"Mudah saja bagimu bicara, Mira!"
Entah berapa lama aku dan kamu terus berdebat dan saling mendorong. Wajahmu merah, tapi berkeringat. Dahimu berkerut, namun rahangmu mengeras. Aku ingin tertawa melihat betapa kalapnya kamu. Kamu harus tahu bagaimana lucunya wajah itu.
"Kamu cuma menghadapi perempuan, Tio!", kataku lagi sambil terus coba membuatmu menggerakkan kaki.
"Berbeda jika perempuan itu Rere!", kamu memberontak seperti anak kecil. Lalu kembali mencari posisi duduk, dan memakukan diri sendiri pada kursi. "Kamu tidak mengerti,Ra", pungkasmu.
Aku berhenti menarik pergelanganmu,terhenyak dengan pernyataan itu. Sesuatu menohok, rubuh di dalam tanpa suara. "Baiklah..", kataku pada akhirnya, sembari ikut duduk disampingmu.
Aku bisa mendengar tarikan napasmu dan bagaimana ia terhela dengan berat. Kamu kelelahan. Baik karena terus melawanku, atau terus berpikir tentang resiko yang selalu aku ingatkan. Aku cuma ingin kau berpikir panjang, sesungguhnya.
"Mungkin aku bisa lakukan nanti malam saja", ujarmu, masih tidak memandangku. "Aku tidak bisa bertemu dengan Rere dengan kondisi seperti ini. Berantakan"
"Oke..", lirihku, "terserah kau saja sekarang. Aku sudah capek terus memaksamu"
Kamu terkekeh. Aku tidak tahu apa yang lucu. Kemudian kamu melanjutkan, "Maaf jika aku jadi begitu merepotkan. Aku tahu kau bermaksud baik. Tapi yah... kau tahu sendiri aku seperti apa"
"Apa? Banyak omongnya saja?"
"Hehehe, yabegitulah..."
Ada hening yang menggantung. Tidak ada yang berusa meraihnya, hingga tiba-tiba kamu mulai berbicara lagi,
"Bagaimana jika Rere mengatakan 'iya', ya?", tanyamu datar. Tapi sungguh, dari sudut mataku aku bisa lihat matamu berbinar.
"Menurutmu bagaimana?"
"Hebat. Hahaha, aku tidak tahu apa yang bisa terjadi selanjutnya setelah dia bilang 'ya' nanti"
Aku menoleh padamu dan ikut tersenyum. Kamu tidak berkeringat lagi. Rahangmu mengendur, dan tidak ada lipatan di dahimu.
Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku jika Rere mengiyakanmu nanti, Tio.