16 Des 2012

Barangkali

Kadang kamu perlu berkaca sebentar
Meninjunya dengan kenangan hingga pecah
Retak dan remuk
Lalu hambur di tanah

Kamudian terobos pintu pintu
Peluk derai hujan sesukamu
Masa bodoh dengan luka
Kini ia sudah jadi sejarah

Tetaplah dalam hujan
Biar ia basahi wajah
Kemudian mendinginkan hati
Rentangkan tanganmu untuk menanti orang baru
Sebentar lagi datang,
barangkali...

1 Des 2012

[Cerpen] Hujan Itu Indah, Benarkah?


You say you love rain. But you open your umbrella
You say you love the sun. But you find a shadow spot
You say you love the wind. But you close your window
That is why I'm afraid...
You said you love me too
-William Shakespear

“Reo..”, bisik Kina lirih. Makin ia rapatkan jaket yang membungkusnya ketika angin malam makin beku karena hujan. Entah sudah berapa lama berada di bawah gardu. Semenjak hujan bisa didengar nyanyiannya, hingga yang terdengar hanya gemuruh langit saja.
      “Kenapa, ?”
      “Ayo pulang…”, pinta Kina,  “Sudah makin larut…”

Reo diam . Ia sendiri juga ingin segera pulang. Telinganya tidak betah mendengar amarah hujan.  Tapi jika dipaksakan pulang sekarang, hujan sebesar ini berbahaya jika harus diterobos dengan sepeda motor.

      “Nanti. Kalau hujannya sudah agak reda,”
      “Kapan? Dari tadi hujannya gak makin reda, Re.. tapi malah tambah deras !”, pekik Kina, berusaha mengalahkan suara hujan. “Ayo pulang, Reo… Gak apa-apa kok, kalau harus hujan-hujan daripada di—“
      “Kina bisa diem gak?”, sergah Reo cepat. Muak mendengar keluahan Kina.
      “Ya makanya ayo pulang,Re ! Emang kamu mau sampai kapan disini ?”, Kina masih belum mau kalah. Ia bangkit dan menarik lengan jaket Reo, memaksanya.“Ayo pulang, Reo..”.
      “Diem lah !”, ia tepis tangan Kina dengan kasar. “Kalau kamu mau pulang duluan, ya sana ! Nih kuncinya ! Pulang aja sana sendiri !” Reo meregoh sakunya dan melempar kunci motor ke kaki Kina yang mematung.

Kina tertegun, kemudian memungut kuncinya, melemparkannya balik kepada Reo dan kembali duduk. Bungkam. Perlakuan Reo tadi cukup membuatnya kaget. Tidak menyangka kalau Reo akan semarah itu. Kina tidak pula berani untuk menoleh pada Reo lagi.

      “Dingin. Reo.. “, katanya bergetar. Jaket yang ia pakai sudah ikut basah sekarang.Petir menyambar, menciptakan kilat putih, disusul dengan gemuruh. Ada jeda yang panjang setelah itu. 

Hingga Reo bangkit, “Tuker tempat”, tukas Reo cepat , “Kamu jangan dipinggir duduknya”.

Kina mengadah, menatap wajah Reo yang tidak sekeras tadi, tapi tetap saja masih dingin. Maka tanpa banyak bicara, Kinapun bangkit dan bertukar  tempat duduk.  Memang, sekarang hujan angin tidak lagi membasahi karena posisinya di pojok gardu.
      “Kabarin aja si Raka, suruh jemput kamu. Dia bawa mobil,kan ?”, tanya Reo tanpa menoleh.      
      “Nanti motor kamu gimana ?”
      “Ya kamu aja yang di jemput. Gue pulangnya kalau hujan reda”, tukas Reo santai. Ia mengulurkan tangan, menyentuh tetesan hujan dari atap gardu. “Dan oh ya..nanti jelasin ke pacar kamu. Jangan sampe dia mikir yang macem-macem. Males gue ladeninnya”.

Kina diam. Entah ingin menjawab apa. Tapi rasanya tidak adil jika Kina pulang terlebih dahulu dan meninggalkan Reo sendiri.  
      “Nanti Reo sendirian, ?”, tanya Kina. Tidak bisa menutupi khawatirnya. “Masa Kina tinggalin Reo sendiri ?”    
      “Terus kamu maunya gimana ?  Reo yang tinggalin Kina, gitu ?”. Reo mengangkat alisnya sambil tersenyum mengejek pada Kina. Heran.

Sekali lagi Kina kehabisan kata. Kina tidak mau ditinggal, tapi juga tidak mau meninggalkan. Reo sudah berbaik hati mengantarnya pulang hingga terjebak hujan. Andai saja tadi Kina tidak berlama-lama di toko buku…

      “Udah sana, kabarin si Raka..”, tukas Reo. “Emang dari tadi dia gak nyariin kamu apa ?”.

Kina tertegun sejenak. Baru sadar akan kata Reo. Benar, Rama memang belum mengabarinya apa-apa sejak semalam. Raka kemana, ya ?

      “Nanti aja kabarin Rakanya.. Barangkali sebentar lagi reda..”, jawab Kina sembari tersenyum. Entah tersenyum untuk siapa sebenarnya. Untuk Reo kah, atau demi menghibur dirinya sendiri.
     “Lah, tadi kamu ribut mulu minta pulang !”, Reo menoleh pada Kina. Semakin bingung dengan sikapnya. Dasar cewek. Labil semua.
      “Emang kenapa ? Reo gak suka Kina disini ?”, Kina balas menantapnya. Polos. Ada sedikit rasa khawatir diwajah Kina, berpikir bahwa mungkin Reo memang ingin Kina segera pergi karena segala sikap kekanak-kanakannya tadi.

Ada jeda yang kosong.  Membiarkan suara hujan yang hingar bingar diantara keduanya. Reo sendiri  bingung hendak menjawab apa. Dia ingin Kina segera pulang sebelum hari makin larut. Pulang bersama Raka.

Tapi.. benarkah ?

      “Umh..”, Reo memalingkan muka, “Terserah Kina ajalah”.

Kina tersenyum kecil, kemudian ikut terdiam. Menikmati hujan bersama Reo. Hanya saja dalam dunia yang berbeda…

***

      “Reo, Raka telpon…”, ujar Kina. Entah kenapa ada nada resah disana.
     “Yaudah angkat. Emang mau Kina apain ?”, Reo menatapanya sambil alis terangkat. Ia terkekeh geli melihat tingkah Kina. 
Kina tidak langsung menjawabnya. Hanya menatap kosong pada layar telpon genggam. Hingga akhirnya ia accept juga setelah Reo berteriak, membuyar lamunannya.
      “Halo, Raka ? Belum.. Aku belum pulang..”

Reo berusaha membuat atmosfernya hampa udara. Ia ingin percakapan Kina dengan Raka menjadi  kosong di telinganya. Tapi bagaimanapun ia berusaha untuk tidak peduli, Reo bisa mengetahui bahwa Raka sedang dalam perjalanan kemari. Menjemput Kina.

      “Reo, pulang bareng aja yuk…”, ajak Kina setelah mengakhiri telpon.
      “Gak usah. Kamu duluan aja sama si Raka”, jawabnya cepat tanpa sekedar menoleh pada Kina.
      “Bener ? Memangnya gak apa-apa kalo Reo sendirian disini ?”

Reo mengulum senyum. Geli mendengar pertanyaan konyol Kina. Ia mengulurkan tangan mencoba menyentuh hujan. Kemudian menjawab dengan tenang,“Gue gak sendirian kok”.

Kini Kina yang menatapnya heran. Gak sendirian ? Emangnya Reo sama siapa lagi.....

      “Udah. Gak usah khawatir gitu kali, Na..”. Jemari Reo masih saja bermain dengan rintik hujan. Membiarkannya merembes hingga membasahi siku.  “Kina gak lupa kalau gue cowok,kan ?”.

Reo terkekeh sendiri. Rahangnya mengendur lagi. Seakan dinginnya air hujan malah justru mencairkan bongkah es Reo. Kina sendiri ikut lega, merengangkan tubuhnya. Sesekali menengok ka arah jalan, memastikan kedatangan Raka.

Kina sendiri bingung. Ia memang ingin segera pulang. Bersama Raka.

 Tapi.. benarkah ?


***

Tak lama, Raka tiba. Ia turun dari mobil hitamnya sambil membawa payung. Berlari kecil ke gardu menghampiri Kina.

      “Yaampun Kina.. Dari kapan kamu di luar ?”, Raka mencoba mencari mata Kina. Menyeka poni Kina yang basah di dahi.
     “Gak begitu lama kok, Ka..”
     “Kenapa gak ngomong dari tadi aja sih, kalau mau dijemput ? Mana aku tahu kalau kamu lagi diluar..”. Raka tidak bisa menyembunyikan khawatirnya.
     “Tenang aja, Ka..”, kekeh Kina, “Kamu gak lupa kan, kalau cewek kamu jagoan ?”. Tukas Kina,mengutip gaya Rea yang sedang menoleh ke arah lain. Masih dengan tangan dibasahi hujan.
     “Yaudah ayo pulang..”, tukan Raka seraya menyiapkan payungnya. Baru saja hendak menarik Kina, ia menangkap sosok Reo.

Ada rasa berkecamuk dihati Raka. Semenjak percakapan dengan Kina ditelpon. Kina bersama Reo. Kina bersama Reo. Rasanya kalimat itu berdengung dikepalanya. Meledek. Membuat Raka tak kuasa untuk tidak memacu mobilnya cepat walau dalam hujan.
      “Reo”, panggilnya
      “Hmm..”, Reo bergumam. Masih saja tidak menoleh pada Raka. Air hujan seperti lebih menarik baginya.
       “Cepet pulang”, tukasnya cepat, “ Tuh urusin cewek lo. Berisik banget si Dhea, nanyain lo mulu. Hape lo gak aktif ? ”

Reo diam saja. Malas menanggapi. Benar-benar ia menolak semua ucapan Raka menembus atmosfernya.

      “Besok-besok, urusin dulu pacar sendiri. Baru punya orang”. Tukas Raka lagi. Belum puas menyudut Rea.

Kina sendiri diam seribu bahasa. Bingung hendak berkata apa. Mulutnya terkunci sendiri. Akhirnya, Kina menarik sendiri lengan Raka, mengajaknya supaya cepat beranjak dari gardu. Rakapun akhirnya bergerak juga.

Namun, sebelum ia masuk kedalam mobil, ia tangkap mata Reo.
      “Cepet pulang, Reo. Mama di rumah sendirian”, ujarnya, “Gue gak ada dirumah malem ini”.
      “Kemana ? Ke rumah Dian ? Ato Sabrin ?”. Reo kini berganti menatapnya remeh. Ia balas menatap Raka. Kemudian menyeringai setelah Raka cepat masuk ke mobil dan membanting pintu dengan keras. Mobil itupun melaju. Jauh. Menembus hujan dan hilang. “Hati-hati, Kina..”

21 Okt 2012

[Cerpen] Pasang Mata #CerpenMiniWithYou

“Aku boleh jujur ?”

“Jujur apa?”, kamu balik bertanya tanpa menoleh. Kakimu mengayun saat duduk di pinggir tebing, manatap kanvas langit dan matahari yang sedang melipat diri. Angin sore yang nakal kadang menerpa wajahmu,seakan mengejek karena dia bisa menyentuh wajahmu lebih dulu.

“Hei.. ditanyain kok malah diem. Mau ngomong apa,Ta?”, tukasmu lagi,menatap mataku.

Aku membuka mulut tapi tidak ada suara. Semuanya buyar saat pasang mata itu kembali menusukku. Semua bungkam saat pasang mata itu menunggu jawabanku. Tiga kata itu membeku. Sekali lagi mati suri di mulut sendiri.

Pasang mata itu..




Dedicate to   and  , #CerpenMiniWithYou

6 Okt 2012

[Cerpen] Ternyata Sudah Cukup

" Dan bila kau harus pergi..
Jauh dan takkan kembali..
Ku akan merelakanmu bila kau bahagia
Selamanya di sana walau tanpaku..
Ku akan mengerti cinta dengan semua yang terjadi.
Pastikan saja langkahmu tetap berarti "

"Jadi... Besok sudah fix nih, kamu berangkat ?", tanya Rita lagi. Ayunan kayunya berderit seiring angin sore yang bertiup. Entah sudah jam berapa sekarang, langit sudah jingga, tapi matahari masih saja mengintip diujung sana. 
   "Iya.. Kalau packing udah siap, nanti shubuh juga paling udah berangkat ". 
Rita terdiam lagi. Kehabisan kata untuk menghabiskan sore dengan temannya yang satu ini. Dari pagi, sudah mereka belah bukit dan pohon-pohon pinus. Merebahkan diri di rumput, menertawai waktu, dan saling menghambur senyum. 

Sudahlah cukup. Tanah sudah tidak berbau hujan, mimpi sudah terlihat diujung jalan. Empat tahun lebih sudah dianggap cukup bagi mereka. Dhani sudah berhasil menjadi anak panah. Dan dalam beberapa jam lagi, ia sudah siap diluncurkan dan menancap pada salah satu mimpinya,belajar di negeri tetangga. Rita sendiri sudah diterima PTN di luar kota yang diinginkan. Ujian-ujian lalu sudah terbayar sudah. Keduanya sudah mencabut satu-satu plang nama mimpi mereka. 

   "Kamu udah siap nih, ceritanya?", goda Rita sambil menyikut tali ayunan Dhani hingga ia bergoyang lemah.
   "Hahaha, kabalik tuh pertanyaannya.. Yang mau ditinggalin, udah siap belum ?". Dhani terkekeh, balik mendorong ayunan Rita hingga ia mengayun. Rita hanya tersenyum kaku. Entah mengapa. Kakinya bergoyang lemas, lepas dari cengkram gravitasi saat ayunan melambungnya. 

Mata bulatnya menatap jingga seakan ada jawaban atas pertanyaan Dhani. Benar sudah siapkah ia ? Sahabat lamanya akan hilang dan tidak bisa bertemu dengannya setiap hari seperti dulu. Tidak ada lagi yang akan menemaninya untuk menghitung bintang. Tidak ada lagi yang menemaninya menembus hutan-hutan pinus.. Rita akan sendirian di ayunan pohon....
Bisakah aku tanpamu sanggupkah aku tanpamu ?
Ada bagian yang remuk. Ada bagian yang runtuh dirasakan Rita. Entah bagian yang mana...

   "Jangan galau gitu dong, Ta ! Santai ajah .. ", tukas Dhani setelah menyadari kekosongan senyum Rita, "kamu kayak tinggal di jaman batu aja. Sekarang akses internet mah gampang.. Skype-an bisa kali.. hehehe". Lengan Dhani menangkap tali ayunan Rita agar berhenti bergoyang. Wajah tenangnya, seakan sama dengan angin sore. 


Sehangat pelukan hujan, saat kau lambaikan tangan
Tenang wajahmu berbisik
Inilah waktu yang tepat tuk berpisah..


Rita masih saja diam, hanya tersenyum simpul. Sedang berusaha manata ulang bangunan yang runtuh barusan. Entah bagian yang mana...
   "Ngapain galau-in elu ! Hahaha, sibuk nanti gue disini ! Anak kuliahan~ ", canda Rita. Tawanya mengembang lagi. 
   "Alaaah.. pasti nanti Rita tuh kangen sama akuu...", Dhani mengulurkan lengannya. Memeluk Rita sambil mengacak-acak rambutnya seperti anak kecil. 

Perlakuan spontan itu membuat Rita terenyuh sejenak. Rasanya seperti mereka baru berkenalan beberapa hari lalu, dan sekarang sudah hendak berpisah saja. Rasanya seperti....Empat tahun lebih belumlah cukup...


Selembut belaian badai saat kau palingkan arah
Jejak langkahmu terbaca
Inilah waktu yang tepat tuk berpisah


Setelah Dhani melepas rengkuhannya, Rita menatapnya dalam diam lagi. Lurus lurus ditatapnya sepasang mata Dhani. Salah satu bagian Dhani yang tidak pernah berubah dari mereka kecil. Sesorot rasa ramah, dan semangat-semangat yang sama. Sesorot mata, yang selalu dikaguminya...


   "Rita.. maaf ya..". Tukas Dhani lirih. 
   "Maaf untuk apa ?"
   "Maaf Dhani harus pergi...".


Ada hening yang panjang lagi. Empat tahun lebih memang ternyata sudahlah cukup. Untuk mengetahui satu sama lain. Melewati labirin dan membongkar hati masing-masing. Tidak perlu diutarakan lagi. Rita dan Dhani. Keduanya dapat menerka apa yang terjadi.

Empat tahun lebih sudahlah terlambat. Mimpi-mimpi lama sudah dijembatani dan tidak ada jalan untuk menoleh kembali. Pemeran sudah membungkuk hormat, tirai sudah ditutup rapat. Tanah, sudah tidak berbau hujan lagi.... 


Ku akan pahami cinta
Dengan apa yang terjadi 
Pastikan saja mimpimu tetap berarti


   " Tidak masalah, Dhani.. Kamu mau pergi kemanapun bukan jadi masalah..Jangan pulang, kalau belum kamu bawa pulang satu bintang. Harus ada cerita yang kamu ceritakan padaku nanti. Entah kapan, aku tidak peduli. Tetap berlari ya... Mimpi tidak datang sendiri..."

Saat kau temukan duniamu
Aku tak pernah menunggu kau tuk kembali
Saat bahagia mahkotamu, bila kedamaian slimutmu
Jangan kau kembali...



Waktu Yang Tepat Tuk Berpisah - Sheila on 7