“Kamu gila, Ra”, Lala menggelengkan kepalanya cepat.
“Gila apa? Aku cuma bertanya!”
“Sudah,sudah. Kita sudah ngawur bicaranya. Itu konyol, Ra,” Lala bangkit
dari posisinya. Hendak pergi.
“A-apa? Aku salah bicaranya apa memangnya? Pertanyaanku konyol kenapa?” Ara menahan
Lala, namun Lala menangkisnya dengan kasar. “Aku belum selesai, La!”
“CUKUP, ARA!” pekikan Lala membungkamnya, “kamu
baru saja mempertanyakan Tuhan! Apa itu tidak konyol?”
***
Ara dan Lala belum beranjak dari
tempat mereka. Mereka masih memandangi rak buku di hadapannya, dengan satu buku
yang dari tadi mereka ributkan.
“Jangan beli, Ra”
“Kenapa?”
“Aku yang harusnye bertanya; kenapa
kamu mau beli?” Lala memandang Ara menunggu jawabannya. Tapi seperti
tebakannya, Ara mematung. “Tuh,kan. Ayo lihat yang lain saja”
“Tapi aku penasaran”
“Penasaran bisa menjerumuskan,” kilah Lala. Ia mulai lelah menghadapi
Ara. “Kenapa sih, kamu pengen banget baca itu?”
“Memangnya gak boleh? Pak Syarif pernah
bilang beliau pernah baca itu juga kok”
“Pak Syarif berbeda. Dia imannya sudah
kuat. Nah kita? Kita masih cemen, Ra.
Jangan macem-macem,lah”
Ara baru saja hendak membuka
mulut, tapi Lala sudah pergi menuju rak lainnya. Ia sedang memilih-milih buku
lain. Ara mengikutinya dari belakang. Mulutnya masih gatal, tapi tahu Lala
tidak akan mendengarkannya lagi.
Yang tidak Ara tahu, Lala bukan
hanya menghindari Ara, tapi juga rak itu sendiri. Rak yang penuh dengan
buku-buku berbagai judul, yang semuanya diam-diam selalu mebuat Lala merasa
risi. Tidak tenang. Seperti ada yang mencelos tiap kali membaca judul yang
tertera di berbagai sampul. Ia selalu menghindari deret rak ini.
Semua itu salah semua itu salah, gumam
Ara. Ia rapalkan terus menerus seakan-akan jika
terlupa, hatinya akan terbawa ke sana. Ditarik seperti magnet. Dan Ara, sekonyong-konyol malah membawanya kesana.
Meraih salah satu buku, dan berkata dengan bodohnya, “aku mau beli ini”
“Nih, beli ini aja,” tukas Lala sambil menyodorkannya kepada Ara. Sebuah
buku dari sisi rak yang berbeda. Sisi yang ia ketahui benar, karena berada di
pihak mereka.
“Ini udah biasa,” rengek Ara, “aku tidak mau tahu dari sisi kita. Justru
aku pengen tahu bagaimana kita dilihat dari perspektif paham lain”
Lala menghela napas berat, “tapi
jangan yang dari rak itu,Ra. Nanti kenapa-napa gimana?”
“Kenapa-napa gimana?” Ara memandangnya curiga, “kamu pikir aku bakal
‘pindah’ begitu saja selesai membacanya? Ya enggaklah!”
Lala mengibas-ngibas tangannya,
tanda ia sudah tidak mau dengar. Ia memilih duduk di salah satu kursi di sudut.
Entah kenapa soal ini benar-benar mengusiknya. Ara yang penasaran kenapa aku yang gila?
“Aku gak berani bahas soal beginian ke
siapa-siapa selain kamu, La,” tiba-tiba Ara sudah duduk di sampingnya.
Sama-sama lelah.
“Sama,” sahut Lala sembari menyungging senyum lemah.
“Ara cuma bingung aja,” Ara melayangkan pandangannya ke rak itu lagi,
“kenapa mereka pikir kita yang masuk neraka mereka yang masuk surga?”
Lala tidak menjawab.
“Kenapa Tuhan kita berbeda sama mereka? Kenapa ada banyak paham? Awalnya
kan satu. Satu paham yang benar. Paham yang datangnya memang dari Tuhan. Tuhan
kita. Tapi kenapa mereka anggap kita menganggap tuhan dan penuntun yang salah?”
Ara menggebu, seakan ketika mengucapkannya ia lupa bernapas. Kemudian, ia
melirih, “Tuhan kita tidak salah kan, La?”
Barulah Lala
meledak.
Pertanyaan yang
bertubi-tubi dari Ara dirangkap dalam satu tanya, yang kemudian seperti meninju
perutnya. Ia yakin hatinya benar-benar mencelos sekarang, lalu tercecer di
lantai. Mengalir ke arah rak yang membuatnya takut setengah mati.
“Kamu gila,Ra,” Lala menggeleng kepalanya cepat. Kembali ia rapal
mantranya kuat-kuat. Ia tidak mau temannya yang tertarik magnet.
“Apa? Gila apa?” Ara yang bingung. Tidak
siap menghadapi Lala yang mulai tampak lebih resah dari sebelumnya, “aku cuma
bertanya!”
Lala menggenggam tangan Ara,
menariknya untuk bangkit. Tapi Ara masih saja beralasan. Membuat Lala makin
limbung, ia tidak mau melanjutkan percakapan. “CUKUP ARA! KAMU BARU SAJA
MEMPERTANYAKAN TUHAN!”
***
Ara masih diam tidak bergerak.
Membiarkan uap mengepul dari makanannya yang belum ia sentuh. Lala menyeretnya
ke sini sambil terus berujar kalau tadi kepalanya kurang oksigen, alasan kenapa
ia bicara asal; mempertanyakan hal-hal yang tidak perlu.
“Kita ini lucu ya, La,” tukas Ara tanpa memandang temannya. Lala berhenti menyendoki makanan,
mengadah menatap Ara.
Entah sudah
berapa kali ia berdebat dengan Ara, membahas hal-hal seputar paham mereka,
ataupun –masalah yang baru-baru ini muncul kepermukaan—paham lain. Baik Ara
maupun Lala tahu, keduanya bersyukur mempunyai satu sama lain untuk berbagi.
Pemikiran mereka yang meluap dan berceceran telah menemukan wadahnya. Keduanya
bisa mengutarakan pendapat tanpa takut dianggap aneh, sok alim, atau komentar
lain yang mereka dapatkan setelah ceroboh memilih teman cerita.
Tapi dengan temannya yang satu
ini, pikiran mereka seperti air yang mengalir. Tidak berhenti.
“Apa yang lucu?”
“Kita seperti orang buta yang menuntun orang buta,” ujar Ara, “kita
sama-sama bingung, sama-sama bertanya, dan sama-sama mencari jawabannya. Tapi
padahal, kita berdua juga tidak tahu apa yang sedang kita cari”
“Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Ra,” sahut Lala seraya
tertawa. Ia tahu Ara memang lebih ambisius, tapi tidak seperti dirinya.
Lala tahu di koridor mana ia
harus berjalan, atau pintu mana yang harus ia lewati. Sehingga pikirannya yang
meluap itu bisa bergerak seperti aliran sungai; teratur.
Sedangkan Ara seperti air bah
yang tumpah ruah. Itulah alasan kenapa Lala tidak bisa membiarkar Ara sendiri.
Tanpa uluran tangannya, Ara bisa mati tenggelam.
“Oh ya? Hahaha,” Ara terkekeh, “buta….”
“Kenapa sih, Ra, kita gak bahas soal yang
lain aja?” Lala meletakkan sendoknya, tanda mulai tertarik dengan pembicaraan.
“Maksudnya, kenapa kita gak gosipin orang lain aja? Atau ngomongin cowok
misalnya?”
“Memangnya kamu punya cowok?”
“Sialan,” umpat Lala sambil melempar sendok ke Ara yang tertawa, “emang
kamu punya?”
“Enggak,” Ara tersenyum kecut, “kita sama-sama gak punya cowok. Terus
kenapa kita harus bahas cowok?”
“Duh, maksudnya bahas hal-hal yang wajar
gitu loh, Ra,” jelas Lala gemas.
“Hahaha. Emang pembicaraan kita gak wajar
banget ya, buat anak SMA?”
“Anak SMA belinya novel teenlit yang menye-menye. Bukan kitab paham lain
kayak kamu tadi, Ra”
Ara tertawa kecil. Lala benar.
Pembicaraan mereka kadang tidak wajar.
“Jadi… gak mau bahas beginian lagi?” tawar
Ara dengan mata menggoda, “mau bahas cowok jadi mulai sekarang?”
“Oke. Janji,ya gak bakal nyeret aku ke rak
itu lagi?” Lala tergelak sendiri.
“Iya, nanti kita cari cowok ganteng aja di
sekolah”
Keduanya mengangguk seraya
tertawa. Menertawai kebodohan masing-masing, dan janji yang mereka tahu tidak
akan mereka tepati.
Setidaknya mereka masih saling
memiliki.
Iya, kan Nis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar