19 Jun 2014

[Cerpen] Tanda Tanya yang Mengalir

   “Kamu gila, Ra”, Lala menggelengkan kepalanya cepat.
   “Gila apa? Aku cuma bertanya!”
   “Sudah,sudah. Kita sudah ngawur bicaranya. Itu konyol, Ra,” Lala bangkit dari posisinya. Hendak pergi.
   “A-apa? Aku salah bicaranya apa memangnya?  Pertanyaanku konyol kenapa?” Ara menahan Lala, namun Lala menangkisnya dengan kasar. “Aku belum selesai, La!”
 “CUKUP, ARA!” pekikan Lala membungkamnya, “kamu baru saja mempertanyakan Tuhan! Apa itu tidak konyol?”

***

18 Jun 2014

Writing The Future

"Just think about the future
And think of your dreams
You'll get away from here
You'll get away eventually"

***
Ada  hal yang berbeda dari temen-temen di kelas X sama kelas XI. Banyak mungkin, tapi yang paling keliatan itu adalah perspekif pada saat itu. 

Mungkin pas kelas X, mata kita masih baru sama kehidupan SMA. Kita masih nyari kesenengan di SMA, seperti yang disebutin di buku-buku dan film jaman dulu (wth dengan sinetron jaman sekarang yang mengambil latar SMA. Mana ada srigala di sekolahku, Pak, Bu). 

Tapi ketika masuk kelas XI, awalnya berusaha cari wibawa ketika punya adek kelas. Tapi pada akhirnya kita tau itu gak perlu.

Persetan dengan orang-orang yang 'membuat' wibawa.

Wibawa gak bisa dibuat-buat dan gak akan muncul ketika justru kita berharap untuk punya satu. Bahwa ternyata harga wibawa juga sama mahalnya dengan jati diri. 

Ini dia. Jati diri.

Tapi kita berlomba-lomba cari jati diri tanpa kita sadari. Sama kayak cita-cita; jati diri juga seakan hal yang perlu sebelum tamat SMA. Lewat dari itu, terlambat. 

Itu juga salah satu alasan kenapa ada perubahan --yang lagi-lagi gak disadari-- sama orang-orang yang saya kenal. Ada beberapa yang berubah sikap, atau mungkin justru menunjukan sikap dia yang sebenarnya. Entahlah. Saya gak bisa tau. Tapi jika itu benar, artinya orang-orang itu sedang atau telah nemuin sesuatu yang mereka sebut 'jati diri'.

Padahal bisa aja mereka salah.

Balik lagi, tentang cita-cita. Kelas XI, yang seperti tatap-tapapan sama kelas XII dan UN, bikin cemas juga,ya. Kayaknya cita-cita itu tiket mau ke kelas XII. Pemikiran kayak; gimana mau fokus UN kalau nanti kuliahnya aja gak tau dimana, yang dilanjutkan dengan gimana kuliah yang bener kalau cita-cita aja gak tau apa.

Iya. Saya masih gak tau saya mau jadi apa, atau mau kuliah dimana, fakultas apa jurusan apa.

Dan ketika mau naik kelas ke kelas XII ini, saya kalap. 

Itulah kenapa, di kelas XI saya lebih banyak bahas soal masa depan sama temen-temen. Biasanya sama Fadli, Imad, Nandy, Nalla, Nisa, dan beberapa tambahan lain. Entah kita awalnya bahas apa, pasti larinya kesana. 
   "Jadi mau kuliah dimana?"
Topik pembuka.

Pembicaraan awal kita yang pertama --entah mulai kapan-- pada saat itu, jawabannya masih macem-macem dan dijawab dengan ragu-ragu, ditambah embel-embel "tapi gak tau juga sih..." dan semacamnya. 

Tapi makin lama, jawaban bener mulai muncul.
   "IPB ah, mau teknik pangan"
   "UI, heheheh"
   "UGM, doain ya"
dan lain-lain.

Bahkan suka kelewat kemana-mana. Kita jadi ngerangkai masa depan sendiri, asal-asalan, dan suka-suka kita.
   "Nanti kalau mau nabung di Priandi Bank,ya"
   "Iyaaa! Nanti kalau mau makan apa-apa tanya Nalla dulu!"
   "Nanti kalau mau naik pesawat sama Nandy!"
   "KALAU PUNYA ANAK NANTI MASUKIN TK AYAS YA"
......
iya itu saya. HAHAHAHA

Tapi jujur deh, saya mau jadi guru TK. Pokoknya mau nanti jadi dokter kek, penulis kek, atau astronotpun, saya harus sempet nyoba jadi guru TK. Gak tau kenapa tapi kayaknya asik banget. Hahahaha

   “Nih, nanti saya pake seragam kayak gini,” kata Fadli sambil nunjukin foto tentara.
   “Nah! Nanti kalau udah pada jadi orang sukses, kirim foto selfienya ya!”
   “Iya iya! Nanti, Nal! Kirimin Ayas foto pake rok ya! Awas aja, harus pake rok!”
   “Hahaha, Nanti kita juga foto pake jas putih deh!”

Lucu,ya? Apa foto selfie dengan seragam atau ruang kerja impian terlalu muluk?

Kayak sekedar daydreaming doang emang. Seakan kita cuma anak ingusan,  yang belum tau apa yang sedang terjadi di dunia yang 'sebenarnya', lalu semena-mena memilih mimpi.

Kita sedang menantang dunia saat bicara itu, tapi dunia masih menganggap kita seperti upil. Kecil.

Saya gak tau apa jadinya setelah keluar dari SMA. Apa saya sempet melihat temen-temen saya dengan 'jati diri' yang sesungguhnya atau mereka justru menemukannya setelah di luar sana? Apa temen-temen saya masih pegang cita-cita yang sama atau justru berubah?

Apa saya masih belum punya wibawa, jati diri, dan cita-cita juga?

   "Kalau kamu sukses, temen-temen kamu juga pasti ikut bangga tau," kata mereka. Kepada masing-masing, atau mungkin justru ke diri sendiri. 

But seriously, mereka bener-bener nyemangatin saya tanpa bilang hal-hal klise, atau siapa tau ternyata  mereka gak bermaksud untuk nyemangatin Ayas? Siapalah Ayas sampe perlu repot-repot mereka semangatin sampai begitunya.
....
Lucu kadang ngedenger mereka teriak-teriak kesenengan, bilang nanti dia bakal jadi ini, buat ini, ciptain ini. Mereka seperti meledak-ledak menciptakan masa depan sendiri, kemudian perciknya mengenai saya dan membuat saya ikut terbakar. 

One spark starts a fire.

Jadi…… saya bingung kenapa saya hubungin wibawa, jati diri dengan cita-cita,ya?

Uhuk. Biarlah. Sudah terketik.

Jadi, karena mereka telah menyemangati Ayas secara ‘tidak langsung’, Ayas juga, lewat post aneh dan ngawur ini mau bilang;

Thanks for the ‘fire’.

Terimakasih atas semangat dan membagi impiannya. Impian yang masih tampak konyol itu, akan terbukti suatu hari nanti. Lalu kita akan berkumpul lagi, menunjukan foto masing-masing sambil tertawa.

“Dulu kita pikir ini hanya bercanda”