"You read me like an open book"
"Tidak"
"Ya, kamu membacaku. Lalu bertingkah seperti mengoreksi ejaan, menerka, mencoret, lalu lupa"
"Aku tidak mengoreksimu. Aku cuma memastikan. Mengoreksi dan memastikan jelas-jelas hal yang berbeda"
"Tapi kamu membacaku!"
"Kamu tidak suka?"
"Tidak. Tidak. Oh yaampun. Sudahlah. Berhenti menerka mataku!"
"Hahahaha, kamu lucu sekali. Ayolah, kamu sendiri yang tidak mau diam. Lihat, kamu membolak-balik buku sedari tadi tanpa membacanya"
"Aku melihat gambarnya"
"Bukan. Kamu terlalu khawatir. Kepalamu berantakan. Jadi tanganmu tidak mau diam dan mencari sesuatu untuk menyibukkan diri"
"Shut up"
"Then tell me. I know there's something wrong with you"
"Buat apa aku memberitahumu?"
"Tidak tahu. Mungkin....untuk membuatmu lebih lega dengan menceritakannya denganku?"
"Whoa. Kau pikir kau siapa? Psikiater?"
"No, I'm your friend. You can tell me anything"
"Kau membaca mataku lagi barusan"
"Hahahaha. Kau benar. Aku memang membacamu seperti membaca buku dengan halaman yang terbuka. Kenapa? Karena kamu sendirilah yang membuka halaman pertamanya. Bagaimana aku tidak ingin tahu?"
"Apa maksudmu?"
"Ayolah... aku tahu kau menyimpan banyak sekali rahasia di kepalamu, sampai kamu sendiri kelelahan. Kamu yang tidak mau berbagi dengan sok berani menyimpannya sendiri, tapi kemudian tertatih-tatih mencari ulur tangan untuk berpegang"
"Aku tidak seperti itu"
"Yes you are. Kamu terlalu takut memulai untuk bercerita, untuk terbuka pada orang lain. Jadi kau hanya berputar-putar dipusaranmu sendiri, menunggu sampai ada orang lain yang menyelamatkanmu dari tenggelam"
"So you think I am a coward?"
"Yes. Kamu takut untuk bercerita tentang masa lalumu yang entah apa itu. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin.. kau takut masa lalu akan mempengaruhi masa kini dan depanmu?"
"It does"
"Kalau begitu ceritakanlah. Berbagilah. Tidak ada yang perlu kau takuti lagi bukan?"
"Aku buruk di verbal"
"Klise"
"Sungguh. Aku seperti meracau. Kau tidak akan mengerti"
"Setidaknya aku mendengarkan"
Malam itu ia lupa daratan. Kepalanya tumpah ruah berhamburan. Tidak ada sofa yang menahannya. Tidak ada rak buku yang menyekatnya. Kata-kata mengambang, namun tidak melegakan karena gravitasi kembali menarik mereka. Kata-kata jatuh luruh membebani bahunya, menyerap melalui pori kepalanya, lubang telinganya, lubang hidungnya, memenuhi matanya.
Ia sadar tidak pernah lagi dapat bernapas lega.
Dan sepasang mata dihadapannya tidak akan pernah tahu.