Tepuk tangan berhenti. Semua mata kini memandangku. Menunggu.
Tapi aku membeku.
"Aku tidak bisa, Ren", tukasku sambil mondar mandir. Aku tidak bisa membuat kakiku diam.
"Naya, kamu sudah pernah melakukannya. Ini pasti mu--"
"Tapi tidak di depan banyak orang seperti itu!", pekikku, menunjuk kerumunan orang di balik tirai.
Rendi terdiam sejenak. Menyadari kekacauanku. Ia meraih bahuku, menghadapkan wajahku padanya.
"Lihat aku. Kamu bisa Naya", katanya tegas, ia masih menatapku di mata, "Tersenyum. Bacakan. Munculkan"
"Tapi Ren....."
"Lakukan ini untukku. Bagaimana?"
Lampu sorot mengarah padaku. Aku harap cahayanya terlalu terang hingga membuat aku pingsan. Tapi ternyata tidak. Aku masih berdiri di tengah-tengah panggung, tidak berani menyentuh stand mic di hadapanku. Kasak-kusuk penonton semakin membuatku panik.
Aku baru saja hendak berlari masuk ke dalam lagi. Hilang dari orang-orang ini. Tapi tiba-tiba aku melihat sosok Rendi di kursi penonton. Jempolnya teracung keatas diantara kepala.
Ia tersenyum.
Ya.
Aku tidak bisa mundur. Rendi benar. Aku bisa.
Aku mengambil langkah menuju stand mic. Kakiku bergetar hebat ketika aku melangkah. Pun tanganku ketika meraih kertas dari sakuku.
Tidak.
Aku tidak takut apapun. Aku tidak takut semua pandangan dingin orang-orang ini. Aku bisa membacakan puisi Rendi dihadapan mereka.
Tersenyumlah, Naya. Baca dan rasakan puisinya.
Let it go.