28 Jan 2014

Kamu Suka Hujan?



Aku tidak suka hujan.

Hujan awal tahun ini menyebalkan sekali, kau tahu. Dia seperti terus-terusan mengejekku ; Lihat siapa yang kita gedor-gedor kepalanya! Dia bodoh sekali ternyata.

Aku tidak lagi menyukai hujan karena dia berisik. Aku tidak bisa apa-apa selain bergelung dalam selimut yang kucipta sendiri. Dan didalam sanalah aku menutup telinga, menolak untuk membuka pintu pada hujan.

Sedangkan kepalaku mati.

Beku.

Dingin.

Dan menjauhkan imaji.

Imaji membenciku karena hujan mengomporinya, kau tahu. Imaji kalah dengan kenangan yang hujan tunjukan. Berkali-kali ia memunggungiku dan tidak mau bicara. Ia tahu kenangan sudah berkuasa. Semua salah siapa? Tentu saja karena hujan, sayang. Betapa ternyata diantara rinainya ia licik dan tidak mau berhenti bicara. Merongrong agar jemari hanya menulis tentang kenangan sampai aku tenggelam.

Hingga akhirnya, bukan lagi kepalaku yang mati.

Tapi juga imaji.


Lihat saja bagaimana aku meracau. Aku tidak menggunakan backspace karena aku tidak tahu apa yang harus aku perbaiki dari tulisan tanpa imaji. Semua ini jatuh dari kepala yang  berdetum padahal kosong. Tidak ada yang indah, tentu saja. Apa yang indah jika imaji mati? 

Tidak ada.


Kamu mengerti apa maksudku,Fil?

18 Jan 2014

[Cerpen] Cantik di Mata-Nya

You only see what I choose you to see. Is that not a freedom?
***

   “Kenapa kamu tidak mau menatapku?”

Damar tidak menyahut. Ia terlalu sibuk memandangi hujan dari kaca kafe tempat biasa mereka bertemu. Entah ada apa disana. Padahal jalan itu lengang dan mulai temaram karena mendung.

Nina menghela napas. Kehabisan akal untuk memancing Damar. Jangankan bicara padanya, menoleh saja ia enggan. “Jika kita tidak hendak bicara, yasudah pulang saja”, ketus Nina.

Damar berhenti memandangi hujan. Ia menghela napas berat dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Frustasi.

   “Ayolah, Damar. Aku cuma berhijab. Apa itu salah?”, pekik Nina akhirnya. Ia tidak tahan lagi.
   “Kenapa kamu tidak bertanya padaku dulu, Na?”, protes Damar meledak. Namun wajahnya tetap terpaku pada secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi.  “Kenapa kamu tidak meminta pendapatku sebelum memakai itu?”

Nina mengerjap. Kepalanya berdetum-detum karena baru saja mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Ia pandang lekat-lekat pemuda dihadapannya yang terus menerus berusaha  membuang muka.
   “Apa yang salah, Damar?”, tanya Nina hati-hati. Ia yakin suaranya bergetar karena pun kakinya.
   “Apa yang salah? Kenapa kamu masih bertanya? Tentu saja, Nina!”, Damar  mengadah dan mendelik“Kamu memakai itu tanpa persetujuanku!”

Nina hampir menangis sekarang. Sesuatu mendesak keluar dari sudut matanya karena pipinya mulai terbakar. Respon Damar di luar bayangannya. Semua rencananya hancur hari ini, sama seperti hatinya.

   “Aku tidak ingin kamu memakai itu,Na”, tukas Damar dan kembali memandang hujan. “Aku tidak suka. Kamu terlalu berbeda”
   “Bukankah ini perbedaan yang baik, Dam?”, pungkas Nina memberanikan diri. Tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menahan kejutan emosi yang melimbungkan kepalanya.
   “TAPI KAMU BERBEDA, NA!”, Damarlah yang kehilangan kontrol. Ia menggebrak meja dan napasnya memburu. Matanya kini menatap lurus-lurus pada Nina. Nina yang ia sebut sudah tak lagi sama karena kain yang menutupi rambutnya. 

Nina terlonjak dari kursinya sendiri dan air mata yang mati-matian ia tahan akhirnya hempas juga,
   “Apakah yang katamu berbeda adalah aku yang tidak cantik lagi karena kain ini,Dam?”, tanya Nina melirih. Suaranya tercekik, tapi ia terus melanjutkan, “Tapi aku ingin cantik juga di mata Tuhanku, Dam. Bukan di matamu saja”

Damar menghempaskan tubuhnya, kembali bersandar pada kursi walau napasnya masih terhela berat. Ia memijit dahinya sendiri dan kembali enggan menatap Nina, 
   “Setidaknya kau bisa bertanya padaku sebelum memakai itu. Tidak seperti ini. Mengajakku ke kafe dengan pakaian yang…… yang membuatmu berbeda itu”
   “Apa jika aku ingin dekat dengan Tuhanku aku perlu meminta persetujuan makhluk-Nya, Dam?”.

Itu pertanyaan retoris. Damar tahu itu. “Tapi, Na…”

   “Aku berbeda, tentu saja,Damar. Aku berubah. Tapi  baik aku dan kamupun tahu ini perubahan yang baik. Aku ingin cantik di mata Tuhan kita. Tidakkah kau ingin pula?”

Nina menarik napasnya dalam-dalam, kemudian ikut memandang keluar. Menyadari hujan reda, ia dorong kursinya, dan bangkit untuk pergi. Meninggalkan Damar dengan secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi.

"Kau tahu Damar, jika memang begitu, katakan saja sendiri pada Tuhan kita jika kau tak suka aku melaksanakan perintahNya.  Carilah sendiri wanita yang cantik di matamu. Aku hanya ingin cantik di mata Tuhanku dulu"


Keputusan Nina bulat. Nina berubah.