***
Rama memeluk Lika dalam bisu.
Sudah ia kunci pintu dan berusaha tidak mendengarkan apapun. Ia ingin kamar ini
kedap suara untuk malam ini saja. Apapun, agar teriakan-teriakan di luar tidak
menembus atmosfernya. Lika sendiri menahan tangis dengan bahu bergetar. Ia
sudah berusaha mati-matian agar menelan air matanya sendiri, “Jangan nangis,
cengeng !”, bentak Rama tiap kali Lika menangis. Padahal Lika sendiri tahu Rama
berkali-kali menyeka pipinya sendiri dengan kasar. Makanya Rama hanya memeluknya
dalam agar tidak perlu melihat wajahnya sendiri.
“Ibu kenapa menangis?”, tanya Lika tertahan
“Diam. Ibu tidak menangis karena ayah”.
“Aku tidak bilang ibu menangis karena ayah”
“Siapa peduli. Diam, Lika. Tidak perlu mendengarkan mereka”
Tapi bagaimanapun keduanya
berusaha menutup telinga, percuma saja. Malam itu terlalu hingar bingar dalam
sepi yang paling dalam.
***
“Kita pindah ke luar kota besok
pagi. Bawa pakaian seperlunya saja dulu”, kata ibu singkat ketika Lika sedang
asik di kamarnya. Ia terperangah seketika. Pindah
? Lika baru saja buka mulut untuk protes, tapi ibu sudah hilang di balik
pintu.
Lika masih heran dengan ketidak
hadiran ayah dan Rama pagi ini, kini sudah ditambah dengan keputusan tiba-tiba
tentang kepindahan. Bukan berarti merasa
senang, tapi Lika diam-diam merasa bersyukur karena ayah tidak ada di rumah.
Tidak ada ayah, malam itu tidak akan terjadi lagi setidaknya untuk malam ini.
Dalam lamunannya, tiba-tiba
telpon genggamnya bergetar. Rama menelpon,
“Lika, kamu gak apa-apa ? Sekarang dimana ? Masih di rumah ?”, cecar
Rama ketika telpon diangkat.
“Ah ? Gak apa-apa.. Iya..”, Lika jawab seperti bisik. Tanda tanya masih
memenuhi rongganya.
“Maaf tadi pagi kakak dan ayah tidak pamit”, ada jeda kosong sebelumnya,
“Hanya tidak ingin mengganggu tidur Lika”.
“Kalian kemana ? Pulang nanti sore, kah ? Cepat pulang, kak. Ibu agak
bersikap aneh hari ini..”
Sepi. Rama mengambil jeda yang
lebih panjang hingga akhirnya menghela napas sendiri, “Lika baik-baik ya. Kakak
pulang ke rumah secepatnya nanti.. Tung—“
“Kata ibu besok pagi kita pindah ke luar kota. Kakak dimana ? Kakak
bersama ayah ?”, Lika mulai merasa sesuatu yang tidak beres. Semua orang
bersikap aneh hari ini dan Lika merasa paling bodoh karena masih belum mengerti
apa yang terjadi.
“Iya, kakak bersama ayah”, Rama berusaha menutupi gemetar suaranya,
“Baik-baik sama ibu ya, Lika..”
Telepon diputus. Ibu berdiri di
ambang pintu dengan wajah murung. Lika gelagapan, ia buru buru menyelipkan
telpon genggamnya. Entah kenapa ia begitu merasa takut sekarang.
“Lika bersama ibu”, kata ibu dengan datar. “Rama bersama Ayah. Itu
keputusannya”
“Kita pindah tanpa mereka?”, Lika bertanya hati-hati. Ibu tidak buka
mulut, tapi matanya bicara dan menandakan iya. “Apa kita tidak akan bersama
mereka lagi, bu ?”
Wajah ibu makin murung. Ada
kantung mata dan kerut di wajahnya, “Lika bersama ibu”. Tak ada kata lagi, ibu
pergi begitu saja meninggalkan Lika yang tenggelam dalam pikirannya.
Lika mengerti. Pagi ini adalah
hasil dari kemarin malam. Semua hingar-bingar itu adalah jawaban untuk tanda
tanya pagi ini. Lika bersama ibu. Lika bersama ibu. Kata itu terngiang
bersamaan dengan kenyataan bahwa rumah, tidak akan seperti dulu.
Ketika ibu sudah dirasa
benar-benar hilang, Lika kembali merogoh telpon genggamnya, kemudian kalap
mencari nomer Rama. Namun nomer tersebut tidak bisa dihubungi. Lika coba terus
menerus menembus Rama, tapi tak kunjung masuk. “Ayolah kak…”, gumamnya sendiri
semakin frustasi.
“Ibu sudah bilang, Lika”, ibu tetiba muncul lagi di ambang pintunya,
rahangnya mengeras. “Lika bersama ibu. Apa itu tidak cukup ? Apa Lika mau ibu
tinggal juga?”
Lika bungkam seribu bahasa. Ia
tercekik dengan kata-kata ibu yang telak meremukkannya. Ibu tampak tidak
bercanda. Matanya kosong, namun membara. Siapapun yang ada didalamnya,
benar-benar bukan ibu yang lama.
“Tidak bu..”, suara Lika parau. Ia sudah hendak menangis lagi. Rama mana Rama..
“Tolong Lika..”, suara ibu bergetar, “Ibu tidak punya siapa-siapa selain
kamu”
Lika tidak sempat mengatakan
apa-apa, karena ibu langsung pergi lagi dari pintunya. Lika tenggelam lagi,
menelan sendiri air matanya tanpa ada bentakan Rama seperti biasa.
***
“Lika ingin
mengabari kakak dan Ayah”, kata Lika di pagi ketika mereka sedang sibuk
berkemas, takut takut.
Ibu tidak menjawab. Hanya melirik sekilas pada Lika dengan
mata bicara ; tidak.
“Kalau begitu beri tahu Lika sekarang mereka dimana”, Lika sadar ia
mengatakannya terlalu tegas. Terlihat rahang ibu mengeras tanda tak suka.
“Lika bersama ibu”, katanya ketus, “Tolong Lika. Ibu mohon turuti ibu”.
“Turuti apa ? Untuk meninggalkan ayah dan kakak ?”, Lika tidak tahan
lagi. Tanda tanyanya meledak.
Ibu tidak menoleh, masih tampak
tidak senang. “Turuti ibu untuk tetap bersama ibu. Mengerti ?”
“Apa ibu takut kehilangan aku, atau ibu takut sendiri ?”, Lika tidak
dapat menahan diri, “Apa ibu tidak takut kehilangan kakak juga ?”
“Ibu yang tidak ingin kamu sendiri, Lika”, ibu mulai menangis. Pipinya
basah tapi terus menyibukkan diri dengan barang-barangnya, “Ibu ingin kamu tetap
bersama ibu”
Lika ingin kembali bicara, tapi
tiba-tiba ibu begitu saja memeluknya dalam-dalam dengan bahu bergetar. Lika bisa mendengar bisikan
ibu, “Tolong Lika.. Tolong..”
Lika hanya tidak mengerti. Ia
terlalu lugu untuk dapat mengurai semua artinya. Yang ia tahu, kepindahan ini
bukan hanya semata pindah, tapi juga meninggalkan jutaan kenangan dalam tiap
ubinnya. Dinding rumah akan berhenti bercerita karena hanya ada kekosongan
setelahnya. Apapun yang terjadi disini, akan melumut bersama debu. Mungkin
tidak akan jadi apa-apa ketika semua sudah kembali sedia kala. Hanya gema-gema
malam itu dari celah tembok retak. Kemudian mengingatkan betapa rumah ini
dulunya rusak karena teriak.
Ibu masih memeluknya. Ibu yang
tadi mengeras kini merapuh.
Lika tidak ingin meninggalkan
ibu. Lika menurut ; hanya akan bersama ibu.