19 Apr 2013

[Cerpen] Bersama Ibu

Well, actually this is the task for Mrs. Nena. Phew, I did it ; made a shortstory without galao. Need to try it again....... 


***

Rama memeluk Lika dalam bisu. Sudah ia kunci pintu dan berusaha tidak mendengarkan apapun. Ia ingin kamar ini kedap suara untuk malam ini saja. Apapun, agar teriakan-teriakan di luar tidak menembus atmosfernya. Lika sendiri menahan tangis dengan bahu bergetar. Ia sudah berusaha mati-matian agar menelan air matanya sendiri, “Jangan nangis, cengeng !”, bentak Rama tiap kali Lika menangis. Padahal Lika sendiri tahu Rama berkali-kali menyeka pipinya sendiri dengan kasar. Makanya Rama hanya memeluknya dalam agar tidak perlu melihat wajahnya sendiri.

   “Ibu kenapa menangis?”, tanya Lika tertahan
   “Diam. Ibu tidak menangis karena ayah”.
   “Aku tidak bilang ibu menangis karena ayah”
   “Siapa peduli. Diam, Lika. Tidak perlu mendengarkan mereka”

Tapi bagaimanapun keduanya berusaha menutup telinga, percuma saja. Malam itu terlalu hingar bingar dalam sepi yang paling dalam.
***
“Kita pindah ke luar kota besok pagi. Bawa pakaian seperlunya saja dulu”, kata ibu singkat ketika Lika sedang asik di kamarnya. Ia terperangah seketika. Pindah ? Lika baru saja buka mulut untuk protes, tapi ibu sudah hilang di balik pintu.

Lika masih heran dengan ketidak hadiran ayah dan Rama pagi ini, kini sudah ditambah dengan keputusan tiba-tiba tentang kepindahan.  Bukan berarti merasa senang, tapi Lika diam-diam merasa bersyukur karena ayah tidak ada di rumah. Tidak ada ayah, malam itu tidak akan terjadi lagi setidaknya untuk malam ini.
Dalam lamunannya, tiba-tiba telpon genggamnya bergetar. Rama menelpon,

   “Lika, kamu gak apa-apa ? Sekarang dimana ? Masih di rumah ?”, cecar Rama ketika telpon diangkat.
   “Ah ? Gak apa-apa.. Iya..”, Lika jawab seperti bisik. Tanda tanya masih memenuhi rongganya.
  “Maaf tadi pagi kakak dan ayah tidak pamit”, ada jeda kosong sebelumnya, “Hanya tidak ingin mengganggu tidur Lika”.
   “Kalian kemana ? Pulang nanti sore, kah ? Cepat pulang, kak. Ibu agak bersikap aneh hari ini..”
Sepi. Rama mengambil jeda yang lebih panjang hingga akhirnya menghela napas sendiri, “Lika baik-baik ya. Kakak pulang ke rumah secepatnya nanti.. Tung—“
   “Kata ibu besok pagi kita pindah ke luar kota. Kakak dimana ? Kakak bersama ayah ?”, Lika mulai merasa sesuatu yang tidak beres. Semua orang bersikap aneh hari ini dan Lika merasa paling bodoh karena masih belum mengerti apa yang terjadi.
   “Iya, kakak bersama ayah”, Rama berusaha menutupi gemetar suaranya, “Baik-baik sama ibu ya, Lika..”

Telepon diputus. Ibu berdiri di ambang pintu dengan wajah murung. Lika gelagapan, ia buru buru menyelipkan telpon genggamnya. Entah kenapa ia begitu merasa takut sekarang.

   “Lika bersama ibu”, kata ibu dengan datar. “Rama bersama Ayah. Itu keputusannya”
   “Kita pindah tanpa mereka?”, Lika bertanya hati-hati. Ibu tidak buka mulut, tapi matanya bicara dan menandakan iya. “Apa kita tidak akan bersama mereka lagi, bu ?”

Wajah ibu makin murung. Ada kantung mata dan kerut di wajahnya, “Lika bersama ibu”. Tak ada kata lagi, ibu pergi begitu saja meninggalkan Lika yang tenggelam dalam pikirannya.

Lika mengerti. Pagi ini adalah hasil dari kemarin malam. Semua hingar-bingar itu adalah jawaban untuk tanda tanya pagi ini. Lika bersama ibu. Lika bersama ibu. Kata itu terngiang bersamaan dengan kenyataan bahwa rumah, tidak akan seperti dulu.

Ketika ibu sudah dirasa benar-benar hilang, Lika kembali merogoh telpon genggamnya, kemudian kalap mencari nomer Rama. Namun nomer tersebut tidak bisa dihubungi. Lika coba terus menerus menembus Rama, tapi tak kunjung masuk. “Ayolah kak…”, gumamnya sendiri semakin frustasi.

   “Ibu sudah bilang, Lika”, ibu tetiba muncul lagi di ambang pintunya, rahangnya mengeras. “Lika bersama ibu. Apa itu tidak cukup ? Apa Lika mau ibu tinggal juga?”
Lika bungkam seribu bahasa. Ia tercekik dengan kata-kata ibu yang telak meremukkannya. Ibu tampak tidak bercanda. Matanya kosong, namun membara. Siapapun yang ada didalamnya, benar-benar bukan ibu yang lama.
   “Tidak bu..”, suara Lika parau. Ia sudah hendak menangis lagi. Rama mana Rama..
   “Tolong Lika..”, suara ibu bergetar, “Ibu tidak punya siapa-siapa selain kamu”
Lika tidak sempat mengatakan apa-apa, karena ibu langsung pergi lagi dari pintunya. Lika tenggelam lagi, menelan sendiri air matanya tanpa ada bentakan Rama seperti biasa.

***

   “Lika ingin mengabari kakak dan Ayah”, kata Lika di pagi ketika mereka sedang sibuk berkemas, takut takut.
Ibu tidak menjawab. Hanya melirik sekilas pada Lika dengan mata bicara ; tidak.
   “Kalau begitu beri tahu Lika sekarang mereka dimana”, Lika sadar ia mengatakannya terlalu tegas. Terlihat rahang ibu mengeras tanda tak suka.
   “Lika bersama ibu”, katanya ketus, “Tolong Lika. Ibu mohon turuti ibu”.
   “Turuti apa ? Untuk meninggalkan ayah dan kakak ?”, Lika tidak tahan lagi. Tanda tanyanya meledak.
Ibu tidak menoleh, masih tampak tidak senang. “Turuti ibu untuk tetap bersama ibu. Mengerti ?”
   “Apa ibu takut kehilangan aku, atau ibu takut sendiri ?”, Lika tidak dapat menahan diri, “Apa ibu tidak takut kehilangan kakak juga ?”
   “Ibu yang tidak ingin kamu sendiri, Lika”, ibu mulai menangis. Pipinya basah tapi terus menyibukkan diri dengan barang-barangnya, “Ibu ingin kamu tetap bersama ibu”

Lika ingin kembali bicara, tapi tiba-tiba ibu begitu saja memeluknya dalam-dalam dengan  bahu bergetar. Lika bisa mendengar bisikan ibu, “Tolong Lika.. Tolong..”

Lika hanya tidak mengerti. Ia terlalu lugu untuk dapat mengurai semua artinya. Yang ia tahu, kepindahan ini bukan hanya semata pindah, tapi juga meninggalkan jutaan kenangan dalam tiap ubinnya. Dinding rumah akan berhenti bercerita karena hanya ada kekosongan setelahnya. Apapun yang terjadi disini, akan melumut bersama debu. Mungkin tidak akan jadi apa-apa ketika semua sudah kembali sedia kala. Hanya gema-gema malam itu dari celah tembok retak. Kemudian mengingatkan betapa rumah ini dulunya rusak karena teriak.
Ibu masih memeluknya. Ibu yang tadi mengeras kini merapuh.

Lika tidak ingin meninggalkan ibu. Lika menurut ; hanya akan bersama ibu.

17 Apr 2013

Salah Kamu

Seharusnya kamu buat tanda
Agar aku tidak perlu singgah
Atau setidaknya tak perlu berlama-lama
Duduk dalam hatimu, menunggu kamu temukan aku.

Aku melumut dalam debu.
Kemudian tenggelam sendiri dalam doa-doa yang kini beku
Kelelahan. 
Jutaaan harapan, kini jadi ratapan

Aku mati suri dalam hatimu sendiri.
Salah siapa ?
Kamu, siapa lagi.


12 Apr 2013

Kopi Senja

Kamu datang bersama pagi dan meninggalkan kopi yang mendingin. 
Aku harap pintu segera terbanting saja, menandakan kamu tak akan kembali datang. 
Jadi aku bisa sesap kopi ini sendiri,
Tanpa menanti dan tak perlu bertanya,
Mana senja-ku yang akan bukakan pintunya.

5 Apr 2013

Klise

Ini klise. Semua tulisanku lagi-lagi tentang kamu. Entahlah, aku benar-benar menduniakanmu. Yang padahal, kamu selalu menanggap kita bukan berada di dunia yang sama. Bagaimana  bisa ? Aku selalu buta arah.

Tak apa, (anggap saja) aku sudah mulai terbiasa. Jadi remang kosong yang mungkin tidak pernah kamu jamah. Mempermainkan hati sendiri dengan kamu bersamanya. Dan hanya bisa bersepi beku karena... yah, aku punya hak apa ?

Mereka bilang ini itu. Tentang berhenti dan kamu yang bukan padaku. Terus begitu hingga rasanya aku tuli dan mati rasa. Percaya yang mana, aku tidak menjawabnya.

Aku bisa saja berhenti.
Mungkin saja. 
Alasannya lebih berat daripada tetang tinggal.

Tapi yah, ini klise. Aku sudah katakan. 
Semua tulisanku, lagi-lagi tentang bayang yang enggan meninggalkan. 

..
Benarkah ?