Aku tidak suka hujan.
Hujan awal tahun ini menyebalkan sekali, kau tahu. Dia
seperti terus-terusan mengejekku ; Lihat
siapa yang kita gedor-gedor kepalanya! Dia bodoh sekali ternyata.
Aku tidak lagi menyukai hujan karena dia berisik. Aku tidak
bisa apa-apa selain bergelung dalam selimut yang kucipta sendiri. Dan didalam
sanalah aku menutup telinga, menolak untuk membuka pintu pada hujan.
Sedangkan kepalaku mati.
Beku.
Dingin.
Dan menjauhkan imaji.
Imaji membenciku karena hujan mengomporinya, kau tahu. Imaji
kalah dengan kenangan yang hujan tunjukan. Berkali-kali ia memunggungiku dan
tidak mau bicara. Ia tahu kenangan sudah berkuasa. Semua salah siapa? Tentu
saja karena hujan, sayang. Betapa ternyata diantara rinainya ia licik dan tidak
mau berhenti bicara. Merongrong agar jemari hanya menulis tentang kenangan
sampai aku tenggelam.
Hingga akhirnya, bukan lagi kepalaku yang mati.
Tapi juga imaji.
Lihat saja bagaimana aku meracau. Aku tidak menggunakan backspace karena aku tidak tahu apa yang
harus aku perbaiki dari tulisan tanpa imaji. Semua ini jatuh dari kepala
yang berdetum padahal kosong. Tidak ada
yang indah, tentu saja. Apa yang indah jika imaji mati?
Tidak ada.
Kamu mengerti apa maksudku,Fil?
1 komentar:
Aku dan hujan sudah seperti belahan jiwa, dia selalu datang membawa kenangan dan imaji yang terkadang malah terlampau liar ^^ Tapi ya, aku menyukai hujan apa adanya ia.
Posting Komentar