You say you love rain. But you open your umbrella
You say you love the sun. But you find a shadow spot
You say you love the wind. But you close your window
That is why I'm afraid...
You said you love me too
-William Shakespear
“Reo..”, bisik Kina lirih. Makin ia rapatkan jaket yang
membungkusnya ketika angin malam makin beku karena hujan. Entah sudah berapa
lama berada di bawah gardu. Semenjak hujan bisa didengar nyanyiannya, hingga
yang terdengar hanya gemuruh langit saja.
“Kenapa,
?”
“Ayo
pulang…”, pinta Kina, “Sudah makin
larut…”
Reo diam . Ia sendiri juga ingin
segera pulang. Telinganya tidak betah mendengar amarah hujan. Tapi jika dipaksakan pulang sekarang, hujan
sebesar ini berbahaya jika harus diterobos dengan sepeda motor.
“Nanti.
Kalau hujannya sudah agak reda,”
“Kapan?
Dari tadi hujannya gak makin reda, Re.. tapi malah tambah deras !”, pekik Kina,
berusaha mengalahkan suara hujan. “Ayo pulang, Reo… Gak apa-apa kok, kalau
harus hujan-hujan daripada di—“
“Kina
bisa diem gak?”, sergah Reo cepat. Muak mendengar keluahan Kina.
“Ya
makanya ayo pulang,Re ! Emang kamu mau sampai kapan disini ?”, Kina masih belum
mau kalah. Ia bangkit dan menarik lengan jaket Reo, memaksanya.“Ayo pulang,
Reo..”.
“Diem
lah !”, ia tepis tangan Kina dengan kasar. “Kalau kamu mau pulang duluan, ya
sana ! Nih kuncinya ! Pulang aja sana sendiri !” Reo meregoh sakunya dan
melempar kunci motor ke kaki Kina yang mematung.
Kina tertegun, kemudian memungut
kuncinya, melemparkannya balik kepada Reo dan kembali duduk. Bungkam. Perlakuan
Reo tadi cukup membuatnya kaget. Tidak menyangka kalau Reo akan semarah itu.
Kina tidak pula berani untuk menoleh pada Reo lagi.
“Dingin.
Reo.. “, katanya bergetar. Jaket yang ia pakai sudah ikut basah sekarang.Petir menyambar, menciptakan kilat
putih, disusul dengan gemuruh. Ada jeda yang panjang setelah itu.
Hingga Reo
bangkit, “Tuker tempat”, tukas Reo cepat , “Kamu jangan dipinggir duduknya”.
Kina mengadah, menatap wajah Reo
yang tidak sekeras tadi, tapi tetap saja masih dingin. Maka tanpa banyak
bicara, Kinapun bangkit dan bertukar
tempat duduk. Memang, sekarang
hujan angin tidak lagi membasahi karena posisinya di pojok gardu.
“Kabarin
aja si Raka, suruh jemput kamu. Dia bawa mobil,kan ?”, tanya Reo tanpa menoleh.
“Nanti
motor kamu gimana ?”
“Ya
kamu aja yang di jemput. Gue pulangnya kalau hujan reda”, tukas Reo santai. Ia
mengulurkan tangan, menyentuh tetesan hujan dari atap gardu. “Dan oh ya..nanti
jelasin ke pacar kamu. Jangan sampe dia mikir yang macem-macem. Males gue
ladeninnya”.
Kina diam. Entah ingin menjawab
apa. Tapi rasanya tidak adil jika Kina pulang terlebih dahulu dan meninggalkan
Reo sendiri.
“Nanti
Reo sendirian, ?”, tanya Kina. Tidak bisa menutupi khawatirnya. “Masa Kina
tinggalin Reo sendiri ?”
“Terus
kamu maunya gimana ? Reo yang tinggalin
Kina, gitu ?”. Reo mengangkat alisnya sambil tersenyum mengejek pada Kina.
Heran.
Sekali lagi Kina kehabisan kata.
Kina tidak mau ditinggal, tapi juga tidak mau meninggalkan. Reo sudah berbaik
hati mengantarnya pulang hingga terjebak hujan. Andai saja tadi Kina tidak
berlama-lama di toko buku…
“Udah
sana, kabarin si Raka..”, tukas Reo. “Emang dari tadi dia gak nyariin kamu apa
?”.
Kina tertegun sejenak. Baru sadar
akan kata Reo. Benar, Rama memang belum mengabarinya apa-apa sejak semalam.
Raka kemana, ya ?
“Nanti
aja kabarin Rakanya.. Barangkali sebentar lagi reda..”, jawab Kina sembari
tersenyum. Entah tersenyum untuk siapa sebenarnya. Untuk Reo kah, atau demi
menghibur dirinya sendiri.
“Lah,
tadi kamu ribut mulu minta pulang !”, Reo menoleh pada Kina. Semakin bingung
dengan sikapnya. Dasar cewek. Labil semua.
“Emang kenapa ? Reo gak suka Kina
disini ?”, Kina balas menantapnya. Polos. Ada sedikit rasa khawatir diwajah
Kina, berpikir bahwa mungkin Reo memang ingin Kina segera pergi karena segala
sikap kekanak-kanakannya tadi.
Ada jeda yang kosong. Membiarkan suara hujan yang hingar bingar
diantara keduanya. Reo sendiri bingung
hendak menjawab apa. Dia ingin Kina segera pulang sebelum hari makin larut. Pulang bersama Raka.
Tapi.. benarkah ?
“Umh..”,
Reo memalingkan muka, “Terserah Kina ajalah”.
Kina tersenyum kecil, kemudian ikut
terdiam. Menikmati hujan bersama Reo. Hanya saja dalam dunia yang berbeda…
***
“Reo,
Raka telpon…”, ujar Kina. Entah kenapa ada nada resah disana.
“Yaudah
angkat. Emang mau Kina apain ?”, Reo menatapanya sambil alis terangkat. Ia
terkekeh geli melihat tingkah Kina.
Kina tidak langsung menjawabnya.
Hanya menatap kosong pada layar telpon genggam. Hingga akhirnya ia accept juga
setelah Reo berteriak, membuyar lamunannya.
“Halo,
Raka ? Belum.. Aku belum pulang..”
Reo berusaha membuat atmosfernya
hampa udara. Ia ingin percakapan Kina dengan Raka menjadi kosong di telinganya. Tapi bagaimanapun ia
berusaha untuk tidak peduli, Reo bisa mengetahui bahwa Raka sedang dalam
perjalanan kemari. Menjemput Kina.
“Reo,
pulang bareng aja yuk…”, ajak Kina setelah mengakhiri telpon.
“Gak
usah. Kamu duluan aja sama si Raka”, jawabnya cepat tanpa sekedar menoleh pada
Kina.
“Bener
? Memangnya gak apa-apa kalo Reo sendirian disini ?”
Reo mengulum senyum. Geli mendengar
pertanyaan konyol Kina. Ia mengulurkan tangan mencoba menyentuh hujan. Kemudian
menjawab dengan tenang,“Gue gak sendirian kok”.
Kini Kina yang menatapnya heran. Gak
sendirian ? Emangnya Reo sama siapa lagi.....
“Udah.
Gak usah khawatir gitu kali, Na..”. Jemari Reo masih saja bermain dengan rintik
hujan. Membiarkannya merembes hingga membasahi siku. “Kina gak lupa kalau gue cowok,kan ?”.
Reo terkekeh sendiri. Rahangnya
mengendur lagi. Seakan dinginnya air hujan malah justru mencairkan bongkah es
Reo. Kina sendiri ikut lega, merengangkan tubuhnya. Sesekali menengok ka arah
jalan, memastikan kedatangan Raka.
Kina sendiri bingung. Ia memang
ingin segera pulang. Bersama Raka.
Tapi.. benarkah ?
***
Tak lama, Raka tiba. Ia turun dari
mobil hitamnya sambil membawa payung. Berlari kecil ke gardu menghampiri Kina.
“Yaampun
Kina.. Dari kapan kamu di luar ?”, Raka mencoba mencari mata Kina. Menyeka poni
Kina yang basah di dahi.
“Gak
begitu lama kok, Ka..”
“Kenapa
gak ngomong dari tadi aja sih, kalau mau dijemput ? Mana aku tahu kalau kamu
lagi diluar..”. Raka tidak bisa menyembunyikan khawatirnya.
“Tenang
aja, Ka..”, kekeh Kina, “Kamu gak lupa kan, kalau cewek kamu jagoan ?”. Tukas
Kina,mengutip gaya Rea yang sedang menoleh ke arah lain. Masih dengan tangan
dibasahi hujan.
“Yaudah
ayo pulang..”, tukan Raka seraya menyiapkan payungnya. Baru saja hendak menarik
Kina, ia menangkap sosok Reo.
Ada rasa berkecamuk dihati Raka.
Semenjak percakapan dengan Kina ditelpon. Kina bersama Reo. Kina bersama Reo.
Rasanya kalimat itu berdengung dikepalanya. Meledek. Membuat Raka tak kuasa
untuk tidak memacu mobilnya cepat walau dalam hujan.
“Reo”,
panggilnya
“Hmm..”,
Reo bergumam. Masih saja tidak menoleh pada Raka. Air hujan seperti lebih
menarik baginya.
“Cepet
pulang”, tukasnya cepat, “ Tuh urusin cewek lo. Berisik banget si Dhea, nanyain
lo mulu. Hape lo gak aktif ? ”
Reo diam saja. Malas menanggapi.
Benar-benar ia menolak semua ucapan Raka menembus atmosfernya.
“Besok-besok,
urusin dulu pacar sendiri. Baru punya orang”. Tukas Raka lagi. Belum puas
menyudut Rea.
Kina sendiri diam seribu bahasa.
Bingung hendak berkata apa. Mulutnya terkunci sendiri. Akhirnya, Kina menarik
sendiri lengan Raka, mengajaknya supaya cepat beranjak dari gardu. Rakapun
akhirnya bergerak juga.
Namun, sebelum ia masuk kedalam
mobil, ia tangkap mata Reo.
“Cepet
pulang, Reo. Mama di rumah sendirian”, ujarnya, “Gue gak ada dirumah malem ini”.
“Kemana
? Ke rumah Dian ? Ato Sabrin ?”. Reo kini berganti menatapnya remeh. Ia balas
menatap Raka. Kemudian menyeringai setelah Raka cepat masuk ke mobil dan membanting
pintu dengan keras. Mobil itupun melaju. Jauh. Menembus hujan dan hilang. “Hati-hati, Kina..”