You only see what I choose you to see. Is that not a freedom?
***
“Kenapa kamu tidak mau menatapku?”
Damar tidak menyahut. Ia terlalu sibuk memandangi hujan dari
kaca kafe tempat biasa mereka bertemu. Entah ada apa disana. Padahal jalan itu
lengang dan mulai temaram karena mendung.
Nina menghela napas. Kehabisan akal untuk memancing Damar.
Jangankan bicara padanya, menoleh saja ia enggan. “Jika kita tidak hendak
bicara, yasudah pulang saja”, ketus Nina.
Damar berhenti memandangi hujan. Ia menghela napas berat dan
mengacak-acak rambutnya sendiri. Frustasi.
“Ayolah, Damar. Aku cuma berhijab. Apa itu salah?”, pekik
Nina akhirnya. Ia tidak tahan lagi.
“Kenapa kamu tidak bertanya padaku dulu, Na?”, protes Damar
meledak. Namun wajahnya tetap terpaku
pada secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi. “Kenapa kamu tidak meminta pendapatku sebelum
memakai itu?”
Nina mengerjap. Kepalanya berdetum-detum karena baru saja
mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Ia pandang lekat-lekat pemuda
dihadapannya yang terus menerus berusaha membuang muka.
“Apa yang salah, Damar?”, tanya Nina hati-hati. Ia yakin
suaranya bergetar karena pun kakinya.
“Apa yang salah? Kenapa kamu masih bertanya? Tentu saja,
Nina!”, Damar mengadah dan mendelik, “Kamu memakai itu tanpa persetujuanku!”
Nina hampir menangis sekarang. Sesuatu mendesak keluar dari
sudut matanya karena pipinya mulai terbakar. Respon Damar di luar bayangannya. Semua rencananya hancur hari ini, sama seperti hatinya.
“Aku tidak ingin kamu memakai itu,Na”, tukas Damar dan
kembali memandang hujan. “Aku tidak suka. Kamu terlalu berbeda”
“Bukankah ini perbedaan yang baik, Dam?”, pungkas Nina
memberanikan diri. Tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menahan kejutan
emosi yang melimbungkan kepalanya.
“TAPI KAMU BERBEDA, NA!”, Damarlah yang kehilangan kontrol. Ia menggebrak meja dan
napasnya memburu. Matanya kini menatap lurus-lurus pada Nina. Nina yang ia
sebut sudah tak lagi sama karena kain yang menutupi rambutnya.
Nina terlonjak dari kursinya sendiri dan air mata yang
mati-matian ia tahan akhirnya hempas juga,
“Apakah yang katamu berbeda adalah aku yang tidak cantik
lagi karena kain ini,Dam?”, tanya Nina melirih. Suaranya tercekik, tapi ia terus
melanjutkan, “Tapi aku ingin cantik juga di mata Tuhanku, Dam. Bukan di matamu
saja”
Damar menghempaskan tubuhnya, kembali bersandar pada kursi
walau napasnya masih terhela berat. Ia memijit dahinya sendiri dan kembali
enggan menatap Nina,
“Setidaknya kau bisa bertanya padaku sebelum memakai itu.
Tidak seperti ini. Mengajakku ke kafe dengan pakaian yang…… yang membuatmu
berbeda itu”
“Apa jika aku ingin dekat dengan Tuhanku aku perlu meminta
persetujuan makhluk-Nya, Dam?”.
Itu pertanyaan retoris. Damar tahu itu. “Tapi, Na…”
“Aku berbeda, tentu saja,Damar. Aku berubah. Tapi baik aku dan kamupun tahu ini perubahan yang
baik. Aku ingin cantik di mata Tuhan kita. Tidakkah kau ingin pula?”
Nina menarik napasnya dalam-dalam, kemudian ikut memandang
keluar. Menyadari hujan reda, ia dorong kursinya, dan bangkit untuk pergi.
Meninggalkan Damar dengan secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi.
"Kau tahu Damar, jika memang begitu, katakan saja sendiri pada Tuhan kita jika kau tak suka aku melaksanakan perintahNya. Carilah sendiri wanita yang cantik di matamu. Aku hanya ingin cantik di mata Tuhanku dulu"
Keputusan Nina bulat. Nina berubah.