12 Nov 2014

Like an open book

   "You read me like an open book"
   "Tidak"
   "Ya, kamu membacaku. Lalu bertingkah seperti mengoreksi ejaan, menerka, mencoret, lalu lupa"
   "Aku tidak mengoreksimu. Aku cuma memastikan. Mengoreksi dan memastikan jelas-jelas hal yang berbeda"
   "Tapi kamu membacaku!"
   "Kamu tidak suka?"
   "Tidak. Tidak. Oh yaampun. Sudahlah. Berhenti menerka mataku!"
   "Hahahaha, kamu lucu sekali. Ayolah, kamu sendiri yang tidak mau diam. Lihat, kamu membolak-balik buku sedari tadi tanpa membacanya"
   "Aku melihat gambarnya"
   "Bukan. Kamu terlalu khawatir. Kepalamu berantakan. Jadi tanganmu tidak mau diam dan mencari sesuatu untuk menyibukkan diri"
   "Shut up"
   "Then tell me. I know there's something wrong with you"
   "Buat apa aku memberitahumu?"
   "Tidak tahu. Mungkin....untuk membuatmu lebih lega dengan menceritakannya denganku?"
   "Whoa. Kau pikir kau siapa? Psikiater?"
   "No, I'm your friend. You can tell me anything"
   "Kau membaca mataku lagi barusan"
   "Hahahaha. Kau benar. Aku memang membacamu seperti membaca buku dengan halaman yang terbuka. Kenapa? Karena kamu sendirilah yang membuka halaman pertamanya. Bagaimana aku tidak ingin tahu?"
   "Apa maksudmu?"
   "Ayolah... aku tahu kau menyimpan banyak sekali rahasia di kepalamu, sampai kamu sendiri kelelahan. Kamu yang tidak mau berbagi dengan sok berani menyimpannya sendiri, tapi kemudian tertatih-tatih mencari ulur tangan untuk berpegang"
   "Aku tidak seperti itu"
   "Yes you are. Kamu terlalu takut memulai untuk bercerita, untuk terbuka pada orang lain. Jadi kau hanya berputar-putar dipusaranmu sendiri, menunggu sampai ada orang lain yang menyelamatkanmu dari tenggelam"
    "So you think I am a coward?"
    "Yes. Kamu takut untuk bercerita tentang masa lalumu yang entah apa itu. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin.. kau takut masa lalu akan mempengaruhi masa kini dan depanmu?"
    "It does"
    "Kalau begitu ceritakanlah. Berbagilah. Tidak ada yang perlu kau takuti lagi bukan?"
    "Aku buruk di verbal"
    "Klise"
    "Sungguh. Aku seperti meracau. Kau tidak akan mengerti"
    "Setidaknya aku mendengarkan"



Malam itu ia lupa daratan. Kepalanya tumpah ruah berhamburan.  Tidak ada sofa yang menahannya. Tidak ada rak buku yang menyekatnya. Kata-kata mengambang, namun tidak melegakan karena gravitasi kembali menarik mereka. Kata-kata jatuh luruh membebani bahunya, menyerap melalui pori kepalanya, lubang telinganya, lubang hidungnya, memenuhi matanya.

Ia sadar tidak pernah lagi dapat bernapas lega.

Dan sepasang mata dihadapannya tidak akan pernah tahu.

5 Okt 2014

Berhenti

Langit, berhentilah untuk tampak indah
Aku terlalu banyak mengadah
Hingga terlupa pijak mana yang nyata tanah

Langit, aku di lubang sialan ini lagi
Ulurkan tanganmu dan bantu aku berdiri!

Oh, tidak tidak.
Berikan pipimu dahulu agar aku bisa menamparmu!
Aku ingin melihatmu merah semu

Ayolah, Langit.
Aku tidak mau jatuh cinta lagi.



19 Jun 2014

[Cerpen] Tanda Tanya yang Mengalir

   “Kamu gila, Ra”, Lala menggelengkan kepalanya cepat.
   “Gila apa? Aku cuma bertanya!”
   “Sudah,sudah. Kita sudah ngawur bicaranya. Itu konyol, Ra,” Lala bangkit dari posisinya. Hendak pergi.
   “A-apa? Aku salah bicaranya apa memangnya?  Pertanyaanku konyol kenapa?” Ara menahan Lala, namun Lala menangkisnya dengan kasar. “Aku belum selesai, La!”
 “CUKUP, ARA!” pekikan Lala membungkamnya, “kamu baru saja mempertanyakan Tuhan! Apa itu tidak konyol?”

***

18 Jun 2014

Writing The Future

"Just think about the future
And think of your dreams
You'll get away from here
You'll get away eventually"

***
Ada  hal yang berbeda dari temen-temen di kelas X sama kelas XI. Banyak mungkin, tapi yang paling keliatan itu adalah perspekif pada saat itu. 

Mungkin pas kelas X, mata kita masih baru sama kehidupan SMA. Kita masih nyari kesenengan di SMA, seperti yang disebutin di buku-buku dan film jaman dulu (wth dengan sinetron jaman sekarang yang mengambil latar SMA. Mana ada srigala di sekolahku, Pak, Bu). 

Tapi ketika masuk kelas XI, awalnya berusaha cari wibawa ketika punya adek kelas. Tapi pada akhirnya kita tau itu gak perlu.

Persetan dengan orang-orang yang 'membuat' wibawa.

Wibawa gak bisa dibuat-buat dan gak akan muncul ketika justru kita berharap untuk punya satu. Bahwa ternyata harga wibawa juga sama mahalnya dengan jati diri. 

Ini dia. Jati diri.

Tapi kita berlomba-lomba cari jati diri tanpa kita sadari. Sama kayak cita-cita; jati diri juga seakan hal yang perlu sebelum tamat SMA. Lewat dari itu, terlambat. 

Itu juga salah satu alasan kenapa ada perubahan --yang lagi-lagi gak disadari-- sama orang-orang yang saya kenal. Ada beberapa yang berubah sikap, atau mungkin justru menunjukan sikap dia yang sebenarnya. Entahlah. Saya gak bisa tau. Tapi jika itu benar, artinya orang-orang itu sedang atau telah nemuin sesuatu yang mereka sebut 'jati diri'.

Padahal bisa aja mereka salah.

Balik lagi, tentang cita-cita. Kelas XI, yang seperti tatap-tapapan sama kelas XII dan UN, bikin cemas juga,ya. Kayaknya cita-cita itu tiket mau ke kelas XII. Pemikiran kayak; gimana mau fokus UN kalau nanti kuliahnya aja gak tau dimana, yang dilanjutkan dengan gimana kuliah yang bener kalau cita-cita aja gak tau apa.

Iya. Saya masih gak tau saya mau jadi apa, atau mau kuliah dimana, fakultas apa jurusan apa.

Dan ketika mau naik kelas ke kelas XII ini, saya kalap. 

Itulah kenapa, di kelas XI saya lebih banyak bahas soal masa depan sama temen-temen. Biasanya sama Fadli, Imad, Nandy, Nalla, Nisa, dan beberapa tambahan lain. Entah kita awalnya bahas apa, pasti larinya kesana. 
   "Jadi mau kuliah dimana?"
Topik pembuka.

Pembicaraan awal kita yang pertama --entah mulai kapan-- pada saat itu, jawabannya masih macem-macem dan dijawab dengan ragu-ragu, ditambah embel-embel "tapi gak tau juga sih..." dan semacamnya. 

Tapi makin lama, jawaban bener mulai muncul.
   "IPB ah, mau teknik pangan"
   "UI, heheheh"
   "UGM, doain ya"
dan lain-lain.

Bahkan suka kelewat kemana-mana. Kita jadi ngerangkai masa depan sendiri, asal-asalan, dan suka-suka kita.
   "Nanti kalau mau nabung di Priandi Bank,ya"
   "Iyaaa! Nanti kalau mau makan apa-apa tanya Nalla dulu!"
   "Nanti kalau mau naik pesawat sama Nandy!"
   "KALAU PUNYA ANAK NANTI MASUKIN TK AYAS YA"
......
iya itu saya. HAHAHAHA

Tapi jujur deh, saya mau jadi guru TK. Pokoknya mau nanti jadi dokter kek, penulis kek, atau astronotpun, saya harus sempet nyoba jadi guru TK. Gak tau kenapa tapi kayaknya asik banget. Hahahaha

   “Nih, nanti saya pake seragam kayak gini,” kata Fadli sambil nunjukin foto tentara.
   “Nah! Nanti kalau udah pada jadi orang sukses, kirim foto selfienya ya!”
   “Iya iya! Nanti, Nal! Kirimin Ayas foto pake rok ya! Awas aja, harus pake rok!”
   “Hahaha, Nanti kita juga foto pake jas putih deh!”

Lucu,ya? Apa foto selfie dengan seragam atau ruang kerja impian terlalu muluk?

Kayak sekedar daydreaming doang emang. Seakan kita cuma anak ingusan,  yang belum tau apa yang sedang terjadi di dunia yang 'sebenarnya', lalu semena-mena memilih mimpi.

Kita sedang menantang dunia saat bicara itu, tapi dunia masih menganggap kita seperti upil. Kecil.

Saya gak tau apa jadinya setelah keluar dari SMA. Apa saya sempet melihat temen-temen saya dengan 'jati diri' yang sesungguhnya atau mereka justru menemukannya setelah di luar sana? Apa temen-temen saya masih pegang cita-cita yang sama atau justru berubah?

Apa saya masih belum punya wibawa, jati diri, dan cita-cita juga?

   "Kalau kamu sukses, temen-temen kamu juga pasti ikut bangga tau," kata mereka. Kepada masing-masing, atau mungkin justru ke diri sendiri. 

But seriously, mereka bener-bener nyemangatin saya tanpa bilang hal-hal klise, atau siapa tau ternyata  mereka gak bermaksud untuk nyemangatin Ayas? Siapalah Ayas sampe perlu repot-repot mereka semangatin sampai begitunya.
....
Lucu kadang ngedenger mereka teriak-teriak kesenengan, bilang nanti dia bakal jadi ini, buat ini, ciptain ini. Mereka seperti meledak-ledak menciptakan masa depan sendiri, kemudian perciknya mengenai saya dan membuat saya ikut terbakar. 

One spark starts a fire.

Jadi…… saya bingung kenapa saya hubungin wibawa, jati diri dengan cita-cita,ya?

Uhuk. Biarlah. Sudah terketik.

Jadi, karena mereka telah menyemangati Ayas secara ‘tidak langsung’, Ayas juga, lewat post aneh dan ngawur ini mau bilang;

Thanks for the ‘fire’.

Terimakasih atas semangat dan membagi impiannya. Impian yang masih tampak konyol itu, akan terbukti suatu hari nanti. Lalu kita akan berkumpul lagi, menunjukan foto masing-masing sambil tertawa.

“Dulu kita pikir ini hanya bercanda”

10 Mei 2014

Memanggil

Langit,
Bisakah kau buka pintunya?
Aku lelah.

Langit,
Cepat raih aku di ambangmu
Aku jatuh.

Langit,
Jangan palingkan wajahmu
Kenapa kamu mengabu?

13 Apr 2014

[Cerpen] Terrible Things

This flash-fiction(? inspired from Terrible Things by Mayday Parade. Idk, i love this song. Go find it on youtube. And, yep. 'Damar' is still my fav name. Gak ada hubungannya dengan 'Damario' di MJB, btw.

***

Thank you,Dam. Lain kali kita jalan lagi ya!

Begitu pesan singkat dari Reena ketika aku baru saja tiba di rumah, memarkir motorku di garasi. Membacanya, membuatku tersenyum sendiri tanpa menyadari  ayah yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu.
   “Habis jalan?”, tanya ayah.
   “Ya, dengan Reena”, jawabku, “yang kemarin lalu aku perkenalkan dengan Ayah itu”

Ayah tidak berkomentar lagi. Tapi dari sudut mataku, aku tahu ia masih memperhatikan gerak-gerikku. “Ada apa?”

   “Dia baik?”,
   “Reena?”, aku menatapnya heran, tidak mengerti dengan arah pembicaraan ayah, “tentu saja. Tidak perlu cemas ayah. Ada apa sih?”, aku terkekeh.

Ayah mengulas senyum kecil. Ia mengambil posisi duduk di kursi teras, “ambilkan ayah gitar di dalam,Dam”
Aku segera melangkah ke dalam, meraih gitar ayah di sudut ruangan dan kembali. “Sini duduk dulu”, pinta ayah lagi seraya menepuk-nepuk sandaran kursi di sampingnya.

Aku menurut, kemudian duduk, dan mendengarkan petikan gitar ayah.

***

“Jadi, Dam…”, ayah berhenti memainkan gitarnya, kini ia menatapku lekat, “jarang sekali ayah seperti ini. Tapi, yah, kau mau dengar ayah bercerita?”
Aku tertawa mendengarnya, mengira ayah bergurau. Ia ikut tertawa kecil, tapi matanya menunjukkan ia bersungguh-sungguh, “Oke. Damar dengar. Tentang apa ini?”, tukasku akhirnya.
   “Tentang ibu”, ayah tersenyum. 

Tentu ini akan jadi cerita menarik.

9 Apr 2014

Yep.


“Maybe there's something you're afraid to say, or someone you're afraid to love, or somewhere you're afraid to go. It's gonna hurt. It's gonna hurt because it matters.”

-John Green

17 Mar 2014

Kisah

Ia pinta seseorang bacakan cerita. 

Padahal sesuatu di dalam menggerogotinya
Menariknya.
Mendorongnya. 

Karena kebisingan justru menenangkan.
Teriakan.
Seruan.
Panggilan.

Seperti pelampung yang selalu membawanya ke atas. 
Ke udara,
Ke biru,
Kesadaran.

Ia pinta seseorang bacakan cerita,
Ia harap seseorang menyelamatkannya. 



12 Mar 2014

[FF2in1] Let It Go

Tepuk tangan berhenti. Semua mata kini memandangku. Menunggu.

Tapi aku membeku. 

***

"Aku tidak bisa, Ren", tukasku sambil mondar mandir. Aku tidak bisa membuat kakiku diam. 
"Naya, kamu sudah pernah melakukannya. Ini pasti mu--"
"Tapi tidak di depan banyak orang seperti itu!", pekikku, menunjuk kerumunan orang di balik tirai.
Rendi terdiam sejenak. Menyadari kekacauanku. Ia meraih bahuku, menghadapkan wajahku padanya.
"Lihat aku. Kamu bisa Naya", katanya tegas, ia masih menatapku di mata, "Tersenyum. Bacakan. Munculkan"
"Tapi Ren....."
"Lakukan ini untukku. Bagaimana?"

***

Lampu sorot mengarah padaku. Aku harap cahayanya terlalu terang hingga membuat aku pingsan. Tapi ternyata tidak. Aku masih berdiri di tengah-tengah panggung, tidak berani menyentuh stand mic di hadapanku. Kasak-kusuk penonton semakin membuatku panik.

Aku baru saja hendak berlari masuk ke dalam lagi. Hilang dari orang-orang ini. Tapi tiba-tiba aku melihat sosok Rendi di kursi penonton. Jempolnya teracung keatas diantara kepala. 

Ia tersenyum.

Ya.
Aku tidak bisa mundur. Rendi benar. Aku bisa.

Aku mengambil langkah menuju stand mic. Kakiku bergetar hebat ketika aku melangkah. Pun tanganku ketika meraih kertas dari sakuku.

Tidak.
Aku tidak takut apapun. Aku tidak takut semua pandangan dingin orang-orang ini. Aku bisa membacakan puisi Rendi dihadapan mereka. 

Tersenyumlah, Naya. Baca dan rasakan puisinya. 

Let it go.

7 Mar 2014

Runtuh

Langit, aku mau mengatakan ini dengan cepat saja.

Tolong,Langit. 

Berhentilah jadi seperti gadis cengeng
Kau tahu, bukan kamu saja yang mau menangis. Ada banyak pasang mata yang setengah mati untuk menahannya. Alih-alih, kau suka tumpahkan air matamu begitu saja di ubun-ubun mereka. Seolah berkata, Lihat, aku tidak punya hal-hal yang perlu aku khawatirkan jika menangis seperti kalian.

Beberapa suka mengutukimu karena tidak tahan dengannya. Tembok yang mereka buat untuk menahan, runtuh ketika rinaimu datang.

23 Feb 2014

Mengundurkan Diri

Langit, maafkan aku karena aku sudah berbohong.

Entahlah. Kau tahu semua manusia punya batasannya sendiri. Iya iya. Aku tahu ; Keterbatasan ada untuk dilampaui.

Tapi tidak untuk yang satu ini.

Biarkan aku berhenti karena tidak selamanya kaki mampu berlari. Aku mau jatuh sekali-kali. Biar ingat kalau selama ini aku masih berada di tanah. Tidak pernah terbang atau berpindah kemana-mana.

Jadi, jangan marah jika aku sudah tidak lagi jadi bayangnya.

Aku mau jadi 'sosok' di mata yang lain juga.




28 Jan 2014

Kamu Suka Hujan?



Aku tidak suka hujan.

Hujan awal tahun ini menyebalkan sekali, kau tahu. Dia seperti terus-terusan mengejekku ; Lihat siapa yang kita gedor-gedor kepalanya! Dia bodoh sekali ternyata.

Aku tidak lagi menyukai hujan karena dia berisik. Aku tidak bisa apa-apa selain bergelung dalam selimut yang kucipta sendiri. Dan didalam sanalah aku menutup telinga, menolak untuk membuka pintu pada hujan.

Sedangkan kepalaku mati.

Beku.

Dingin.

Dan menjauhkan imaji.

Imaji membenciku karena hujan mengomporinya, kau tahu. Imaji kalah dengan kenangan yang hujan tunjukan. Berkali-kali ia memunggungiku dan tidak mau bicara. Ia tahu kenangan sudah berkuasa. Semua salah siapa? Tentu saja karena hujan, sayang. Betapa ternyata diantara rinainya ia licik dan tidak mau berhenti bicara. Merongrong agar jemari hanya menulis tentang kenangan sampai aku tenggelam.

Hingga akhirnya, bukan lagi kepalaku yang mati.

Tapi juga imaji.


Lihat saja bagaimana aku meracau. Aku tidak menggunakan backspace karena aku tidak tahu apa yang harus aku perbaiki dari tulisan tanpa imaji. Semua ini jatuh dari kepala yang  berdetum padahal kosong. Tidak ada yang indah, tentu saja. Apa yang indah jika imaji mati? 

Tidak ada.


Kamu mengerti apa maksudku,Fil?

18 Jan 2014

[Cerpen] Cantik di Mata-Nya

You only see what I choose you to see. Is that not a freedom?
***

   “Kenapa kamu tidak mau menatapku?”

Damar tidak menyahut. Ia terlalu sibuk memandangi hujan dari kaca kafe tempat biasa mereka bertemu. Entah ada apa disana. Padahal jalan itu lengang dan mulai temaram karena mendung.

Nina menghela napas. Kehabisan akal untuk memancing Damar. Jangankan bicara padanya, menoleh saja ia enggan. “Jika kita tidak hendak bicara, yasudah pulang saja”, ketus Nina.

Damar berhenti memandangi hujan. Ia menghela napas berat dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Frustasi.

   “Ayolah, Damar. Aku cuma berhijab. Apa itu salah?”, pekik Nina akhirnya. Ia tidak tahan lagi.
   “Kenapa kamu tidak bertanya padaku dulu, Na?”, protes Damar meledak. Namun wajahnya tetap terpaku pada secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi.  “Kenapa kamu tidak meminta pendapatku sebelum memakai itu?”

Nina mengerjap. Kepalanya berdetum-detum karena baru saja mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Ia pandang lekat-lekat pemuda dihadapannya yang terus menerus berusaha  membuang muka.
   “Apa yang salah, Damar?”, tanya Nina hati-hati. Ia yakin suaranya bergetar karena pun kakinya.
   “Apa yang salah? Kenapa kamu masih bertanya? Tentu saja, Nina!”, Damar  mengadah dan mendelik“Kamu memakai itu tanpa persetujuanku!”

Nina hampir menangis sekarang. Sesuatu mendesak keluar dari sudut matanya karena pipinya mulai terbakar. Respon Damar di luar bayangannya. Semua rencananya hancur hari ini, sama seperti hatinya.

   “Aku tidak ingin kamu memakai itu,Na”, tukas Damar dan kembali memandang hujan. “Aku tidak suka. Kamu terlalu berbeda”
   “Bukankah ini perbedaan yang baik, Dam?”, pungkas Nina memberanikan diri. Tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menahan kejutan emosi yang melimbungkan kepalanya.
   “TAPI KAMU BERBEDA, NA!”, Damarlah yang kehilangan kontrol. Ia menggebrak meja dan napasnya memburu. Matanya kini menatap lurus-lurus pada Nina. Nina yang ia sebut sudah tak lagi sama karena kain yang menutupi rambutnya. 

Nina terlonjak dari kursinya sendiri dan air mata yang mati-matian ia tahan akhirnya hempas juga,
   “Apakah yang katamu berbeda adalah aku yang tidak cantik lagi karena kain ini,Dam?”, tanya Nina melirih. Suaranya tercekik, tapi ia terus melanjutkan, “Tapi aku ingin cantik juga di mata Tuhanku, Dam. Bukan di matamu saja”

Damar menghempaskan tubuhnya, kembali bersandar pada kursi walau napasnya masih terhela berat. Ia memijit dahinya sendiri dan kembali enggan menatap Nina, 
   “Setidaknya kau bisa bertanya padaku sebelum memakai itu. Tidak seperti ini. Mengajakku ke kafe dengan pakaian yang…… yang membuatmu berbeda itu”
   “Apa jika aku ingin dekat dengan Tuhanku aku perlu meminta persetujuan makhluk-Nya, Dam?”.

Itu pertanyaan retoris. Damar tahu itu. “Tapi, Na…”

   “Aku berbeda, tentu saja,Damar. Aku berubah. Tapi  baik aku dan kamupun tahu ini perubahan yang baik. Aku ingin cantik di mata Tuhan kita. Tidakkah kau ingin pula?”

Nina menarik napasnya dalam-dalam, kemudian ikut memandang keluar. Menyadari hujan reda, ia dorong kursinya, dan bangkit untuk pergi. Meninggalkan Damar dengan secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi.

"Kau tahu Damar, jika memang begitu, katakan saja sendiri pada Tuhan kita jika kau tak suka aku melaksanakan perintahNya.  Carilah sendiri wanita yang cantik di matamu. Aku hanya ingin cantik di mata Tuhanku dulu"


Keputusan Nina bulat. Nina berubah.