Tell me what you want to hear
Something that will light those years
I'm sick of all this insincire
So I'm gonna give
All my secrets away
-One Republic
***
“Bagaimana dengan janji ?”, Reza menatapnya, “apakah tidak ingin kamu
tepati ?”
Ana bungkam. Bukan tidak bisa bicara, ia hanya tidak bisa
menemukan kata yang ingin digunakan. Maka ia hanya balik memandang Reza dengan
datar, hingga akhirnya Reza memaling muka dan mendesah, “Berhentilah berlari.
Kau perlu diam sejenak dan berkaca ”, katanya sembari bangkit, “biar kamu ingat
sebenarnya kamu itu siapa”
Dan disitulah Ana. Duduk termangu sendiri dengan pikirannya.
Percakapan dengan Reza memang tidak begitu panjang, namun melelahkan. Semua
kata Reza benar. Semua kata Reza benar. Ana tahu itu. Hanya saja….
***
Waktu sudah jauh berlari, namun seperti cerita-cerita, selalu
ada puncaknya. Sekarang puncaknya. Semua yang nyata ternyata selama ini tidak
pergi kemana-mana, selalu berada di balik pintu. Dan sekaranglah, Ana baru saja
membuka pintu tersebut.
Hujan. Hujan. Hujan.
Tidak heran. Sekarang memang musim hujan. Selalu mendung dan
berangin. Rinai hujan tidak selalu jadi rinai. Kadang ia bergemuruh, kadang ia
terus –terusan mengeluh. Namanya juga hujan.
Hujan. Hujan. Hujan.
Di dalam hujan lah pintu Ana terbuka. Kemudian semua yang
nyata itu menghantamnya bertubi-tubi. Membuat Ana yang lemah semakin lemah..
***
“Jadi kamu seriusan enggak tahu, Na ?”, Fala menatap heran
mata dihadapannya, “Jadi.. Jadi kamu gak tau apa-apa soal perihal itu ?”.
Ana menghantam punggungnya pada sandaran kursi. Tubuhnya
melemas dan sesuatu rubuh didalam. Berdebam dan langsung melebam. Jadi.. Agi selama ini tidak pernah menyadari
yang sebenarnya terjadi? Jadi selama ini hanya ada aku dan kamu. Bukan kita ?
***
“Dasar cewek bego !”, pekikan itu menggema. Jika saja
tatapan memang bisa membunuh, harusnya Ana sudah terkapar berdarah-darah dengan
tatapan Meda. “Gue pikir kalian emang pacaran betulan, Na !”, tukas Meda lagi.
Keringat berderai dari pelipisnya. Dahinya berkali-kali mengernyit. Heran.
“Dekat
kan, bukan berarti pacaran..”, Ana mencoba menahan air matanya. Tapi segala
perasaan dan sesuatu yang seperti tersangkut di tenggorokkannya membuat Ana
tercekik
“Tiga
tahun, Na ! Tiga tahun lo cerita hal-hal bodoh itu di depan dia. TIGA TAHUN LO
GAK NYADAR APA-APA !”, Meda tersulut emosinya. Napasnya memburu. Begitu
herannya dengan gadis ini. Dia ini polos
atau emang beneran bego sih ?
Ana membeku. Ia merasa seperti menyusut, menyusut, kemudian
pecah jadi bagian terkecil. Sungguh, semua ini di luar perkiraannya. Semua ini
salah. Harusnya Ana tahu itu.
Meda
yang akhirnya tersadar, ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya kesalahan waktu.
Waktu yang egois yang tidak pernah berhenti sejenak sekedar membiarkan
orang-orang yang terseret olehnya saling menoleh. Ini bukan salah siapa-siapa.
Tidak ada yang perlu disalahkan.
Kemudian Meda mendesah sendiri. Dahinya masih terlipat. Matanya
terpejam berulang-ulang. Ia benar-benar baru menyadarinya. Semua yang nyata,
ternyata selama ini memang tidak pernah kemana-mana…
“Lo
tahu dia baik, gue harap lo juga harusnya mengerti bagaimana perasaan dia. Lo
gak bisa pura-pura tutup telinga dan terus berkoar-koar, Na. Lo harus lurusin
semuanya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Lo tahu itu”, kata Meda akhirnya.
Ia melirih, “Jangan terus berkaca pada cermin buram tanpa tahu bayangan lo
sendiri itu sebenarnya apa, Na..”
***
“Kata
siapa, Na ?”, Reza menyeringai geli. Ia coba mencari mata Ana yang kini justu
malah salah tingkah. “Kata siapa kalo sebenernya gue suka sama lo ?”.
Ana masih menunduk. Merasa aneh sekaligus canggung. Jadi
seperti biasa, Ana hanya bungkam dan terus menatap sepatunya.
“Lihat
Reza, Na”, tukas Reza lagi sembari menyentuh bahunya. Ana menoleh cepat dan
langsung terperangkap dalam dalam.“Apa muka Reza cukup ganteng buat suka sama
kamu ? Hahaha..”
Reza terkekeh tanpa meyadari raut Ana yang berubah. Ia
tercekik sendiri lagi. Benar-benar tidak bisa mencerna kata-kata Reza. Jadi sebenarnya bagimana ?
“Za,
tolong.. Ana bingung..”, lirihnya parau. “Ana gak ngerti sebenernya gimana..”
Kemudian sekarang Reza yang diam. Ia tatap lekat-lekat sosok
dihadapannya. “Kenapa masih bertanya?”,
Reza menyungging senyum.
“Karena
Ana masih belum mengerti. Kata Meda begitu. Semua orang bilang begitu..”
“Kata
Meda ? Kamu percaya sama Si Meda ?”, Reza tertawa kecil, “Orang kayak gitu
dipercaya kamu, mah..”
Ana balik menatapnya lama. Mencoba mencari sendiri jawabannya
di dalam mata Reza. Tapi Reza memanglah Reza. Gelap matanya terlalu pekat. Tak
pernah terbaca.
“Ana
kan sudah sama Agi..”, goda Reza sembari menyikut Ana/
“Agi
enggak suka Ana. Agi tetap belum sadar tentang Ana. Sepertinya,he falling in
love with someone elsa, Za..”
“Then
try it again. Tapi sekarang, just be yourself, Na. Jangan seperti tahun-tahun
kemarin. Jangan berubah cuma buat seorang Agi…”, Reza menepuk kepala Ana dengan
ringan. Kemudian tertawa, “Gue sebel banget pas waktu itu. Rasanya, itu bukan
Ana yang gue kenal, tau !”.
Mau tidak mau Ana ikut tersenyum. Ia juga menyadari betapa
bodohnya dia waktu itu. Semua perubahan yang ia lakukan mati matian hanya untuk
Agi ternyata hasilnya nol besar. Semua perubahan yang ia lakukan justru malah
balik meremukan.
“Maaf
ya, Za..”, bisik Ana. Rasa malu mengkerdilkannya. Tapi Reza memanglah Reza. Ia
hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
“Dan oh
ya, Na..”, lanjut Reza, “Gak usah dengerin Meda dan orang lain. Ana itu sahabat
gue dari dulu. Gak mungkin gue jadiin pacar, kan ?”, canda Reza disusul dengan derai
tawanya.
“Dan satu lagi, Na”, Reza menatap Ana dengan serius, “Gue
juga gak mau saingan sama si Agi. Gak level !”.
Ana hanya tersenyum. Ia tahu sekarang. Ia mengerti. Reza
benar. Reza memang selalu benar. Semua oranglah yang salah. Reza, tetap yang
bisa ia percaya.
***
Mungkin pintu Ana memang sudah terbuka. Semua yang nyata
disana sudah berhamburan keluar. Hanya satu lagi. Satu pintu lagi dengan satu
yang nyata. Pintu Reza. Dengan Reza sendiri di baliknya.
***
Guess it :)