ! Siapa yang lebih bodoh sebenarnya? Aku yang sudah dahulu menyerah atau kamu yang baru bertanya?
Kamu baru saja menanyakannya, dan aku mengatakan tidak.
27 Sep 2013
[Cerpen] Iya
"Ayolah. Jangan jadi penakut seperti itu!"
"Mudah saja bagimu bicara, Mira!"
Entah berapa lama aku dan kamu terus berdebat dan saling mendorong. Wajahmu merah, tapi berkeringat. Dahimu berkerut, namun rahangmu mengeras. Aku ingin tertawa melihat betapa kalapnya kamu. Kamu harus tahu bagaimana lucunya wajah itu.
"Kamu cuma menghadapi perempuan, Tio!", kataku lagi sambil terus coba membuatmu menggerakkan kaki.
"Berbeda jika perempuan itu Rere!", kamu memberontak seperti anak kecil. Lalu kembali mencari posisi duduk, dan memakukan diri sendiri pada kursi. "Kamu tidak mengerti,Ra", pungkasmu.
Aku berhenti menarik pergelanganmu,terhenyak dengan pernyataan itu. Sesuatu menohok, rubuh di dalam tanpa suara. "Baiklah..", kataku pada akhirnya, sembari ikut duduk disampingmu.
Aku bisa mendengar tarikan napasmu dan bagaimana ia terhela dengan berat. Kamu kelelahan. Baik karena terus melawanku, atau terus berpikir tentang resiko yang selalu aku ingatkan. Aku cuma ingin kau berpikir panjang, sesungguhnya.
"Mungkin aku bisa lakukan nanti malam saja", ujarmu, masih tidak memandangku. "Aku tidak bisa bertemu dengan Rere dengan kondisi seperti ini. Berantakan"
"Oke..", lirihku, "terserah kau saja sekarang. Aku sudah capek terus memaksamu"
Kamu terkekeh. Aku tidak tahu apa yang lucu. Kemudian kamu melanjutkan, "Maaf jika aku jadi begitu merepotkan. Aku tahu kau bermaksud baik. Tapi yah... kau tahu sendiri aku seperti apa"
"Apa? Banyak omongnya saja?"
"Hehehe, yabegitulah..."
Ada hening yang menggantung. Tidak ada yang berusa meraihnya, hingga tiba-tiba kamu mulai berbicara lagi,
"Bagaimana jika Rere mengatakan 'iya', ya?", tanyamu datar. Tapi sungguh, dari sudut mataku aku bisa lihat matamu berbinar.
"Menurutmu bagaimana?"
"Hebat. Hahaha, aku tidak tahu apa yang bisa terjadi selanjutnya setelah dia bilang 'ya' nanti"
Aku menoleh padamu dan ikut tersenyum. Kamu tidak berkeringat lagi. Rahangmu mengendur, dan tidak ada lipatan di dahimu.
Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku jika Rere mengiyakanmu nanti, Tio.
14 Jul 2013
KEJUTAAN (?)
Oke. Mari kita buka post ini dengan mengheningkan cipta atas meninggalnya Cory Monteith a.k.a Finn Hudson. Jadi, tidak akan ada lagi Finn dengan setengah-senyum nan unyunya di Glee. Sekian.
Dan mari, kita bersama-sama menundukan kepala sejenak untuk mengenang masa liburan yang telah usai. Pfff yaampun liburan 3 minggu udah abis. Besok sekolah. Yaampun. Yaampun. *kalap sendiri*
![]() |
OYAAMPUN :'( |
Dan mari, kita bersama-sama menundukan kepala sejenak untuk mengenang masa liburan yang telah usai. Pfff yaampun liburan 3 minggu udah abis. Besok sekolah. Yaampun. Yaampun. *kalap sendiri*
Besok sudah harus berangkat ke sekolah tercintah lagi dan bertemu dengan kawan-kawan baru di IPA 9. Yeay. Dan fyi aja, dari 30 kepala di X3, saya sekelasnya cuma sama Kandi doang. Iya, Kandi. Kenapa harus Kandi. HAHAHAHA. Pertama kali dapet kabar itu, saya ketawa histeris. Ngebayangin setahun lagi bersama Kandi dan semua lagu-lagu Kandi. Mungkin lulus SMA, Kandi bisa ngeluarin album :')
Kabar lainnya adalah, CERPEN KALOBORASI SAYA DIBUKUIN AAKKKK \o/
![]() |
uhuk. |
Jadi gini, tanggal 1 Juli, setelah saya kepoin timelinenya @nulisbuku, saya mendapat kabar bahwa bakal ada #ProyekMenulis tentang Kejutan Sebelum Ramadhan. Terus, saya kasi tau ke Alexander Thian Nanda juga karena yakin ni anak pasti mau ikut. Dan kemudian kita justru berencana buat ikut yang kategori kaloborasinya bareng-bareng dengan modal........ "hayuk hayuk aja".
Kita baru mulai tanggal 2, dan hampir selalu ngerjain selepas isya aja. Asik ? Asik. Ini kaloborasi pertama saya dan baru merasakan brainstroming sampe jam 2 pagi sekaligus ngetik cerpen sambil ngumpet-ngumpet di balik bedcover biar gak ketahuan begadang sama ibu.
.....
Tanggal 13 pengumuman di FX Senayan. Saya kesana ? Ya enggaklah :| Saya cuma mantengin timelinenya @nulisbuku aja, ikutin live streamingnya. Lagi-lagi, gak pernah ngerasain setegang itu di mantengin TL doang. Pff hate that feeling.
Dan Tadd-da! Tidak ada nama saya dan Nanda di 17 finalis.
Atit ? Atit. Entah kenapa agak berharap banyak buat yang satu ini. Mungkin juga mau pembuktian buat ....diri sendiri ? Setelah kejadian ibu saya liat kolom cita-cita saya di buku PES kemarin, kemudian ketawa, "Mau jadi penulis ? Mana novelnya? Dari sekarang dong"
Pff. Jadi setelah 'agak' kecewa dengan pengumuman finalis, saya pindah haluan ke blog Nulisbuku, dimana nama-nama 200 karya yang lolos bakal diumumin. Ketika udah di post, saya kalap lagi. Makin ngescroll ke bawah, rasanya makin frustasi. Tapi kemudian..... TERNYATA PENANTIANKU TIDAK SIAHH SIAHH.
Ramadhan Kado Ramadhan. Judul cerpen saya dan Nanda ada di buku ke 18 (atau juga buku ketiga di Kaloborasi) bersama 200 karya karya lainnya (list lengkapnya disini) Pas baca nama sendiri rasanya........asaldasaef. Entah dari jaman kapan ngirim cerpen, dan baru dimuat sekarang. Gila lo.
Oke, jadi kalo --ada yang-- penasaran, beli aja bukunya yak !
Kirim email ke admin@nulisbuku.com pake subjek email 'Beli Buku Kejutan Sebelum Ramadhan'. Sertain nama, alamat lengkap, nomer hp, judul buku (ada 18 buku. Pilih aja mau yang mana :3), dan jumlah eksemplar.
Sampai tanggal 17 Juli, ada diskonnya loh :3 Sana beli ! wukwuwk
11 Jul 2013
[Cerpen] Aku Marah!
Aku ingin marah. Marah sekali. Aku ingin meledakkan kaca, atau menghantam tembok, atau memukul wajahnya !
"Ini bukan salahmu, Ren..", ujarnya sembari menyesuaikan langkahku dengan napas memburu.
Aku masih marah. Marah sekali. Hingga rasanya ada uap mengepul dari telingaku dan menyumbatnya. Aku tidak ingin memperlambat langkah. Aku ingin tetap menembus kerumunan walau harus menyikut tubuh-tubuh besar. Aku ingin pergi !
"Rena !", ia memekikku dari belakang. Ia tertinggal dan berusaha menggapaiku saat tubuhnya tenggelam dalam kerumunan, "Rena ! Rena berhenti !"
Aku marah. Aku sangat marah hingga rasanya membakar pipi. Aku sadar apinya merambat ke mata hingga melelehkan sesuatu disana. Tapi aku tidak peduli.
"Ini bukan salahmu, Ren..", ujarnya sembari menyesuaikan langkahku dengan napas memburu.
Aku masih marah. Marah sekali. Hingga rasanya ada uap mengepul dari telingaku dan menyumbatnya. Aku tidak ingin memperlambat langkah. Aku ingin tetap menembus kerumunan walau harus menyikut tubuh-tubuh besar. Aku ingin pergi !
"Rena !", ia memekikku dari belakang. Ia tertinggal dan berusaha menggapaiku saat tubuhnya tenggelam dalam kerumunan, "Rena ! Rena berhenti !"
Aku marah. Aku sangat marah hingga rasanya membakar pipi. Aku sadar apinya merambat ke mata hingga melelehkan sesuatu disana. Tapi aku tidak peduli.
***
"Kau benar ingin melakukannya ?", Tia memandangku dengan khawatir, "mungkin.. kau harus berpikir dua ka--"
"Aku sudah memikirkannya jutaan kali, Tia. Aku capek berpikir terus", jawabku defensif.
"Ya... kadang tidak semua perlu diungkapkan, Ren", ungkapnya lagi, "Tahu kan? Nanti jawabannya belum tentu seperti yang diharapkan".
Aku menghentikan pekerjaanku. Terhenyak. Iya juga, aku belum memikirkannya. Tapi...
"Ah, kalau gak pernah dicoba, juga gak bakal tahu jawabannya kan?". Aku tersenyum menghiburnya. Atau juga mungkin menghibur diri sendiri. Entahlah.
"Oke, semoga beruntung".
***
"Bodoh. Dasar bodoh !", aku meracau sendiri sepanjang jalan. "Tia sialan! Gilang sialan!" Umpatanku mungkin berbalapan dengan hentakan kaki. Tubuhku ramai sekali. Aku bisa merasakan pasang-pasang mata memandangku, kemudian berbisik-bisik hingga membuatku muak.
"APA ?!", pekikku pada seorang pria. Ia terkejut dan buru-buru memalingkan mukanya.
Aku masih terus berjalan dan tidak mau berhenti. Aku tidak punya tujuan. Hanya berbelok, berbelok, berbelok. Aku tidak peduli kemana. Yang jelas aku ingin jauh-jauh dari jembatan tadi. Yang jelas aku ingin jauh dari sosok tadi.
Pasti wajahku tampak mengerikan. Bajuku kusut. Rambutku berantakan dan helai-helainya menutupi pipiku yang lengket. Aku terlalu sibuk mengumpat hingga enggan menyibaknya. Aku biarkan rambut-rambut ini sebagai kacamata kuda.
Tapi justru minimnya pandanganku membuatku tersandung. Aku terjerembab di tanah yang terasa dingin di lututku. "Sialan ! Sialan !", aku menangis dalam umpatan. Aku mengepalkan jemari dan menghantamkannya ke tanah.
Aku benar-benar merasa kebas. Duniaku berputar dan langitku membiru. Aku tersungkur kesamping. Alih-alih bangkit, aku pilih tetap meringkuk, memeluk lututku yang dingin. Aku ingin memusuhi dunia. Aku masih merasa marah !
***
"Aku menyukaimu".
Hening.
"Dari dulu. Kau pasti tak menyadarinya, ya?"
Hening. Hening.
Aku merasa janggal sekarang. Ia masih membatu menatapku tanpa ekspresi. "Gilang? Umh.. Kau dengar aku, kan ?"
"Kau mengajakku bertemu untuk ini?", ia akhirnya bicara, tapi wajahnya masih datar dan tak terbaca.
"Umh.. ya.. Tapi tidak juga sih, tapi--"
"Tunggu", Gilang memotongku dan maju selangkah. Tatapannya berubah menjadi awas. "Apa temanmu itu belum mengatakannya padamu juga?"
"Ah ?A..apa?", aku tergagap.
"Kamu", ia menunjuk wajahku, "jangan dekati aku lagi"
Aku tercenung. Kemudian mulai meresapi kata-katanya yang ternyata menohokku tepat di dada. Sakit. Mati rasa, hanya rasa sakit. Jemariku bergetar dan seketika aku memandang semuanya dari balik kaca-kaca pecah. Aku lupa aksara, hanya ucapan sesuatu yang tercekat, tertahan amarah.
"Oke".
Aku mulai berlari dan benar-benar menjauhinya.Sejauh-jauhnya.
3 Jul 2013
[Cerpen] Duluan, Nai
Nai duduk menghampa. Berkali-kali ia susuri pandangannya
pada koridor , mencari sesuatu yang semakin ia yakini hanya palsu saja. Bahkan rasa gelisahnya sudah berganti jadi
lelah.
“Masih belum
selesai, Nai?”
“Belum. Kalau ada
keperluan, duluan saja”
Sosok itu berdiri, merapikan barang bawaannya dan berlalu
sambil membisik, “Duluan Nai”
Nai mengangguk kosong. Masih tidak mendengarkan dan memilih
buta.
Senja menjingga. Hari siap menarik diri dan menggelapkan
hati. Nai, entah kenapa masih ada rasa harap dalam dirinya. Padahal jelas-jelas
sudah tidak ada lagi yang patut dinanti. Ia masih duduk memandang kosong pada
koridor yang temaram.
Angin berhembus kaku. Seperti meledek, dan mengingatkan
betapa bodohnya Nai masih disitu. Bayang apapun tetaplah bayang yang tak akan
pernah menyata. Nai bukanlah gadis naïf, apalagi bodoh. Padahal ia sudah sadari
hal ini akan terjadi. Matanya panas, hatinya beku. Tubuh hampanya merubuh. Gravitasi malam
menariknya dan menguapkan harapnya bersama naik dengan sang Dewi.
Nai menangis.
Nai menangis.
Ia kutuki gelap. Ia
kutuki hati. Adalah tanda tanya kenapa lagi-lagi hati terlalu yakin dan
pura-pura tuli. Satu-satu mundur menjauhinya, menjadi gelap, kemudian hilang
dari pandang. Nai seperti tenggelam. Pada malam atau memang pada kesedihan yang
sendiri ia ciptakan. Ia menangis lagi.
Terus mengisi malam. Seakan akan ada yang dengar kemudian mengulur tangan.
Masa lalu masih menggerogotinya, hatinya, mimpinya, dan masa
esoknya. Semua kenangan yang ia caci diam-diam masih Nai gantung pada langit-langit
kamar. Ia ikat dengan harap sesuatu saat jarum jam akan berhent berlari dan
biarkan Nai bergerak mundur.
Nai ingin merobek alur waktu.
Kemudian muncul disaat lalu, ia urai semua dan muntahkan
segala tanya yang sedari dulu menohoknya. Akan Nai cari tangan yang hilang,
tangan yang dulunya digenggam. Akan ia tumpahkan tangisnya, ia bongkar semua
senyumnya sebelum sosok pergi jadi fatamorgana sekian kalinya.
***
“Masih belum selesai, Nai ?”
“Belum. Kalau ada keperluan, duluan saja”
Sosok itu berdiri, merapikan barang bawaannya dan
berlalu sambil membisik, “Duluan Nai”
***
8 Mei 2013
[Cerpen] Untuk Kamu
Sedang berusaha untuk menciptakan tokoh cowok yang gak menye-menye. Dan..........gagal :( huhuhu
***
Dia masih berdiri di depan, dengan secarik kertas di tangan
yang ia genggam kuat-kuat. Aku tidak bisa menebak ia terlalu bersemangat atau
terlalu takut. Wajahnya tampak datar saja. Sesekali mengulum senyum ketika
teman-teman menyorakinya.
“Dia mau apa ?”,
Tio menyikutku.
“Entah. Membacakan
sesuatu ?”, aku hanya menggidik bahu.
Tentu saja aku berbohong. Aku tahu apa yang akan dia
lakukan. Aku tahu bakat apa yang akan ia tampilkan di Minggu Bakat pelajaran
Seni Budaya ini. Ia sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan mungkin
ketika pertama kali Pak Damar memberitahukan seisi kelas tentang project ini.
Aku sering melihatnya berdiam diri di kelas ketika
istirahat. Kemudian mulai mencorat-coret sesuatu di buku birunya. Tersenyum,
merengut, kemudian tampak begitu bersemangat. Bagaimana aku tidak penasaran?
Awalnya memang tidak. Tapi pada suatu kesempatan, aku tak
sengaja melihat isi buku birunya. Isinya berantakan. Garis garis pulpen hitam
dan merah memenuhi halaman.
Dan huruf-huruf yang terangkai jadi bait-bait.
Aku tidak berani melihat lebih lama apalagi membacanya.
Entahlah. Aku rasa buku itu bersifat pribadi. Tapi semakin lama aku semakin
yakin. Aku semakin sering memperhatikan raut wajahnya ketika menulis, sembari
menerka kata-kata apa yang sedang ia rangkai. Apa ia buat sedih, buat senang,
atau buat yang penuh amarah.
Dan aku tidak pernah berhasil membaca wajahnya.
Sama seperti sekarang. Dia masih berdiri dengan wajah yang
tidak terbaca ekspresinya. Anak-anak di kelas sudah tidak lagi
memperhatikannya. Mungkin hanya aku dan Pak Damar yang masih berusaha menyimak
bisunya.
“Ehm, baik Luna.
Apa yang ingin kamu tunjukan kepada teman-teman?”, Pak Damar angkat bicara, “Apa
kamu hendak membacakan sesuatu ?”
Kelas diam. Kembali memperhatikan dia di depan. Tapi masih bisu saja yang terdengar. Hingga
akhirnya, Pak Damar menyerah, “Baiklah.. mungkin kita lihat tampilan dari
teman-teman yang lain dulu. Luna bisa duduk kembali...Selanjutnya ?”
***
Bangku Luna kosong. Tidak ada
buku biru di kolong mejanya seperti biasa. Harusnya aku tidak perlu
memikirkannya. Tapi toh pada akhirnya
aku coba keluar kelas mencari Luna.
Tak sulit. Luna ternyata ada di
bangku dekat lapangan. Sedang melihat ke keramaian dengan Oreonya. Aku sadar
aku semakin aneh ketika berpikir harus duduk disampingnya, kemudian mengajaknya
bicara. Untunglah aku tidak sempat melakukan hal bodoh tersebut karena bel
telah berbunyi lagi.
Untunglah ? Aku rasa tidak juga.
***
Begitulah hari selanjutnya. Aku
semakin jarang melihat Luna di kelas. Mungkin hanya beberapa menit,
mengeluarkan buku birunya, kemudian menutupnya kembali dan keluar kelas. Tentu
saja duduk di bangku yang sama dengan makanan yang sama.
Hingga akhirnya aku tidak tahan
lagi. Sudah kukumpulkan niat untuk melangkah menghampiri Luna, tapi kemudian
merasa bodoh. Apa yang harus aku katakan? Tiba-tiba mengajaknya bicara tanpa
alasan ? Jika kemudian Luna tidak merespon apapun, aku akan benar-benar tampak
seperti orang bodoh yang sedang berusaha menarik perhatian.
Tapi siapa sangka. Kaki ini dapat
melangkah sendiri.
“Hei, sendiri aja ?”, kata-kata itu meluncur bebas. Aku menatapnya ragu,
dan kemudian mendapat Luna yang terkejut. Hebat. Aku hampir membuat orang lain
jantungan hanya dengan membuka percakapan.
“Umh, Ya. Ada apa Raka ?”, Luna bicara seperti melirih, kemudian
melanjutkan dengan polosnya, “Apa sudah bel masuk ?”
“Ah ? Tidak tidak.. Maksudku belum bel. Santai saja…”, padahal justru
aku yang tidak bisa santai, “kenapa tidak di dalam kelas?”
Luna tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Persis ketika ia berada
di depan kelas dan disoraki. Aku mulai bersiap mengutuki diri sendiri karena
telah berpikir melakukan hal yang konyol , tapi kemudian Luna memandangku dan
bicara,
“Minggu ini kamu belum kebagian maju untuk tampil Minggu Bakat ?”,
tanyanya.
“Belum. Mungkin minggu depan. Nomer urutku cukup jauh”, aku diam sejenak
menarik napas, “ dan, kenapa Luna tidak jadi maju minggu ini?”
Kini Luna tampak lebih tegang. Ia
mengalihkan pandangan menuju sepatunya. Mungkin aku salah bicara. Ah yaampun.
Bodoh bodoh bodoh.
“Aku belum siap. Yang ingin aku tunjukan
sebenarnya belum jadi….”, Luna melirih lagi.
Bohong. Luna berbohong.
“Belum jadi ? Memang sudah sejauh mana puisimu ?”
“Dari mana kamu tahu aku akan membacakan puisi ?”
Skak mat. Lihat aku Si Bodoh Bermulut Besar.
“Umh.. yah, hanya menebak”, kini aku yang gelisah, “apa memang benar kau
akan membacakan puisi ?”.
Luna bungkam lagi. Ia menatapku
sekilas, kemudian membuang muka sambil mendesah, “Bagaimana jika aku maju lagi,
kamu tak perlu memperhatikanku seperti yang lain saja ?”
“Apa ? Maksudm—“
“Jangan lihat aku”, ia berhenti sejenak dan berdiri, “Apa kau pikir
mudah membacakan puisi tentang kamu jika kamu terlalu memperhatikanku seperti
itu ?”
Ia berlalu dengan wajah merah.
Aku beku dan berusaha mengurai
artinya.
19 Apr 2013
[Cerpen] Bersama Ibu
Well, actually this is the task for Mrs. Nena. Phew, I did it ; made a shortstory without galao. Need to try it again.......
***
Rama memeluk Lika dalam bisu.
Sudah ia kunci pintu dan berusaha tidak mendengarkan apapun. Ia ingin kamar ini
kedap suara untuk malam ini saja. Apapun, agar teriakan-teriakan di luar tidak
menembus atmosfernya. Lika sendiri menahan tangis dengan bahu bergetar. Ia
sudah berusaha mati-matian agar menelan air matanya sendiri, “Jangan nangis,
cengeng !”, bentak Rama tiap kali Lika menangis. Padahal Lika sendiri tahu Rama
berkali-kali menyeka pipinya sendiri dengan kasar. Makanya Rama hanya memeluknya
dalam agar tidak perlu melihat wajahnya sendiri.
“Ibu kenapa menangis?”, tanya Lika tertahan
“Diam. Ibu tidak menangis karena ayah”.
“Aku tidak bilang ibu menangis karena ayah”
“Siapa peduli. Diam, Lika. Tidak perlu mendengarkan mereka”
Tapi bagaimanapun keduanya
berusaha menutup telinga, percuma saja. Malam itu terlalu hingar bingar dalam
sepi yang paling dalam.
***
“Kita pindah ke luar kota besok
pagi. Bawa pakaian seperlunya saja dulu”, kata ibu singkat ketika Lika sedang
asik di kamarnya. Ia terperangah seketika. Pindah
? Lika baru saja buka mulut untuk protes, tapi ibu sudah hilang di balik
pintu.
Lika masih heran dengan ketidak
hadiran ayah dan Rama pagi ini, kini sudah ditambah dengan keputusan tiba-tiba
tentang kepindahan. Bukan berarti merasa
senang, tapi Lika diam-diam merasa bersyukur karena ayah tidak ada di rumah.
Tidak ada ayah, malam itu tidak akan terjadi lagi setidaknya untuk malam ini.
Dalam lamunannya, tiba-tiba
telpon genggamnya bergetar. Rama menelpon,
“Lika, kamu gak apa-apa ? Sekarang dimana ? Masih di rumah ?”, cecar
Rama ketika telpon diangkat.
“Ah ? Gak apa-apa.. Iya..”, Lika jawab seperti bisik. Tanda tanya masih
memenuhi rongganya.
“Maaf tadi pagi kakak dan ayah tidak pamit”, ada jeda kosong sebelumnya,
“Hanya tidak ingin mengganggu tidur Lika”.
“Kalian kemana ? Pulang nanti sore, kah ? Cepat pulang, kak. Ibu agak
bersikap aneh hari ini..”
Sepi. Rama mengambil jeda yang
lebih panjang hingga akhirnya menghela napas sendiri, “Lika baik-baik ya. Kakak
pulang ke rumah secepatnya nanti.. Tung—“
“Kata ibu besok pagi kita pindah ke luar kota. Kakak dimana ? Kakak
bersama ayah ?”, Lika mulai merasa sesuatu yang tidak beres. Semua orang
bersikap aneh hari ini dan Lika merasa paling bodoh karena masih belum mengerti
apa yang terjadi.
“Iya, kakak bersama ayah”, Rama berusaha menutupi gemetar suaranya,
“Baik-baik sama ibu ya, Lika..”
Telepon diputus. Ibu berdiri di
ambang pintu dengan wajah murung. Lika gelagapan, ia buru buru menyelipkan
telpon genggamnya. Entah kenapa ia begitu merasa takut sekarang.
“Lika bersama ibu”, kata ibu dengan datar. “Rama bersama Ayah. Itu
keputusannya”
“Kita pindah tanpa mereka?”, Lika bertanya hati-hati. Ibu tidak buka
mulut, tapi matanya bicara dan menandakan iya. “Apa kita tidak akan bersama
mereka lagi, bu ?”
Wajah ibu makin murung. Ada
kantung mata dan kerut di wajahnya, “Lika bersama ibu”. Tak ada kata lagi, ibu
pergi begitu saja meninggalkan Lika yang tenggelam dalam pikirannya.
Lika mengerti. Pagi ini adalah
hasil dari kemarin malam. Semua hingar-bingar itu adalah jawaban untuk tanda
tanya pagi ini. Lika bersama ibu. Lika bersama ibu. Kata itu terngiang
bersamaan dengan kenyataan bahwa rumah, tidak akan seperti dulu.
Ketika ibu sudah dirasa
benar-benar hilang, Lika kembali merogoh telpon genggamnya, kemudian kalap
mencari nomer Rama. Namun nomer tersebut tidak bisa dihubungi. Lika coba terus
menerus menembus Rama, tapi tak kunjung masuk. “Ayolah kak…”, gumamnya sendiri
semakin frustasi.
“Ibu sudah bilang, Lika”, ibu tetiba muncul lagi di ambang pintunya,
rahangnya mengeras. “Lika bersama ibu. Apa itu tidak cukup ? Apa Lika mau ibu
tinggal juga?”
Lika bungkam seribu bahasa. Ia
tercekik dengan kata-kata ibu yang telak meremukkannya. Ibu tampak tidak
bercanda. Matanya kosong, namun membara. Siapapun yang ada didalamnya,
benar-benar bukan ibu yang lama.
“Tidak bu..”, suara Lika parau. Ia sudah hendak menangis lagi. Rama mana Rama..
“Tolong Lika..”, suara ibu bergetar, “Ibu tidak punya siapa-siapa selain
kamu”
Lika tidak sempat mengatakan
apa-apa, karena ibu langsung pergi lagi dari pintunya. Lika tenggelam lagi,
menelan sendiri air matanya tanpa ada bentakan Rama seperti biasa.
***
“Lika ingin
mengabari kakak dan Ayah”, kata Lika di pagi ketika mereka sedang sibuk
berkemas, takut takut.
Ibu tidak menjawab. Hanya melirik sekilas pada Lika dengan
mata bicara ; tidak.
“Kalau begitu beri tahu Lika sekarang mereka dimana”, Lika sadar ia
mengatakannya terlalu tegas. Terlihat rahang ibu mengeras tanda tak suka.
“Lika bersama ibu”, katanya ketus, “Tolong Lika. Ibu mohon turuti ibu”.
“Turuti apa ? Untuk meninggalkan ayah dan kakak ?”, Lika tidak tahan
lagi. Tanda tanyanya meledak.
Ibu tidak menoleh, masih tampak
tidak senang. “Turuti ibu untuk tetap bersama ibu. Mengerti ?”
“Apa ibu takut kehilangan aku, atau ibu takut sendiri ?”, Lika tidak
dapat menahan diri, “Apa ibu tidak takut kehilangan kakak juga ?”
“Ibu yang tidak ingin kamu sendiri, Lika”, ibu mulai menangis. Pipinya
basah tapi terus menyibukkan diri dengan barang-barangnya, “Ibu ingin kamu tetap
bersama ibu”
Lika ingin kembali bicara, tapi
tiba-tiba ibu begitu saja memeluknya dalam-dalam dengan bahu bergetar. Lika bisa mendengar bisikan
ibu, “Tolong Lika.. Tolong..”
Lika hanya tidak mengerti. Ia
terlalu lugu untuk dapat mengurai semua artinya. Yang ia tahu, kepindahan ini
bukan hanya semata pindah, tapi juga meninggalkan jutaan kenangan dalam tiap
ubinnya. Dinding rumah akan berhenti bercerita karena hanya ada kekosongan
setelahnya. Apapun yang terjadi disini, akan melumut bersama debu. Mungkin
tidak akan jadi apa-apa ketika semua sudah kembali sedia kala. Hanya gema-gema
malam itu dari celah tembok retak. Kemudian mengingatkan betapa rumah ini
dulunya rusak karena teriak.
Ibu masih memeluknya. Ibu yang
tadi mengeras kini merapuh.
Lika tidak ingin meninggalkan
ibu. Lika menurut ; hanya akan bersama ibu.
24 Mar 2013
[Cerpen] On The Phone
Nazma masih duduk diam menatap sepatunya. Ia seperti beku begitu saja dengan berbagai tertawaan dari luar atmosfernya, dari Fahmi. Dan Fahmi tampak seperti biasa, ramah dengan siapa saja dan begitu ringan. Ia menyapa, tersenyum, dan sesekali terkekeh bersama teman-temannya. Bukan tidak menyadari kehadiran Nazma. Ia tahu betul Nazma belum bicara apa-apa dari ketika ia datang, tapi entah kata apa yang pantas untuk menyapa Nazma lagi. Sesekali ia melirik, mengharap Nazma setidaknya mengadah kepala dan mata mereka tak sengaja saling bertemu.
Tapi hingga ia harus pergi, ia tidak juga menangkap mata Nazma.
***
"Gak pegel, nunduk aja ?", tanya Rafa sembari menepuk bahu Nazma. Nazma menoleh kaget, dan kemudian menyimpul senyum. Rafa dengan mudah mengurai artinya. Ia mengambil duduk di depan Nazma dan terkekeh, "Gak boleh jadi sombong gitu, Ma.. ".
"Sombong kenapa ?"
"Jarang-jarang bisa kumpul, disapa dong. Masa diem aja... "
"Sapa bagaimana ? Sapaku pasti terdengar kosong", Nazma menghela panjang.
Rafa menarik bibirnya kecil disudut. Ia tahu Nazma pasti menyangkal apapun kata-katanya.
"Apa setelah malam itu kamu menghentikan semuanya ? Gak ada komunikasi apapun lagi ?", tanya Rafa lagi.
"Tadinya iya..", Nazma menghela napas panjang. "Tapi sekarang dia udah punya cewek", suara tadi Nazma yakini suara tercekik yang paling bisik.
Ada hening sejenak. Rafa membiarkan Nazma mengambil napasnya lagi dan kembali menapak bumi. Mungkin samar, tapi ia tahu ada yang rubuh di dalam Nazma ketika mengatakannya.
"Walaupun Fahmi gak bilang apa-apa ke gue, gue tau Fahmi sebenernya pengen bersikap biasa aja ke lo, Ma", Rafa mendesah, "Gak ada masalah dengan berteman baik. Lo selesai dengan Fahmi juga secara baik-baik,kan? Bersikaplah dewasa, Ma. Inget, sebelum itu lo juga sahabat baik dia dari dulu".
Nazma bungkam kehabisan kata. Rafa ada benarnya juga. Tapi tetap saja, tidak ada kata-kata yang mau keluar lagi pada Fahmi. Padahal tidak ada sakit hati atau benci. Hanya saja... Ah. Nazma meremuk acap kali hendak bicara
Tapi yah, Rafa tidak salah. Tidak bisa ia terus seperti ini. Fahmi juga sahabatnya. Mungkin mereka bisa kembali seperti masa lama.
***
Handphonenya hanya ia pegangi sedari tadi. Nazma memandang kontak Fahmi dengan tatapan kosong. Namun pada akhirnya, jemari itu bergerak juga.
....
"Halo ? Emh, kenapa Nazma?"
Fahmi menyebut namanya. Nazma kemudian menciut dan meledak jadi bagian terkecil. Ia hendak berkata tapi kelu.
"Halo ? Nazma?"
Dua kali. Fahmi menyebut namanya lagi. Semua dialog yang disusun buyar seketika. Tapi tidak kali ini. Kata-kata itu tidak boleh bunuh diri lagi !
"Erh.. Fahmi ? Iya ini Nazma..", Nazma diam sejenak, "Hai."
Bodoh. Bodoh. Bodoh.
Fahmi juga mengambil jeda lebih panjang, kemudian menjawab sapaannya. Baru saja Nazma hendak berkata lainnya, seseorang memanggil Fahmi dengan samar. Fahmi menyahut, kemudian kembali pada Nazma,
"Sorry, Ma. Mungkin lain kali ya. Gue lagi.., umh. Nanti gue telpon lagi"
Nazma tahu Fahmi sedang apa. Nazma mengerti. Ia hanya mengiyakan dengan singkat, ingin segera mengakhiri telponnya,
"Maaf gue ganggu,Mi".
Kemudian ia putus sendiri telponnya.
Nazma diam mematung lagi. Dalam hati ia mengutuki perbuatan bodohnya dan perkataan Rafa tadi siang. Dalam hati Nazma rubuh dan melebam. Ia sadar ternyata ia hanya sedang melempar bumerang yang kembali menghantamnya telak.
Keadaan mempecundanginya. Masih saja ia kalah.
'Cause I still don't know how to act
Don't know what to say.
Still wear the scars like it was yesterday.
But you're long gone and moved on...
-Long Gone and Moved On, The Script
12 Feb 2013
[Cerpen] The Secret Doors
Tell me what you want to hear
Something that will light those years
I'm sick of all this insincire
So I'm gonna give
All my secrets away
-One Republic
***
“Bagaimana dengan janji ?”, Reza menatapnya, “apakah tidak ingin kamu
tepati ?”
Ana bungkam. Bukan tidak bisa bicara, ia hanya tidak bisa
menemukan kata yang ingin digunakan. Maka ia hanya balik memandang Reza dengan
datar, hingga akhirnya Reza memaling muka dan mendesah, “Berhentilah berlari.
Kau perlu diam sejenak dan berkaca ”, katanya sembari bangkit, “biar kamu ingat
sebenarnya kamu itu siapa”
Dan disitulah Ana. Duduk termangu sendiri dengan pikirannya.
Percakapan dengan Reza memang tidak begitu panjang, namun melelahkan. Semua
kata Reza benar. Semua kata Reza benar. Ana tahu itu. Hanya saja….
***
Waktu sudah jauh berlari, namun seperti cerita-cerita, selalu
ada puncaknya. Sekarang puncaknya. Semua yang nyata ternyata selama ini tidak
pergi kemana-mana, selalu berada di balik pintu. Dan sekaranglah, Ana baru saja
membuka pintu tersebut.
Hujan. Hujan. Hujan.
Tidak heran. Sekarang memang musim hujan. Selalu mendung dan
berangin. Rinai hujan tidak selalu jadi rinai. Kadang ia bergemuruh, kadang ia
terus –terusan mengeluh. Namanya juga hujan.
Hujan. Hujan. Hujan.
Di dalam hujan lah pintu Ana terbuka. Kemudian semua yang
nyata itu menghantamnya bertubi-tubi. Membuat Ana yang lemah semakin lemah..
***
“Jadi kamu seriusan enggak tahu, Na ?”, Fala menatap heran
mata dihadapannya, “Jadi.. Jadi kamu gak tau apa-apa soal perihal itu ?”.
Ana menghantam punggungnya pada sandaran kursi. Tubuhnya
melemas dan sesuatu rubuh didalam. Berdebam dan langsung melebam. Jadi.. Agi selama ini tidak pernah menyadari
yang sebenarnya terjadi? Jadi selama ini hanya ada aku dan kamu. Bukan kita ?
***
“Dasar cewek bego !”, pekikan itu menggema. Jika saja
tatapan memang bisa membunuh, harusnya Ana sudah terkapar berdarah-darah dengan
tatapan Meda. “Gue pikir kalian emang pacaran betulan, Na !”, tukas Meda lagi.
Keringat berderai dari pelipisnya. Dahinya berkali-kali mengernyit. Heran.
“Dekat
kan, bukan berarti pacaran..”, Ana mencoba menahan air matanya. Tapi segala
perasaan dan sesuatu yang seperti tersangkut di tenggorokkannya membuat Ana
tercekik
“Tiga
tahun, Na ! Tiga tahun lo cerita hal-hal bodoh itu di depan dia. TIGA TAHUN LO
GAK NYADAR APA-APA !”, Meda tersulut emosinya. Napasnya memburu. Begitu
herannya dengan gadis ini. Dia ini polos
atau emang beneran bego sih ?
Ana membeku. Ia merasa seperti menyusut, menyusut, kemudian
pecah jadi bagian terkecil. Sungguh, semua ini di luar perkiraannya. Semua ini
salah. Harusnya Ana tahu itu.
Meda
yang akhirnya tersadar, ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya kesalahan waktu.
Waktu yang egois yang tidak pernah berhenti sejenak sekedar membiarkan
orang-orang yang terseret olehnya saling menoleh. Ini bukan salah siapa-siapa.
Tidak ada yang perlu disalahkan.
Kemudian Meda mendesah sendiri. Dahinya masih terlipat. Matanya
terpejam berulang-ulang. Ia benar-benar baru menyadarinya. Semua yang nyata,
ternyata selama ini memang tidak pernah kemana-mana…
“Lo
tahu dia baik, gue harap lo juga harusnya mengerti bagaimana perasaan dia. Lo
gak bisa pura-pura tutup telinga dan terus berkoar-koar, Na. Lo harus lurusin
semuanya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Lo tahu itu”, kata Meda akhirnya.
Ia melirih, “Jangan terus berkaca pada cermin buram tanpa tahu bayangan lo
sendiri itu sebenarnya apa, Na..”
***
“Kata
siapa, Na ?”, Reza menyeringai geli. Ia coba mencari mata Ana yang kini justu
malah salah tingkah. “Kata siapa kalo sebenernya gue suka sama lo ?”.
Ana masih menunduk. Merasa aneh sekaligus canggung. Jadi
seperti biasa, Ana hanya bungkam dan terus menatap sepatunya.
“Lihat
Reza, Na”, tukas Reza lagi sembari menyentuh bahunya. Ana menoleh cepat dan
langsung terperangkap dalam dalam.“Apa muka Reza cukup ganteng buat suka sama
kamu ? Hahaha..”
Reza terkekeh tanpa meyadari raut Ana yang berubah. Ia
tercekik sendiri lagi. Benar-benar tidak bisa mencerna kata-kata Reza. Jadi sebenarnya bagimana ?
“Za,
tolong.. Ana bingung..”, lirihnya parau. “Ana gak ngerti sebenernya gimana..”
Kemudian sekarang Reza yang diam. Ia tatap lekat-lekat sosok
dihadapannya. “Kenapa masih bertanya?”,
Reza menyungging senyum.
“Karena
Ana masih belum mengerti. Kata Meda begitu. Semua orang bilang begitu..”
“Kata
Meda ? Kamu percaya sama Si Meda ?”, Reza tertawa kecil, “Orang kayak gitu
dipercaya kamu, mah..”
Ana balik menatapnya lama. Mencoba mencari sendiri jawabannya
di dalam mata Reza. Tapi Reza memanglah Reza. Gelap matanya terlalu pekat. Tak
pernah terbaca.
“Ana
kan sudah sama Agi..”, goda Reza sembari menyikut Ana/
“Agi
enggak suka Ana. Agi tetap belum sadar tentang Ana. Sepertinya,he falling in
love with someone elsa, Za..”
“Then
try it again. Tapi sekarang, just be yourself, Na. Jangan seperti tahun-tahun
kemarin. Jangan berubah cuma buat seorang Agi…”, Reza menepuk kepala Ana dengan
ringan. Kemudian tertawa, “Gue sebel banget pas waktu itu. Rasanya, itu bukan
Ana yang gue kenal, tau !”.
Mau tidak mau Ana ikut tersenyum. Ia juga menyadari betapa
bodohnya dia waktu itu. Semua perubahan yang ia lakukan mati matian hanya untuk
Agi ternyata hasilnya nol besar. Semua perubahan yang ia lakukan justru malah
balik meremukan.
“Maaf
ya, Za..”, bisik Ana. Rasa malu mengkerdilkannya. Tapi Reza memanglah Reza. Ia
hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
“Dan oh
ya, Na..”, lanjut Reza, “Gak usah dengerin Meda dan orang lain. Ana itu sahabat
gue dari dulu. Gak mungkin gue jadiin pacar, kan ?”, canda Reza disusul dengan derai
tawanya.
“Dan satu lagi, Na”, Reza menatap Ana dengan serius, “Gue
juga gak mau saingan sama si Agi. Gak level !”.
Ana hanya tersenyum. Ia tahu sekarang. Ia mengerti. Reza
benar. Reza memang selalu benar. Semua oranglah yang salah. Reza, tetap yang
bisa ia percaya.
***
Mungkin pintu Ana memang sudah terbuka. Semua yang nyata
disana sudah berhamburan keluar. Hanya satu lagi. Satu pintu lagi dengan satu
yang nyata. Pintu Reza. Dengan Reza sendiri di baliknya.
***
Guess it :)
1 Des 2012
[Cerpen] Hujan Itu Indah, Benarkah?
You say you love rain. But you open your umbrella
You say you love the sun. But you find a shadow spot
You say you love the wind. But you close your window
That is why I'm afraid...
You said you love me too
-William Shakespear
“Reo..”, bisik Kina lirih. Makin ia rapatkan jaket yang membungkusnya ketika angin malam makin beku karena hujan. Entah sudah berapa lama berada di bawah gardu. Semenjak hujan bisa didengar nyanyiannya, hingga yang terdengar hanya gemuruh langit saja.
“Kenapa, ?”
“Ayo pulang…”, pinta Kina, “Sudah makin larut…”
Reo diam . Ia sendiri juga ingin segera pulang. Telinganya tidak betah mendengar amarah hujan. Tapi jika dipaksakan pulang sekarang, hujan sebesar ini berbahaya jika harus diterobos dengan sepeda motor.
“Nanti. Kalau hujannya sudah agak reda,”
“Kapan? Dari tadi hujannya gak makin reda, Re.. tapi malah tambah deras !”, pekik Kina, berusaha mengalahkan suara hujan. “Ayo pulang, Reo… Gak apa-apa kok, kalau harus hujan-hujan daripada di—“
“Kina bisa diem gak?”, sergah Reo cepat. Muak mendengar keluahan Kina.
“Ya makanya ayo pulang,Re ! Emang kamu mau sampai kapan disini ?”, Kina masih belum mau kalah. Ia bangkit dan menarik lengan jaket Reo, memaksanya.“Ayo pulang, Reo..”.
“Diem lah !”, ia tepis tangan Kina dengan kasar. “Kalau kamu mau pulang duluan, ya sana ! Nih kuncinya ! Pulang aja sana sendiri !” Reo meregoh sakunya dan melempar kunci motor ke kaki Kina yang mematung.
Kina tertegun, kemudian memungut kuncinya, melemparkannya balik kepada Reo dan kembali duduk. Bungkam. Perlakuan Reo tadi cukup membuatnya kaget. Tidak menyangka kalau Reo akan semarah itu. Kina tidak pula berani untuk menoleh pada Reo lagi.
“Dingin. Reo.. “, katanya bergetar. Jaket yang ia pakai sudah ikut basah sekarang.Petir menyambar, menciptakan kilat putih, disusul dengan gemuruh. Ada jeda yang panjang setelah itu.
Hingga Reo bangkit, “Tuker tempat”, tukas Reo cepat , “Kamu jangan dipinggir duduknya”.
Kina mengadah, menatap wajah Reo yang tidak sekeras tadi, tapi tetap saja masih dingin. Maka tanpa banyak bicara, Kinapun bangkit dan bertukar tempat duduk. Memang, sekarang hujan angin tidak lagi membasahi karena posisinya di pojok gardu.
“Kabarin aja si Raka, suruh jemput kamu. Dia bawa mobil,kan ?”, tanya Reo tanpa menoleh.
“Nanti motor kamu gimana ?”
“Ya kamu aja yang di jemput. Gue pulangnya kalau hujan reda”, tukas Reo santai. Ia mengulurkan tangan, menyentuh tetesan hujan dari atap gardu. “Dan oh ya..nanti jelasin ke pacar kamu. Jangan sampe dia mikir yang macem-macem. Males gue ladeninnya”.
Kina diam. Entah ingin menjawab apa. Tapi rasanya tidak adil jika Kina pulang terlebih dahulu dan meninggalkan Reo sendiri.
“Nanti Reo sendirian, ?”, tanya Kina. Tidak bisa menutupi khawatirnya. “Masa Kina tinggalin Reo sendiri ?”
“Terus kamu maunya gimana ? Reo yang tinggalin Kina, gitu ?”. Reo mengangkat alisnya sambil tersenyum mengejek pada Kina. Heran.
Sekali lagi Kina kehabisan kata. Kina tidak mau ditinggal, tapi juga tidak mau meninggalkan. Reo sudah berbaik hati mengantarnya pulang hingga terjebak hujan. Andai saja tadi Kina tidak berlama-lama di toko buku…
“Udah sana, kabarin si Raka..”, tukas Reo. “Emang dari tadi dia gak nyariin kamu apa ?”.
Kina tertegun sejenak. Baru sadar akan kata Reo. Benar, Rama memang belum mengabarinya apa-apa sejak semalam. Raka kemana, ya ?
“Nanti aja kabarin Rakanya.. Barangkali sebentar lagi reda..”, jawab Kina sembari tersenyum. Entah tersenyum untuk siapa sebenarnya. Untuk Reo kah, atau demi menghibur dirinya sendiri.
“Lah, tadi kamu ribut mulu minta pulang !”, Reo menoleh pada Kina. Semakin bingung dengan sikapnya. Dasar cewek. Labil semua.
Ada jeda yang kosong. Membiarkan suara hujan yang hingar bingar diantara keduanya. Reo sendiri bingung hendak menjawab apa. Dia ingin Kina segera pulang sebelum hari makin larut. Pulang bersama Raka.
Tapi.. benarkah ?
“Umh..”, Reo memalingkan muka, “Terserah Kina ajalah”.
Kina tersenyum kecil, kemudian ikut terdiam. Menikmati hujan bersama Reo. Hanya saja dalam dunia yang berbeda…
***
“Yaudah
angkat. Emang mau Kina apain ?”, Reo menatapanya sambil alis terangkat. Ia
terkekeh geli melihat tingkah Kina.
Kina tidak langsung menjawabnya. Hanya menatap kosong pada layar telpon genggam. Hingga akhirnya ia accept juga setelah Reo berteriak, membuyar lamunannya.
“Halo, Raka ? Belum.. Aku belum pulang..”
Reo berusaha membuat atmosfernya hampa udara. Ia ingin percakapan Kina dengan Raka menjadi kosong di telinganya. Tapi bagaimanapun ia berusaha untuk tidak peduli, Reo bisa mengetahui bahwa Raka sedang dalam perjalanan kemari. Menjemput Kina.
“Reo, pulang bareng aja yuk…”, ajak Kina setelah mengakhiri telpon.
“Gak usah. Kamu duluan aja sama si Raka”, jawabnya cepat tanpa sekedar menoleh pada Kina.
“Bener ? Memangnya gak apa-apa kalo Reo sendirian disini ?”
Reo mengulum senyum. Geli mendengar pertanyaan konyol Kina. Ia mengulurkan tangan mencoba menyentuh hujan. Kemudian menjawab dengan tenang,“Gue gak sendirian kok”.
Kini Kina yang menatapnya heran. Gak sendirian ? Emangnya Reo sama siapa lagi.....
“Udah. Gak usah khawatir gitu kali, Na..”. Jemari Reo masih saja bermain dengan rintik hujan. Membiarkannya merembes hingga membasahi siku. “Kina gak lupa kalau gue cowok,kan ?”.
Reo terkekeh sendiri. Rahangnya mengendur lagi. Seakan dinginnya air hujan malah justru mencairkan bongkah es Reo. Kina sendiri ikut lega, merengangkan tubuhnya. Sesekali menengok ka arah jalan, memastikan kedatangan Raka.
Kina sendiri bingung. Ia memang ingin segera pulang. Bersama Raka.
Tapi.. benarkah ?
Tak lama, Raka tiba. Ia turun dari
mobil hitamnya sambil membawa payung. Berlari kecil ke gardu menghampiri Kina.
“Yaampun Kina.. Dari kapan kamu di luar ?”, Raka mencoba mencari mata Kina. Menyeka poni Kina yang basah di dahi.
“Gak begitu lama kok, Ka..”
“Kenapa gak ngomong dari tadi aja sih, kalau mau dijemput ? Mana aku tahu kalau kamu lagi diluar..”. Raka tidak bisa menyembunyikan khawatirnya.
“Tenang aja, Ka..”, kekeh Kina, “Kamu gak lupa kan, kalau cewek kamu jagoan ?”. Tukas Kina,mengutip gaya Rea yang sedang menoleh ke arah lain. Masih dengan tangan dibasahi hujan.
“Yaudah ayo pulang..”, tukan Raka seraya menyiapkan payungnya. Baru saja hendak menarik Kina, ia menangkap sosok Reo.
Ada rasa berkecamuk dihati Raka. Semenjak percakapan dengan Kina ditelpon. Kina bersama Reo. Kina bersama Reo. Rasanya kalimat itu berdengung dikepalanya. Meledek. Membuat Raka tak kuasa untuk tidak memacu mobilnya cepat walau dalam hujan.
“Reo”, panggilnya
“Hmm..”, Reo bergumam. Masih saja tidak menoleh pada Raka. Air hujan seperti lebih menarik baginya.
“Cepet pulang”, tukasnya cepat, “ Tuh urusin cewek lo. Berisik banget si Dhea, nanyain lo mulu. Hape lo gak aktif ? ”
Reo diam saja. Malas menanggapi. Benar-benar ia menolak semua ucapan Raka menembus atmosfernya.
“Besok-besok, urusin dulu pacar sendiri. Baru punya orang”. Tukas Raka lagi. Belum puas menyudut Rea.
Kina sendiri diam seribu bahasa. Bingung hendak berkata apa. Mulutnya terkunci sendiri. Akhirnya, Kina menarik sendiri lengan Raka, mengajaknya supaya cepat beranjak dari gardu. Rakapun akhirnya bergerak juga.
Namun, sebelum ia masuk kedalam mobil, ia tangkap mata Reo.
“Cepet pulang, Reo. Mama di rumah sendirian”, ujarnya, “Gue gak ada dirumah malem ini”.
“Kemana ? Ke rumah Dian ? Ato Sabrin ?”. Reo kini berganti menatapnya remeh. Ia balas menatap Raka. Kemudian menyeringai setelah Raka cepat masuk ke mobil dan membanting pintu dengan keras. Mobil itupun melaju. Jauh. Menembus hujan dan hilang. “Hati-hati, Kina..”
Kina tidak langsung menjawabnya. Hanya menatap kosong pada layar telpon genggam. Hingga akhirnya ia accept juga setelah Reo berteriak, membuyar lamunannya.
“Halo, Raka ? Belum.. Aku belum pulang..”
Reo berusaha membuat atmosfernya hampa udara. Ia ingin percakapan Kina dengan Raka menjadi kosong di telinganya. Tapi bagaimanapun ia berusaha untuk tidak peduli, Reo bisa mengetahui bahwa Raka sedang dalam perjalanan kemari. Menjemput Kina.
“Reo, pulang bareng aja yuk…”, ajak Kina setelah mengakhiri telpon.
“Gak usah. Kamu duluan aja sama si Raka”, jawabnya cepat tanpa sekedar menoleh pada Kina.
“Bener ? Memangnya gak apa-apa kalo Reo sendirian disini ?”
Reo mengulum senyum. Geli mendengar pertanyaan konyol Kina. Ia mengulurkan tangan mencoba menyentuh hujan. Kemudian menjawab dengan tenang,“Gue gak sendirian kok”.
Kini Kina yang menatapnya heran. Gak sendirian ? Emangnya Reo sama siapa lagi.....
“Udah. Gak usah khawatir gitu kali, Na..”. Jemari Reo masih saja bermain dengan rintik hujan. Membiarkannya merembes hingga membasahi siku. “Kina gak lupa kalau gue cowok,kan ?”.
Reo terkekeh sendiri. Rahangnya mengendur lagi. Seakan dinginnya air hujan malah justru mencairkan bongkah es Reo. Kina sendiri ikut lega, merengangkan tubuhnya. Sesekali menengok ka arah jalan, memastikan kedatangan Raka.
Kina sendiri bingung. Ia memang ingin segera pulang. Bersama Raka.
Tapi.. benarkah ?
***
“Yaampun Kina.. Dari kapan kamu di luar ?”, Raka mencoba mencari mata Kina. Menyeka poni Kina yang basah di dahi.
“Gak begitu lama kok, Ka..”
“Kenapa gak ngomong dari tadi aja sih, kalau mau dijemput ? Mana aku tahu kalau kamu lagi diluar..”. Raka tidak bisa menyembunyikan khawatirnya.
“Tenang aja, Ka..”, kekeh Kina, “Kamu gak lupa kan, kalau cewek kamu jagoan ?”. Tukas Kina,mengutip gaya Rea yang sedang menoleh ke arah lain. Masih dengan tangan dibasahi hujan.
“Yaudah ayo pulang..”, tukan Raka seraya menyiapkan payungnya. Baru saja hendak menarik Kina, ia menangkap sosok Reo.
Ada rasa berkecamuk dihati Raka. Semenjak percakapan dengan Kina ditelpon. Kina bersama Reo. Kina bersama Reo. Rasanya kalimat itu berdengung dikepalanya. Meledek. Membuat Raka tak kuasa untuk tidak memacu mobilnya cepat walau dalam hujan.
“Reo”, panggilnya
“Hmm..”, Reo bergumam. Masih saja tidak menoleh pada Raka. Air hujan seperti lebih menarik baginya.
“Cepet pulang”, tukasnya cepat, “ Tuh urusin cewek lo. Berisik banget si Dhea, nanyain lo mulu. Hape lo gak aktif ? ”
Reo diam saja. Malas menanggapi. Benar-benar ia menolak semua ucapan Raka menembus atmosfernya.
“Besok-besok, urusin dulu pacar sendiri. Baru punya orang”. Tukas Raka lagi. Belum puas menyudut Rea.
Kina sendiri diam seribu bahasa. Bingung hendak berkata apa. Mulutnya terkunci sendiri. Akhirnya, Kina menarik sendiri lengan Raka, mengajaknya supaya cepat beranjak dari gardu. Rakapun akhirnya bergerak juga.
Namun, sebelum ia masuk kedalam mobil, ia tangkap mata Reo.
“Cepet pulang, Reo. Mama di rumah sendirian”, ujarnya, “Gue gak ada dirumah malem ini”.
“Kemana ? Ke rumah Dian ? Ato Sabrin ?”. Reo kini berganti menatapnya remeh. Ia balas menatap Raka. Kemudian menyeringai setelah Raka cepat masuk ke mobil dan membanting pintu dengan keras.
Langganan:
Postingan (Atom)