12 Feb 2013

[Cerpen] The Secret Doors

Tell me what you want to hear
Something that will light those years
I'm sick of all this insincire
So I'm gonna give
All my secrets away
-One Republic
***

“Bagaimana dengan janji ?”, Reza menatapnya, “apakah tidak ingin kamu tepati ?”

Ana bungkam. Bukan tidak bisa bicara, ia hanya tidak bisa menemukan kata yang ingin digunakan. Maka ia hanya balik memandang Reza dengan datar, hingga akhirnya Reza memaling muka dan mendesah, “Berhentilah berlari. Kau perlu diam sejenak dan berkaca ”, katanya sembari bangkit, “biar kamu ingat sebenarnya kamu itu siapa”

Dan disitulah Ana. Duduk termangu sendiri dengan pikirannya. Percakapan dengan Reza memang tidak begitu panjang, namun melelahkan. Semua kata Reza benar. Semua kata Reza benar. Ana tahu itu. Hanya saja….

                ***

Waktu sudah jauh berlari, namun seperti cerita-cerita, selalu ada puncaknya. Sekarang puncaknya. Semua yang nyata ternyata selama ini tidak pergi kemana-mana, selalu berada di balik pintu. Dan sekaranglah, Ana baru saja membuka pintu tersebut.

Hujan. Hujan. Hujan.

Tidak heran. Sekarang memang musim hujan. Selalu mendung dan berangin. Rinai hujan tidak selalu jadi rinai. Kadang ia bergemuruh, kadang ia terus –terusan mengeluh. Namanya juga hujan.

Hujan. Hujan. Hujan.

Di dalam hujan lah pintu Ana terbuka. Kemudian semua yang nyata itu menghantamnya bertubi-tubi. Membuat Ana yang lemah semakin lemah..

***

“Jadi kamu seriusan enggak tahu, Na ?”, Fala menatap heran mata dihadapannya, “Jadi.. Jadi kamu gak tau apa-apa soal perihal itu ?”.

Ana menghantam punggungnya pada sandaran kursi. Tubuhnya melemas dan sesuatu rubuh didalam. Berdebam dan langsung melebam. Jadi.. Agi selama ini tidak pernah menyadari yang sebenarnya terjadi? Jadi selama ini hanya ada aku dan kamu. Bukan kita ?

***

“Dasar cewek bego !”, pekikan itu menggema. Jika saja tatapan memang bisa membunuh, harusnya Ana sudah terkapar berdarah-darah dengan tatapan Meda. “Gue pikir kalian emang pacaran betulan, Na !”, tukas Meda lagi. Keringat berderai dari pelipisnya. Dahinya berkali-kali mengernyit. Heran.
                “Dekat kan, bukan berarti pacaran..”, Ana mencoba menahan air matanya. Tapi segala perasaan dan sesuatu yang seperti tersangkut di tenggorokkannya membuat Ana tercekik
                “Tiga tahun, Na ! Tiga tahun lo cerita hal-hal bodoh itu di depan dia. TIGA TAHUN LO GAK NYADAR APA-APA !”, Meda tersulut emosinya. Napasnya memburu. Begitu herannya dengan gadis ini. Dia ini polos atau emang beneran bego sih ?

Ana membeku. Ia merasa seperti menyusut, menyusut, kemudian pecah jadi bagian terkecil. Sungguh, semua ini di luar perkiraannya. Semua ini salah. Harusnya Ana tahu itu.

Meda yang akhirnya tersadar, ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya kesalahan waktu. Waktu yang egois yang tidak pernah berhenti sejenak sekedar membiarkan orang-orang yang terseret olehnya saling menoleh. Ini bukan salah siapa-siapa. Tidak ada yang perlu disalahkan.

Kemudian Meda mendesah sendiri. Dahinya masih terlipat. Matanya terpejam berulang-ulang. Ia benar-benar baru menyadarinya. Semua yang nyata, ternyata selama ini memang tidak pernah kemana-mana…
               
              “Lo tahu dia baik, gue harap lo juga harusnya mengerti bagaimana perasaan dia. Lo gak bisa pura-pura tutup telinga dan terus berkoar-koar, Na. Lo harus lurusin semuanya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Lo tahu itu”, kata Meda akhirnya. Ia melirih, “Jangan terus berkaca pada cermin buram tanpa tahu bayangan lo sendiri itu sebenarnya apa, Na..”

***

                “Kata siapa, Na ?”, Reza menyeringai geli. Ia coba mencari mata Ana yang kini justu malah salah tingkah. “Kata siapa kalo sebenernya  gue suka sama lo ?”.
Ana masih menunduk. Merasa aneh sekaligus canggung. Jadi seperti biasa, Ana hanya bungkam dan terus menatap sepatunya.
                “Lihat Reza, Na”, tukas Reza lagi sembari menyentuh bahunya. Ana menoleh cepat dan langsung terperangkap dalam dalam.“Apa muka Reza cukup ganteng buat suka sama kamu ? Hahaha..”

Reza terkekeh tanpa meyadari raut Ana yang berubah. Ia tercekik sendiri lagi. Benar-benar tidak bisa mencerna kata-kata Reza. Jadi sebenarnya bagimana ?
                “Za, tolong.. Ana bingung..”, lirihnya parau. “Ana gak ngerti sebenernya gimana..”
Kemudian sekarang Reza yang diam. Ia tatap lekat-lekat sosok dihadapannya.  “Kenapa masih bertanya?”, Reza menyungging senyum.
                “Karena Ana masih belum mengerti. Kata Meda begitu. Semua orang bilang begitu..”
                “Kata Meda ? Kamu percaya sama Si Meda ?”, Reza tertawa kecil, “Orang kayak gitu dipercaya kamu, mah..”

Ana balik menatapnya lama. Mencoba mencari sendiri jawabannya di dalam mata Reza. Tapi Reza memanglah Reza. Gelap matanya terlalu pekat. Tak pernah terbaca.
                “Ana kan sudah sama Agi..”, goda Reza sembari menyikut Ana/
                “Agi enggak suka Ana. Agi tetap belum sadar tentang Ana. Sepertinya,he falling in love with someone elsa, Za..”
                “Then try it again. Tapi sekarang, just be yourself, Na. Jangan seperti tahun-tahun kemarin. Jangan berubah cuma buat seorang Agi…”, Reza menepuk kepala Ana dengan ringan. Kemudian tertawa, “Gue sebel banget pas waktu itu. Rasanya, itu bukan Ana yang gue kenal, tau !”.

Mau tidak mau Ana ikut tersenyum. Ia juga menyadari betapa bodohnya dia waktu itu. Semua perubahan yang ia lakukan mati matian hanya untuk Agi ternyata hasilnya nol besar. Semua perubahan yang ia lakukan justru malah balik meremukan.
                “Maaf ya, Za..”, bisik Ana. Rasa malu mengkerdilkannya. Tapi Reza memanglah Reza. Ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
                “Dan oh ya, Na..”, lanjut Reza, “Gak usah dengerin Meda dan orang lain. Ana itu sahabat gue dari dulu. Gak mungkin gue jadiin pacar, kan ?”, canda Reza disusul dengan derai tawanya.
“Dan satu lagi, Na”, Reza menatap Ana dengan serius, “Gue juga gak mau saingan sama si Agi. Gak level !”.

Ana hanya tersenyum. Ia tahu sekarang. Ia mengerti. Reza benar. Reza memang selalu benar. Semua oranglah yang salah. Reza, tetap yang bisa ia percaya.

***

Mungkin pintu Ana memang sudah terbuka. Semua yang nyata disana sudah berhamburan keluar. Hanya satu lagi. Satu pintu lagi dengan satu yang nyata. Pintu Reza. Dengan Reza sendiri di baliknya.

***
Guess it :)

6 Feb 2013

Pada Pihakmu Saja

Kenapa rasanya bodoh sekali ya ? Aku tersenyum lalu meremuk. Entah karena apa. Aku seperti sedang melipat hati menjadi burung origami. Kamu tahu caranya membuat burung origami ?

Tiap kamu mengucapnya, aku tahu sesuatu sedang rubuh di dalam. Ia luluh terlantahkan. Entahlah bagian yang mana. Namun aku bisa dengar berdebamnya.  Sesuatu juga ada yang terbakar dan mengabu. Kupikir kamu juga menciumnya. Ternyata asap hanya membumbung padaku dan memekat kelabu. 

Ah, entahlah. Sudah kubilang rasanya ini bodoh sekali.

Apa memang aku yang terbiasa, tersenyum selagi meremuk meredam ?
Jika iya, semua ini pada akhirnya salah pada pihakmu saja.