Aku tidak pernah lupa. Tentang kamu, ada waktu-waktu dahulu. Lagipula, apa yang bisa dilupakan ? Kamu tidak pernah berubah. Sama saja seperti terakhir kali kita bertemu. Oh, mungkin hanya hilangnya kebiasaanmu menulis tanda tanya yang diikuti koma ?
Aku tidak pernah lupa. Bagaimana caramu membuka percakapan hanya dengan mengirim pesan hanya dengan sebuang tanda titik, atau modus salah kirim.
Dan jangan paksa aku menuliskan bait lagumu. Apalagi menyanyikannya. Karena sungguh, aku masih hapal betul lagu itu. Aku juga ingat bagaimana kau pernah lupa lirik saat bernyanyi. Tidak tahu kenapa, saat itu aku hanya ingin menghambur pintu ruang band dan menertawaimu saja.
Ah. Aku pernah menulis essai tentangmu.
Apa aku ingin melupakannya setelah waktu-waktu menyeret kita jauh ?
Itu bukan pilihan. Aku tidak bisa memilih 'ingin'. Karena pada nyatanya, aku tidak bisa. Yang selama ini aku lakukan hanya 'pura-pura' lupa. Aku lipat semua tulisan bertemakan kamu, dan menyelipkannya di laci paling bawah. Aku hanya ingin tidak sering-sering membacanya.
Tulisanku memang tidak benar-benar berakhir dengan titik. Masih berkoma. Menggantung pada bagian yang hampa. Tapi aku sudah mati. Tokoh 'aku' dalam tulisan itu sudah mati. 'Aku' tidak lagi mengerjakan tugasnya pekerjaannya ; menyebut namamu ditiap paragraf. Kenapa ? Karena tidak ada lagi yang bisa diceritakan.
Waktu selalu menghapus aksaraku. Waktu tidak ingin aku mengada-ngada keberadaanmu. Waktu tidak mau aku gila dengan bicara sendiri dengan telpon genggam tiap hari Minggu.
Hei, waktu sudah bersikap baik padaku selama kamu tidak ada. Berterimakasihlah. Apalagi, sekarang ia sudah menyodorkanku kertas baru. Dia bilang, aku bisa kembali menulis sesuatu baru tanpa fatamorgana kamu. Yah, aku terima saja.
Aku mulai menulis lagi, kamu.
Aku sudah membuat buku. Tentang 'kamu' yang lain. 'Kamu' yang bukan bermakna kamu. 'Kamu' yang juga tidak akan membuatku lupa. Namun lagi-lagi, aku harus menyelipkannya di bawah laci.
Tapi cerita itu sudah selesai. Tamat. Dengan titik. Dengan tulisan 'SELESAI'. Jadi, tak perlu heran jika aku lebih mudah mengambil kertas baru (lagi). Waktu tidak khawatir denganku lagi karena aku sudah bisa jaga diri.
Kini, aku berani mulai lagi. Tidak dengan Si Waktu. Tidak dengan fatamorgana kamu. Atau menunggu telepon genggam berbunyi tiap Minggu.
Aku berani menulis. Mengeja k-a-m-u yang baru.
Kamu ingin ada didalam ceritaku lagi ? Tentu boleh saja.
Tapi, bukan kamu lagi temaku.
31 Jul 2013
14 Jul 2013
KEJUTAAN (?)
Oke. Mari kita buka post ini dengan mengheningkan cipta atas meninggalnya Cory Monteith a.k.a Finn Hudson. Jadi, tidak akan ada lagi Finn dengan setengah-senyum nan unyunya di Glee. Sekian.
Dan mari, kita bersama-sama menundukan kepala sejenak untuk mengenang masa liburan yang telah usai. Pfff yaampun liburan 3 minggu udah abis. Besok sekolah. Yaampun. Yaampun. *kalap sendiri*
![]() |
OYAAMPUN :'( |
Dan mari, kita bersama-sama menundukan kepala sejenak untuk mengenang masa liburan yang telah usai. Pfff yaampun liburan 3 minggu udah abis. Besok sekolah. Yaampun. Yaampun. *kalap sendiri*
Besok sudah harus berangkat ke sekolah tercintah lagi dan bertemu dengan kawan-kawan baru di IPA 9. Yeay. Dan fyi aja, dari 30 kepala di X3, saya sekelasnya cuma sama Kandi doang. Iya, Kandi. Kenapa harus Kandi. HAHAHAHA. Pertama kali dapet kabar itu, saya ketawa histeris. Ngebayangin setahun lagi bersama Kandi dan semua lagu-lagu Kandi. Mungkin lulus SMA, Kandi bisa ngeluarin album :')
Kabar lainnya adalah, CERPEN KALOBORASI SAYA DIBUKUIN AAKKKK \o/
![]() |
uhuk. |
Jadi gini, tanggal 1 Juli, setelah saya kepoin timelinenya @nulisbuku, saya mendapat kabar bahwa bakal ada #ProyekMenulis tentang Kejutan Sebelum Ramadhan. Terus, saya kasi tau ke Alexander Thian Nanda juga karena yakin ni anak pasti mau ikut. Dan kemudian kita justru berencana buat ikut yang kategori kaloborasinya bareng-bareng dengan modal........ "hayuk hayuk aja".
Kita baru mulai tanggal 2, dan hampir selalu ngerjain selepas isya aja. Asik ? Asik. Ini kaloborasi pertama saya dan baru merasakan brainstroming sampe jam 2 pagi sekaligus ngetik cerpen sambil ngumpet-ngumpet di balik bedcover biar gak ketahuan begadang sama ibu.
.....
Tanggal 13 pengumuman di FX Senayan. Saya kesana ? Ya enggaklah :| Saya cuma mantengin timelinenya @nulisbuku aja, ikutin live streamingnya. Lagi-lagi, gak pernah ngerasain setegang itu di mantengin TL doang. Pff hate that feeling.
Dan Tadd-da! Tidak ada nama saya dan Nanda di 17 finalis.
Atit ? Atit. Entah kenapa agak berharap banyak buat yang satu ini. Mungkin juga mau pembuktian buat ....diri sendiri ? Setelah kejadian ibu saya liat kolom cita-cita saya di buku PES kemarin, kemudian ketawa, "Mau jadi penulis ? Mana novelnya? Dari sekarang dong"
Pff. Jadi setelah 'agak' kecewa dengan pengumuman finalis, saya pindah haluan ke blog Nulisbuku, dimana nama-nama 200 karya yang lolos bakal diumumin. Ketika udah di post, saya kalap lagi. Makin ngescroll ke bawah, rasanya makin frustasi. Tapi kemudian..... TERNYATA PENANTIANKU TIDAK SIAHH SIAHH.
Ramadhan Kado Ramadhan. Judul cerpen saya dan Nanda ada di buku ke 18 (atau juga buku ketiga di Kaloborasi) bersama 200 karya karya lainnya (list lengkapnya disini) Pas baca nama sendiri rasanya........asaldasaef. Entah dari jaman kapan ngirim cerpen, dan baru dimuat sekarang. Gila lo.
Oke, jadi kalo --ada yang-- penasaran, beli aja bukunya yak !
Kirim email ke admin@nulisbuku.com pake subjek email 'Beli Buku Kejutan Sebelum Ramadhan'. Sertain nama, alamat lengkap, nomer hp, judul buku (ada 18 buku. Pilih aja mau yang mana :3), dan jumlah eksemplar.
Sampai tanggal 17 Juli, ada diskonnya loh :3 Sana beli ! wukwuwk
11 Jul 2013
[Cerpen] Aku Marah!
Aku ingin marah. Marah sekali. Aku ingin meledakkan kaca, atau menghantam tembok, atau memukul wajahnya !
"Ini bukan salahmu, Ren..", ujarnya sembari menyesuaikan langkahku dengan napas memburu.
Aku masih marah. Marah sekali. Hingga rasanya ada uap mengepul dari telingaku dan menyumbatnya. Aku tidak ingin memperlambat langkah. Aku ingin tetap menembus kerumunan walau harus menyikut tubuh-tubuh besar. Aku ingin pergi !
"Rena !", ia memekikku dari belakang. Ia tertinggal dan berusaha menggapaiku saat tubuhnya tenggelam dalam kerumunan, "Rena ! Rena berhenti !"
Aku marah. Aku sangat marah hingga rasanya membakar pipi. Aku sadar apinya merambat ke mata hingga melelehkan sesuatu disana. Tapi aku tidak peduli.
"Ini bukan salahmu, Ren..", ujarnya sembari menyesuaikan langkahku dengan napas memburu.
Aku masih marah. Marah sekali. Hingga rasanya ada uap mengepul dari telingaku dan menyumbatnya. Aku tidak ingin memperlambat langkah. Aku ingin tetap menembus kerumunan walau harus menyikut tubuh-tubuh besar. Aku ingin pergi !
"Rena !", ia memekikku dari belakang. Ia tertinggal dan berusaha menggapaiku saat tubuhnya tenggelam dalam kerumunan, "Rena ! Rena berhenti !"
Aku marah. Aku sangat marah hingga rasanya membakar pipi. Aku sadar apinya merambat ke mata hingga melelehkan sesuatu disana. Tapi aku tidak peduli.
***
"Kau benar ingin melakukannya ?", Tia memandangku dengan khawatir, "mungkin.. kau harus berpikir dua ka--"
"Aku sudah memikirkannya jutaan kali, Tia. Aku capek berpikir terus", jawabku defensif.
"Ya... kadang tidak semua perlu diungkapkan, Ren", ungkapnya lagi, "Tahu kan? Nanti jawabannya belum tentu seperti yang diharapkan".
Aku menghentikan pekerjaanku. Terhenyak. Iya juga, aku belum memikirkannya. Tapi...
"Ah, kalau gak pernah dicoba, juga gak bakal tahu jawabannya kan?". Aku tersenyum menghiburnya. Atau juga mungkin menghibur diri sendiri. Entahlah.
"Oke, semoga beruntung".
***
"Bodoh. Dasar bodoh !", aku meracau sendiri sepanjang jalan. "Tia sialan! Gilang sialan!" Umpatanku mungkin berbalapan dengan hentakan kaki. Tubuhku ramai sekali. Aku bisa merasakan pasang-pasang mata memandangku, kemudian berbisik-bisik hingga membuatku muak.
"APA ?!", pekikku pada seorang pria. Ia terkejut dan buru-buru memalingkan mukanya.
Aku masih terus berjalan dan tidak mau berhenti. Aku tidak punya tujuan. Hanya berbelok, berbelok, berbelok. Aku tidak peduli kemana. Yang jelas aku ingin jauh-jauh dari jembatan tadi. Yang jelas aku ingin jauh dari sosok tadi.
Pasti wajahku tampak mengerikan. Bajuku kusut. Rambutku berantakan dan helai-helainya menutupi pipiku yang lengket. Aku terlalu sibuk mengumpat hingga enggan menyibaknya. Aku biarkan rambut-rambut ini sebagai kacamata kuda.
Tapi justru minimnya pandanganku membuatku tersandung. Aku terjerembab di tanah yang terasa dingin di lututku. "Sialan ! Sialan !", aku menangis dalam umpatan. Aku mengepalkan jemari dan menghantamkannya ke tanah.
Aku benar-benar merasa kebas. Duniaku berputar dan langitku membiru. Aku tersungkur kesamping. Alih-alih bangkit, aku pilih tetap meringkuk, memeluk lututku yang dingin. Aku ingin memusuhi dunia. Aku masih merasa marah !
***
"Aku menyukaimu".
Hening.
"Dari dulu. Kau pasti tak menyadarinya, ya?"
Hening. Hening.
Aku merasa janggal sekarang. Ia masih membatu menatapku tanpa ekspresi. "Gilang? Umh.. Kau dengar aku, kan ?"
"Kau mengajakku bertemu untuk ini?", ia akhirnya bicara, tapi wajahnya masih datar dan tak terbaca.
"Umh.. ya.. Tapi tidak juga sih, tapi--"
"Tunggu", Gilang memotongku dan maju selangkah. Tatapannya berubah menjadi awas. "Apa temanmu itu belum mengatakannya padamu juga?"
"Ah ?A..apa?", aku tergagap.
"Kamu", ia menunjuk wajahku, "jangan dekati aku lagi"
Aku tercenung. Kemudian mulai meresapi kata-katanya yang ternyata menohokku tepat di dada. Sakit. Mati rasa, hanya rasa sakit. Jemariku bergetar dan seketika aku memandang semuanya dari balik kaca-kaca pecah. Aku lupa aksara, hanya ucapan sesuatu yang tercekat, tertahan amarah.
"Oke".
Aku mulai berlari dan benar-benar menjauhinya.Sejauh-jauhnya.
3 Jul 2013
[Cerpen] Duluan, Nai
Nai duduk menghampa. Berkali-kali ia susuri pandangannya
pada koridor , mencari sesuatu yang semakin ia yakini hanya palsu saja. Bahkan rasa gelisahnya sudah berganti jadi
lelah.
“Masih belum
selesai, Nai?”
“Belum. Kalau ada
keperluan, duluan saja”
Sosok itu berdiri, merapikan barang bawaannya dan berlalu
sambil membisik, “Duluan Nai”
Nai mengangguk kosong. Masih tidak mendengarkan dan memilih
buta.
Senja menjingga. Hari siap menarik diri dan menggelapkan
hati. Nai, entah kenapa masih ada rasa harap dalam dirinya. Padahal jelas-jelas
sudah tidak ada lagi yang patut dinanti. Ia masih duduk memandang kosong pada
koridor yang temaram.
Angin berhembus kaku. Seperti meledek, dan mengingatkan
betapa bodohnya Nai masih disitu. Bayang apapun tetaplah bayang yang tak akan
pernah menyata. Nai bukanlah gadis naïf, apalagi bodoh. Padahal ia sudah sadari
hal ini akan terjadi. Matanya panas, hatinya beku. Tubuh hampanya merubuh. Gravitasi malam
menariknya dan menguapkan harapnya bersama naik dengan sang Dewi.
Nai menangis.
Nai menangis.
Ia kutuki gelap. Ia
kutuki hati. Adalah tanda tanya kenapa lagi-lagi hati terlalu yakin dan
pura-pura tuli. Satu-satu mundur menjauhinya, menjadi gelap, kemudian hilang
dari pandang. Nai seperti tenggelam. Pada malam atau memang pada kesedihan yang
sendiri ia ciptakan. Ia menangis lagi.
Terus mengisi malam. Seakan akan ada yang dengar kemudian mengulur tangan.
Masa lalu masih menggerogotinya, hatinya, mimpinya, dan masa
esoknya. Semua kenangan yang ia caci diam-diam masih Nai gantung pada langit-langit
kamar. Ia ikat dengan harap sesuatu saat jarum jam akan berhent berlari dan
biarkan Nai bergerak mundur.
Nai ingin merobek alur waktu.
Kemudian muncul disaat lalu, ia urai semua dan muntahkan
segala tanya yang sedari dulu menohoknya. Akan Nai cari tangan yang hilang,
tangan yang dulunya digenggam. Akan ia tumpahkan tangisnya, ia bongkar semua
senyumnya sebelum sosok pergi jadi fatamorgana sekian kalinya.
***
“Masih belum selesai, Nai ?”
“Belum. Kalau ada keperluan, duluan saja”
Sosok itu berdiri, merapikan barang bawaannya dan
berlalu sambil membisik, “Duluan Nai”
***
Langganan:
Postingan (Atom)