"Ini bukan salahmu, Ren..", ujarnya sembari menyesuaikan langkahku dengan napas memburu.
Aku masih marah. Marah sekali. Hingga rasanya ada uap mengepul dari telingaku dan menyumbatnya. Aku tidak ingin memperlambat langkah. Aku ingin tetap menembus kerumunan walau harus menyikut tubuh-tubuh besar. Aku ingin pergi !
"Rena !", ia memekikku dari belakang. Ia tertinggal dan berusaha menggapaiku saat tubuhnya tenggelam dalam kerumunan, "Rena ! Rena berhenti !"
Aku marah. Aku sangat marah hingga rasanya membakar pipi. Aku sadar apinya merambat ke mata hingga melelehkan sesuatu disana. Tapi aku tidak peduli.
***
"Kau benar ingin melakukannya ?", Tia memandangku dengan khawatir, "mungkin.. kau harus berpikir dua ka--"
"Aku sudah memikirkannya jutaan kali, Tia. Aku capek berpikir terus", jawabku defensif.
"Ya... kadang tidak semua perlu diungkapkan, Ren", ungkapnya lagi, "Tahu kan? Nanti jawabannya belum tentu seperti yang diharapkan".
Aku menghentikan pekerjaanku. Terhenyak. Iya juga, aku belum memikirkannya. Tapi...
"Ah, kalau gak pernah dicoba, juga gak bakal tahu jawabannya kan?". Aku tersenyum menghiburnya. Atau juga mungkin menghibur diri sendiri. Entahlah.
"Oke, semoga beruntung".
***
"Bodoh. Dasar bodoh !", aku meracau sendiri sepanjang jalan. "Tia sialan! Gilang sialan!" Umpatanku mungkin berbalapan dengan hentakan kaki. Tubuhku ramai sekali. Aku bisa merasakan pasang-pasang mata memandangku, kemudian berbisik-bisik hingga membuatku muak.
"APA ?!", pekikku pada seorang pria. Ia terkejut dan buru-buru memalingkan mukanya.
Aku masih terus berjalan dan tidak mau berhenti. Aku tidak punya tujuan. Hanya berbelok, berbelok, berbelok. Aku tidak peduli kemana. Yang jelas aku ingin jauh-jauh dari jembatan tadi. Yang jelas aku ingin jauh dari sosok tadi.
Pasti wajahku tampak mengerikan. Bajuku kusut. Rambutku berantakan dan helai-helainya menutupi pipiku yang lengket. Aku terlalu sibuk mengumpat hingga enggan menyibaknya. Aku biarkan rambut-rambut ini sebagai kacamata kuda.
Tapi justru minimnya pandanganku membuatku tersandung. Aku terjerembab di tanah yang terasa dingin di lututku. "Sialan ! Sialan !", aku menangis dalam umpatan. Aku mengepalkan jemari dan menghantamkannya ke tanah.
Aku benar-benar merasa kebas. Duniaku berputar dan langitku membiru. Aku tersungkur kesamping. Alih-alih bangkit, aku pilih tetap meringkuk, memeluk lututku yang dingin. Aku ingin memusuhi dunia. Aku masih merasa marah !
***
"Aku menyukaimu".
Hening.
"Dari dulu. Kau pasti tak menyadarinya, ya?"
Hening. Hening.
Aku merasa janggal sekarang. Ia masih membatu menatapku tanpa ekspresi. "Gilang? Umh.. Kau dengar aku, kan ?"
"Kau mengajakku bertemu untuk ini?", ia akhirnya bicara, tapi wajahnya masih datar dan tak terbaca.
"Umh.. ya.. Tapi tidak juga sih, tapi--"
"Tunggu", Gilang memotongku dan maju selangkah. Tatapannya berubah menjadi awas. "Apa temanmu itu belum mengatakannya padamu juga?"
"Ah ?A..apa?", aku tergagap.
"Kamu", ia menunjuk wajahku, "jangan dekati aku lagi"
Aku tercenung. Kemudian mulai meresapi kata-katanya yang ternyata menohokku tepat di dada. Sakit. Mati rasa, hanya rasa sakit. Jemariku bergetar dan seketika aku memandang semuanya dari balik kaca-kaca pecah. Aku lupa aksara, hanya ucapan sesuatu yang tercekat, tertahan amarah.
"Oke".
Aku mulai berlari dan benar-benar menjauhinya.Sejauh-jauhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar