8 Mei 2013

[Cerpen] Untuk Kamu


Sedang berusaha untuk menciptakan tokoh cowok yang gak menye-menye. Dan..........gagal :( huhuhu

***

Dia masih berdiri di depan, dengan secarik kertas di tangan yang ia genggam kuat-kuat. Aku tidak bisa menebak ia terlalu bersemangat atau terlalu takut. Wajahnya tampak datar saja. Sesekali mengulum senyum ketika teman-teman menyorakinya.

   “Dia mau apa ?”, Tio menyikutku.
   “Entah. Membacakan sesuatu ?”, aku hanya menggidik bahu.

Tentu saja aku berbohong. Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Aku tahu bakat apa yang akan ia tampilkan di Minggu Bakat pelajaran Seni Budaya ini. Ia sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan mungkin ketika pertama kali Pak Damar memberitahukan seisi kelas tentang project ini.

Aku sering melihatnya berdiam diri di kelas ketika istirahat. Kemudian mulai mencorat-coret sesuatu di buku birunya. Tersenyum, merengut, kemudian tampak begitu bersemangat. Bagaimana aku tidak penasaran?

Awalnya memang tidak. Tapi pada suatu kesempatan, aku tak sengaja melihat isi buku birunya. Isinya berantakan. Garis garis pulpen hitam dan merah memenuhi halaman.

Dan huruf-huruf yang terangkai jadi bait-bait.

Aku tidak berani melihat lebih lama apalagi membacanya. Entahlah. Aku rasa buku itu bersifat pribadi. Tapi semakin lama aku semakin yakin. Aku semakin sering memperhatikan raut wajahnya ketika menulis, sembari menerka kata-kata apa yang sedang ia rangkai. Apa ia buat sedih, buat senang, atau buat yang penuh amarah.

Dan aku tidak pernah berhasil membaca wajahnya.

Sama seperti sekarang. Dia masih berdiri dengan wajah yang tidak terbaca ekspresinya. Anak-anak di kelas sudah tidak lagi memperhatikannya. Mungkin hanya aku dan Pak Damar yang masih berusaha menyimak bisunya.

   “Ehm, baik Luna. Apa yang ingin kamu tunjukan kepada teman-teman?”, Pak Damar angkat bicara, “Apa kamu hendak membacakan sesuatu ?”

Kelas diam. Kembali memperhatikan dia di depan.  Tapi masih bisu saja yang terdengar. Hingga akhirnya, Pak Damar menyerah, “Baiklah.. mungkin kita lihat tampilan dari teman-teman yang lain dulu. Luna bisa duduk kembali...Selanjutnya ?”
***

Bangku Luna kosong. Tidak ada buku biru di kolong mejanya seperti biasa. Harusnya aku tidak perlu memikirkannya.  Tapi toh pada akhirnya aku coba keluar kelas mencari Luna.

Tak sulit. Luna ternyata ada di bangku dekat lapangan. Sedang melihat ke keramaian dengan Oreonya. Aku sadar aku semakin aneh ketika berpikir harus duduk disampingnya, kemudian mengajaknya bicara. Untunglah aku tidak sempat melakukan hal bodoh tersebut karena bel telah berbunyi lagi.

Untunglah ? Aku rasa tidak juga.
***

Begitulah hari selanjutnya. Aku semakin jarang melihat Luna di kelas. Mungkin hanya beberapa menit, mengeluarkan buku birunya, kemudian menutupnya kembali dan keluar kelas. Tentu saja duduk di bangku yang sama dengan makanan yang sama.

Hingga akhirnya aku tidak tahan lagi. Sudah kukumpulkan niat untuk melangkah menghampiri Luna, tapi kemudian merasa bodoh. Apa yang harus aku katakan? Tiba-tiba mengajaknya bicara tanpa alasan ? Jika kemudian Luna tidak merespon apapun, aku akan benar-benar tampak seperti orang bodoh yang sedang berusaha menarik perhatian.

Tapi siapa sangka. Kaki ini dapat melangkah sendiri.

   “Hei, sendiri aja ?”, kata-kata itu meluncur bebas. Aku menatapnya ragu, dan kemudian mendapat Luna yang terkejut. Hebat. Aku hampir membuat orang lain jantungan hanya dengan membuka percakapan.
   “Umh, Ya. Ada apa Raka ?”, Luna bicara seperti melirih, kemudian melanjutkan dengan polosnya, “Apa sudah bel masuk ?”
   “Ah ? Tidak tidak.. Maksudku belum bel. Santai saja…”, padahal justru aku yang tidak bisa santai, “kenapa tidak di dalam kelas?”

Luna tidak menjawab.  Ia hanya tersenyum. Persis ketika ia berada di depan kelas dan disoraki. Aku mulai bersiap mengutuki diri sendiri karena telah berpikir melakukan hal yang konyol , tapi kemudian Luna memandangku dan bicara,

   “Minggu ini kamu belum kebagian maju untuk tampil Minggu Bakat ?”, tanyanya.
   “Belum. Mungkin minggu depan. Nomer urutku cukup jauh”, aku diam sejenak menarik napas, “ dan, kenapa Luna tidak jadi maju minggu ini?”

Kini Luna tampak lebih tegang. Ia mengalihkan pandangan menuju sepatunya. Mungkin aku salah bicara. Ah yaampun. Bodoh bodoh bodoh.

    “Aku belum siap. Yang ingin aku tunjukan sebenarnya belum jadi….”, Luna melirih lagi.

Bohong. Luna berbohong.

   “Belum jadi ? Memang sudah sejauh mana puisimu ?”
   “Dari mana kamu tahu aku akan membacakan puisi ?”

Skak mat. Lihat aku Si Bodoh  Bermulut Besar.

   “Umh.. yah, hanya menebak”, kini aku yang gelisah, “apa memang benar kau akan membacakan puisi ?”.
Luna bungkam lagi. Ia menatapku sekilas, kemudian membuang muka sambil mendesah, “Bagaimana jika aku maju lagi, kamu tak perlu memperhatikanku seperti yang lain saja ?”
   “Apa ? Maksudm—“
   “Jangan lihat aku”, ia berhenti sejenak dan berdiri, “Apa kau pikir mudah membacakan puisi tentang kamu jika kamu terlalu memperhatikanku seperti itu ?”

Ia berlalu dengan wajah merah.

Aku beku dan berusaha mengurai artinya.

7 Mei 2013

Senang

Aku tidak jadi mundur. Tapi tidak juga akan bergerak maju. Diam saja. Menikmati semuanya yang sekarang aku punya.

Aku tidak mundur kemudian menjauhi. Jadi naif kembali dan berpura-pura tak pernah ada apa-apa.
Tapi tidak juga akan maju kemudian mengatakan. Cukup diam dan biar tak ada tanda tanya yang diberikan.

Jadi, tolong mengertilah.
Tetaplah berada ditempatmu dan jangan hindari aku. 
Aku janji tidak akan ganggumu lagi. 
Aku diam.

Karena aku senang jadi bayang :)