19 Jun 2014

[Cerpen] Tanda Tanya yang Mengalir

   “Kamu gila, Ra”, Lala menggelengkan kepalanya cepat.
   “Gila apa? Aku cuma bertanya!”
   “Sudah,sudah. Kita sudah ngawur bicaranya. Itu konyol, Ra,” Lala bangkit dari posisinya. Hendak pergi.
   “A-apa? Aku salah bicaranya apa memangnya?  Pertanyaanku konyol kenapa?” Ara menahan Lala, namun Lala menangkisnya dengan kasar. “Aku belum selesai, La!”
 “CUKUP, ARA!” pekikan Lala membungkamnya, “kamu baru saja mempertanyakan Tuhan! Apa itu tidak konyol?”

***


Ara dan Lala belum beranjak dari tempat mereka. Mereka masih memandangi rak buku di hadapannya, dengan satu buku yang dari tadi mereka ributkan.
   “Jangan beli, Ra”
   “Kenapa?”
   “Aku yang harusnye bertanya; kenapa kamu mau beli?” Lala memandang Ara menunggu jawabannya. Tapi seperti tebakannya, Ara mematung. “Tuh,kan. Ayo lihat yang lain saja”
    “Tapi aku penasaran”
   “Penasaran bisa menjerumuskan,” kilah Lala. Ia mulai lelah menghadapi Ara. “Kenapa sih, kamu pengen banget baca itu?”
    “Memangnya gak boleh? Pak Syarif pernah bilang beliau pernah baca itu juga kok”
  “Pak Syarif berbeda. Dia imannya sudah kuat. Nah kita? Kita masih cemen, Ra. Jangan macem-macem,lah”

Ara baru saja hendak membuka mulut, tapi Lala sudah pergi menuju rak lainnya. Ia sedang memilih-milih buku lain. Ara mengikutinya dari belakang. Mulutnya masih gatal, tapi tahu Lala tidak akan mendengarkannya lagi.

Yang tidak Ara tahu, Lala bukan hanya menghindari Ara, tapi juga rak itu sendiri. Rak yang penuh dengan buku-buku berbagai judul, yang semuanya diam-diam selalu mebuat Lala merasa risi. Tidak tenang. Seperti ada yang mencelos tiap kali membaca judul yang tertera di berbagai sampul. Ia selalu menghindari deret rak ini.

Semua itu salah semua itu salah, gumam Ara. Ia rapalkan terus menerus seakan-akan jika terlupa, hatinya akan terbawa ke sana. Ditarik seperti magnet. Dan Ara,  sekonyong-konyol malah membawanya kesana. Meraih salah satu buku, dan berkata dengan bodohnya, “aku mau beli ini”

  “Nih, beli ini aja,” tukas Lala sambil menyodorkannya kepada Ara. Sebuah buku dari sisi rak yang berbeda. Sisi yang ia ketahui benar, karena berada di pihak mereka.
   “Ini udah biasa,” rengek Ara, “aku tidak mau tahu dari sisi kita. Justru aku pengen tahu bagaimana kita dilihat dari perspektif paham lain”
Lala menghela napas berat, “tapi jangan yang dari rak itu,Ra. Nanti kenapa-napa gimana?”
   “Kenapa-napa gimana?” Ara memandangnya curiga, “kamu pikir aku bakal ‘pindah’ begitu saja selesai membacanya? Ya enggaklah!”
Lala mengibas-ngibas tangannya, tanda ia sudah tidak mau dengar. Ia memilih duduk di salah satu kursi di sudut. Entah kenapa soal ini benar-benar mengusiknya. Ara yang penasaran kenapa aku yang gila?
    “Aku gak berani bahas soal beginian ke siapa-siapa selain kamu, La,” tiba-tiba Ara sudah duduk di sampingnya. Sama-sama lelah.
   “Sama,” sahut Lala sembari menyungging senyum lemah.
   “Ara cuma bingung aja,” Ara melayangkan pandangannya ke rak itu lagi, “kenapa mereka pikir kita yang masuk neraka mereka yang masuk surga?”

Lala tidak menjawab.

   “Kenapa Tuhan kita berbeda sama mereka? Kenapa ada banyak paham? Awalnya kan satu. Satu paham yang benar. Paham yang datangnya memang dari Tuhan. Tuhan kita. Tapi kenapa mereka anggap kita menganggap tuhan dan penuntun yang salah?” Ara menggebu, seakan ketika mengucapkannya ia lupa bernapas. Kemudian, ia melirih, “Tuhan kita tidak salah kan, La?”

Barulah Lala meledak.

Pertanyaan yang bertubi-tubi dari Ara dirangkap dalam satu tanya, yang kemudian seperti meninju perutnya. Ia yakin hatinya benar-benar mencelos sekarang, lalu tercecer di lantai. Mengalir ke arah rak yang membuatnya takut setengah mati.
   “Kamu gila,Ra,” Lala menggeleng kepalanya cepat. Kembali ia rapal mantranya kuat-kuat. Ia tidak mau temannya yang tertarik magnet.
    “Apa? Gila apa?” Ara yang bingung. Tidak siap menghadapi Lala yang mulai tampak lebih resah dari sebelumnya, “aku cuma bertanya!”
Lala menggenggam tangan Ara, menariknya untuk bangkit. Tapi Ara masih saja beralasan. Membuat Lala makin limbung, ia tidak mau melanjutkan percakapan. “CUKUP ARA! KAMU BARU SAJA MEMPERTANYAKAN TUHAN!”

***

Ara masih diam tidak bergerak. Membiarkan uap mengepul dari makanannya yang belum ia sentuh. Lala menyeretnya ke sini sambil terus berujar kalau tadi kepalanya kurang oksigen, alasan kenapa ia bicara asal; mempertanyakan hal-hal yang tidak perlu.

   “Kita ini lucu ya, La,” tukas Ara tanpa memandang temannya. Lala berhenti menyendoki makanan, mengadah menatap Ara.

Entah sudah berapa kali ia berdebat dengan Ara, membahas hal-hal seputar paham mereka, ataupun –masalah yang baru-baru ini muncul kepermukaan—paham lain. Baik Ara maupun Lala tahu, keduanya bersyukur mempunyai satu sama lain untuk berbagi. Pemikiran mereka yang meluap dan berceceran telah menemukan wadahnya. Keduanya bisa mengutarakan pendapat tanpa takut dianggap aneh, sok alim, atau komentar lain yang mereka dapatkan setelah ceroboh memilih teman cerita.

Tapi dengan temannya yang satu ini, pikiran mereka seperti air yang mengalir. Tidak berhenti.

     “Apa yang lucu?”
   “Kita seperti orang buta yang menuntun orang buta,” ujar Ara, “kita sama-sama bingung, sama-sama bertanya, dan sama-sama mencari jawabannya. Tapi padahal, kita berdua juga tidak tahu apa yang sedang kita cari”
   “Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Ra,” sahut Lala seraya tertawa. Ia tahu Ara memang lebih ambisius, tapi tidak seperti dirinya.

Lala tahu di koridor mana ia harus berjalan, atau pintu mana yang harus ia lewati. Sehingga pikirannya yang meluap itu bisa bergerak seperti aliran sungai; teratur.
Sedangkan Ara seperti air bah yang tumpah ruah. Itulah alasan kenapa Lala tidak bisa membiarkar Ara sendiri. Tanpa uluran tangannya, Ara bisa mati tenggelam.

      “Oh ya? Hahaha,” Ara terkekeh, “buta….”
     “Kenapa sih, Ra, kita gak bahas soal yang lain aja?” Lala meletakkan sendoknya, tanda mulai tertarik dengan pembicaraan. “Maksudnya, kenapa kita gak gosipin orang lain aja? Atau ngomongin cowok misalnya?”
   “Memangnya kamu punya cowok?”
   “Sialan,” umpat Lala sambil melempar sendok ke Ara yang tertawa, “emang kamu punya?”
   “Enggak,” Ara tersenyum kecut, “kita sama-sama gak punya cowok. Terus kenapa kita harus bahas cowok?”
    “Duh, maksudnya bahas hal-hal yang wajar gitu loh, Ra,” jelas Lala gemas.
    “Hahaha. Emang pembicaraan kita gak wajar banget ya, buat anak SMA?”
   “Anak SMA belinya novel teenlit yang menye-menye. Bukan kitab paham lain kayak kamu tadi, Ra”
Ara tertawa kecil. Lala benar. Pembicaraan mereka kadang tidak wajar.
    “Jadi… gak mau bahas beginian lagi?” tawar Ara dengan mata menggoda, “mau bahas cowok jadi mulai sekarang?”
    “Oke. Janji,ya gak bakal nyeret aku ke rak itu lagi?” Lala tergelak sendiri.
    “Iya, nanti kita cari cowok ganteng aja di sekolah”

Keduanya mengangguk seraya tertawa. Menertawai kebodohan masing-masing, dan janji yang mereka tahu tidak akan mereka tepati.

Setidaknya mereka masih saling memiliki.  



    Iya, kan Nis?

Tidak ada komentar: