Sedang berusaha untuk menciptakan tokoh cowok yang gak menye-menye. Dan..........gagal :( huhuhu
***
Dia masih berdiri di depan, dengan secarik kertas di tangan
yang ia genggam kuat-kuat. Aku tidak bisa menebak ia terlalu bersemangat atau
terlalu takut. Wajahnya tampak datar saja. Sesekali mengulum senyum ketika
teman-teman menyorakinya.
“Dia mau apa ?”,
Tio menyikutku.
“Entah. Membacakan
sesuatu ?”, aku hanya menggidik bahu.
Tentu saja aku berbohong. Aku tahu apa yang akan dia
lakukan. Aku tahu bakat apa yang akan ia tampilkan di Minggu Bakat pelajaran
Seni Budaya ini. Ia sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan mungkin
ketika pertama kali Pak Damar memberitahukan seisi kelas tentang project ini.
Aku sering melihatnya berdiam diri di kelas ketika
istirahat. Kemudian mulai mencorat-coret sesuatu di buku birunya. Tersenyum,
merengut, kemudian tampak begitu bersemangat. Bagaimana aku tidak penasaran?
Awalnya memang tidak. Tapi pada suatu kesempatan, aku tak
sengaja melihat isi buku birunya. Isinya berantakan. Garis garis pulpen hitam
dan merah memenuhi halaman.
Dan huruf-huruf yang terangkai jadi bait-bait.
Aku tidak berani melihat lebih lama apalagi membacanya.
Entahlah. Aku rasa buku itu bersifat pribadi. Tapi semakin lama aku semakin
yakin. Aku semakin sering memperhatikan raut wajahnya ketika menulis, sembari
menerka kata-kata apa yang sedang ia rangkai. Apa ia buat sedih, buat senang,
atau buat yang penuh amarah.
Dan aku tidak pernah berhasil membaca wajahnya.
Sama seperti sekarang. Dia masih berdiri dengan wajah yang
tidak terbaca ekspresinya. Anak-anak di kelas sudah tidak lagi
memperhatikannya. Mungkin hanya aku dan Pak Damar yang masih berusaha menyimak
bisunya.
“Ehm, baik Luna.
Apa yang ingin kamu tunjukan kepada teman-teman?”, Pak Damar angkat bicara, “Apa
kamu hendak membacakan sesuatu ?”
Kelas diam. Kembali memperhatikan dia di depan. Tapi masih bisu saja yang terdengar. Hingga
akhirnya, Pak Damar menyerah, “Baiklah.. mungkin kita lihat tampilan dari
teman-teman yang lain dulu. Luna bisa duduk kembali...Selanjutnya ?”
***
Bangku Luna kosong. Tidak ada
buku biru di kolong mejanya seperti biasa. Harusnya aku tidak perlu
memikirkannya. Tapi toh pada akhirnya
aku coba keluar kelas mencari Luna.
Tak sulit. Luna ternyata ada di
bangku dekat lapangan. Sedang melihat ke keramaian dengan Oreonya. Aku sadar
aku semakin aneh ketika berpikir harus duduk disampingnya, kemudian mengajaknya
bicara. Untunglah aku tidak sempat melakukan hal bodoh tersebut karena bel
telah berbunyi lagi.
Untunglah ? Aku rasa tidak juga.
***
Begitulah hari selanjutnya. Aku
semakin jarang melihat Luna di kelas. Mungkin hanya beberapa menit,
mengeluarkan buku birunya, kemudian menutupnya kembali dan keluar kelas. Tentu
saja duduk di bangku yang sama dengan makanan yang sama.
Hingga akhirnya aku tidak tahan
lagi. Sudah kukumpulkan niat untuk melangkah menghampiri Luna, tapi kemudian
merasa bodoh. Apa yang harus aku katakan? Tiba-tiba mengajaknya bicara tanpa
alasan ? Jika kemudian Luna tidak merespon apapun, aku akan benar-benar tampak
seperti orang bodoh yang sedang berusaha menarik perhatian.
Tapi siapa sangka. Kaki ini dapat
melangkah sendiri.
“Hei, sendiri aja ?”, kata-kata itu meluncur bebas. Aku menatapnya ragu,
dan kemudian mendapat Luna yang terkejut. Hebat. Aku hampir membuat orang lain
jantungan hanya dengan membuka percakapan.
“Umh, Ya. Ada apa Raka ?”, Luna bicara seperti melirih, kemudian
melanjutkan dengan polosnya, “Apa sudah bel masuk ?”
“Ah ? Tidak tidak.. Maksudku belum bel. Santai saja…”, padahal justru
aku yang tidak bisa santai, “kenapa tidak di dalam kelas?”
Luna tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Persis ketika ia berada
di depan kelas dan disoraki. Aku mulai bersiap mengutuki diri sendiri karena
telah berpikir melakukan hal yang konyol , tapi kemudian Luna memandangku dan
bicara,
“Minggu ini kamu belum kebagian maju untuk tampil Minggu Bakat ?”,
tanyanya.
“Belum. Mungkin minggu depan. Nomer urutku cukup jauh”, aku diam sejenak
menarik napas, “ dan, kenapa Luna tidak jadi maju minggu ini?”
Kini Luna tampak lebih tegang. Ia
mengalihkan pandangan menuju sepatunya. Mungkin aku salah bicara. Ah yaampun.
Bodoh bodoh bodoh.
“Aku belum siap. Yang ingin aku tunjukan
sebenarnya belum jadi….”, Luna melirih lagi.
Bohong. Luna berbohong.
“Belum jadi ? Memang sudah sejauh mana puisimu ?”
“Dari mana kamu tahu aku akan membacakan puisi ?”
Skak mat. Lihat aku Si Bodoh Bermulut Besar.
“Umh.. yah, hanya menebak”, kini aku yang gelisah, “apa memang benar kau
akan membacakan puisi ?”.
Luna bungkam lagi. Ia menatapku
sekilas, kemudian membuang muka sambil mendesah, “Bagaimana jika aku maju lagi,
kamu tak perlu memperhatikanku seperti yang lain saja ?”
“Apa ? Maksudm—“
“Jangan lihat aku”, ia berhenti sejenak dan berdiri, “Apa kau pikir
mudah membacakan puisi tentang kamu jika kamu terlalu memperhatikanku seperti
itu ?”
Ia berlalu dengan wajah merah.
Aku beku dan berusaha mengurai
artinya.